Mongabay.co.id

Antisipasi Banjir, Lahan Kritis di Pasuruan Perlu Penanganan Serius

 

 

 

 

Banjir melanda berbagai daerah di Indonesia, termasuklah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Sejak akhir 2021, banjir melanda dari Gempol di ujung barat sampai Grati di wilayah timur Pasuruan. Alih fungsi lahan disebut-sebut sebagai penyebab.

Sebaran banjir di Pasuruan kian meluas. Beberapa wilayah yang sebelumnya aman, kini mulai merasakan dampak air limpasan yang tak mampu tertampung sungai.

Pada 23 Februari lalu, misal, banjir di Kecamatan Pandaan, saking derasnya air limpasan, sampai menggenangi jalur jalan naisonal Surabaya-Malang. Padahal, kecamatan ini relatif berada di dataran tinggi.

“Hujan cukup deras di hulu. Sementara kondisi hulu juga seperti itu, banyak lahan rusak,” kata Andri Wahyudi, anggota DPRD dari daerah pemilihan (dapil) Pandaan.

Tak hanya kabupaten, banjir juga terjadi di Kota Pasuruan 25 Februari lalu tak kalah parah. Di alun-alun, ketinggian air mencapai 30 sentimeter lebih, dan tak pernah terjadi sebelumnnya.

Wali Kota Pasuruan, Saifullah Yusuf menyebut, curah hujan tinggi dinilai jadi penyebab banjir parah kali ini. Saluran-saluran air tak mampu menampung debit curah hujan.

“Curah hujan turun cukup tinggi hingga tak tertampung. Selain itu, deforestasi daerah hulu juga turut memberi kontribusi,” kata Gus Ipul, sapaan akrabnya.

Deforestasi menyebabkan antara lain pendangkalah sungai karena terjadi sedimentasi, terutama sungai-sungai besar seperti Kali Gembong, Petung dan Kali Welang.

Kali Gembong dan Petung, merupakan bagian daerah aliran sungai (DAS)) Rejoso berhulu di pegunungan Bromo Tengger Semeru. Kali Welang berhulu Gunung Arjuno-Welirang.

Sedimentasi ketiga sungai turut berkontribusi banjir di wilayahnya. Upaya normalisasi tidak bisa dilakukan lantaran ketiga sungai itu jadi kewenangan provinsi dan pemerintah pusat. “Sedang kami usulkan untuk normalisasi,” katanya.

 

 

 

Lahan kritis

Berdasarkan peta jalan pengelolaan DAS Forum DAS Pasuruan (FDP), total lahan kritis di Pasuruan mencapai 31.873,04 hektar. Rinciannya, 16.204 hektar kritis. Sisanya 15.668,04 hektar sangat kritis.

“Situasi seperti ini, jika tidak ditangani ya sampai nanti juga Pasuruan tidak akan bisa bebas banjir,” kata Lujeng Sudarto, Direktur Pusat Studi Advokasi Kebijakan (Pus@ka).

Pertambangan pasir dan batu (sirtu) juga marak hingga memicu banjir. Di Pasuruan, setidaknya ada 80 izin pertambangan seluas 2.500 hektar lebih.

Dari jumlah itu, mayoritas di wilayah DAS Rejoso, sekitar 72 izin tambang. “Itu hanya data tambang berizin. Ada banyak lokasi-lokasi tambang tidak berizin,” katanya.

Melihat dampak dari alih fungsi lahan ini, Lujeng pun mendesak pemerintah tak lagi menerbitkan izin tambang baru. Dia usul, pemerintah fokus rehabilitisi kawasan guna mengurangi dampak lebih parah di masa mendatang.

Dia bilang, memang ada kontribusi pendapatan daerah dari tambang-tambang ini. Namun, katanya, kerugian dampak kerusakan lingkungan jauh lebih besar daripada pemasukan daerah. Terlebih lagi, dari tambang itu, hampir semua tak lakukan reklamasi.

