Mongabay.co.id

Merawat Tradisi Ratusan Tahun Sakke Hudali di Tapanuli Utara

 

Suara Christine Panjaitan, penyanyi Indonesia era 1980-an menemani kunjungan saya ke Luat Pahae, Tapanuli Utara, Sumatera Utara melalui ponsel pintar.

Lirik “Aek godang gabe aek na mampar. Dolok dolok di siamun hambirang. Sian i do mual pancarian” yang berarti sungai terhampar, hutan-hutan di kiri kanan, dari situlah sumber kehidupan, terdengar merdu. Lagu yang menceritakan keindahan Pahae, wilayah di jantung hutan Tapanuli.

Tentu saja, saya tidak akan membicarakan Christine dan lagunya, melainkan tentang hutan, sawah, dan masyarakat Desa Pantis, yang berada di Pahae. Desa yang dihuni masyarakat Batak Toba, menganut agama Kristen dan Islam, dari  leluhur tiga marga yaitu: Hutabarat, Tambunan, dan Simamora.

Baca: Antara