“Pemerintah jangan hanya berpikir soal pendapatan karena itu jelas tak sebanding. Jalan-jalan banyak rusak, banjir parah dimana-mana. Apa itu sebanding? Jelas tidak karena biaya rehabilitasi atau penanganan lebih besar daripada pemasukan daerah.”

 

Baca juga: Ketika Banjir Bandang Landa Pasuruan

Penambangan marak pada kawasan DAS di Pasuruan disebut jadi pemicu banjir. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Gunawan Wibiono, pakar hidrologi Universitas Merdeka (Unmer) Malang, ,mengatakan , perubahan tata guna lahan daerah hulu turut mempengaruhi intensitas banjiir di Pasuruan. Upaya penanganan, katanya, tak bisa sporadis tetapi menyeluruh dari hulu hingga hilir dengan melibatkan multipihak.

“Hukum alam itu air mengalir dari hulu ke hilir, dari daerah atas ke bawah. Artinya, apapun yang terjadi di hulu, akan berdampak pada dataran bawah.”

Dalam penanganan banjir, biasa hulu alias DAS yang jadi salah satu pokok persoalan, jarang atau bahkan tak pernah tersentuh.

DAS, merujuk definisi pemerintah, merupakan suatu wilayah daratan merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air uang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alamiah. Dari gambaran itu, katanya, tak satupun jengkal lahan keluar dari zona DAS.

“Karena itu, bagaimana kondisi DAS, pasti akan membawa pengaruh pada kehidupan,” kata Gunawan.

Dalam peta jalan pengelolaan DAS terbitan FDP, wilayah Pasuruan terbagi dalam sembilan kawasan DAS, yakni, Kembeng/Brantas, Kapasan, Kedunglarangan, Lawean, Pateman, Rejoso, Tandu, Tempuran, dan Welang.

DAS-DAS itu berhulu di pegunungan Arjuno-Welirang dan Bromo Tengger Semeru, yang merupakan penghasil sayur-mayur, produk perkebunan dan kehutanan, seperti kentang, kubis, wortel, kopi, cengkih dan lain-lain.

Dari sembilan DAS itu, DAS merupakan terluas mencapai 62.243 hektar. Disusul DAS Welang 52.289 hektar, Tempuran 39.315 hektar dan Kedunglarangan 22.915 hektar. Kemudian, DAS Lawean 7.635 haktar, Kapasan 3.406 hektar; Kembang/Brantas 1.189 hektar, Pateman 1.158 hektar dan Tandu 1.029 hektar.

 

Baca juga: Banjir Pasuruan, Bentang Lahan Perlu jadi Perhatian

Banjir di Pasuruan, Februari lalu. Banjir makin sering, bahkan daerah yang sebelumnya tak pernah banjir kini tergenang. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Masalahnya, dari sembilan DAS itu, tak semua dalam kondisi baik. Tiga dalam klasifikasi dipulihkan, yakni DAS Kembeng/Brantas, Lawean dan Welang. Enam DAS lain berstatus dipertahankan.

Tingginya alih fungsi lahan di kawasan DAS, baik untuk pertanian holtikultura maupun kegiatan lain seperti pertambangan memberi kontribusi banjir Pasuruan.

Praktik pertanian tak ramah di lereng-lereng pegunungan, katanya, meningkatkan potensi air limpasan (run off) dan erosi tinggi. Dampaknya, badan-badan sungai mengalami sedimentasi.

Gunawan mengatakan, alih guna lahan dari hutan ke budidaya massif terjadi dalam tiga dekade terakhir.

Alih fungsi lahan, katanya, menyebabkan vegetasi berkurang hingga mengurangi infiltrasi air ke dalam tanah dan menyebabkan limpasan air permukaan.

Lumpur-lumpur yang terbawa juga membuat sedimentasi lebih cepat, katanya, hingga akhirnya memicu banjir di daerah sekitar aliran sungai.

 

Kerusakan hutan di hulu Pasuruan picu banjir. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

********

Exit mobile version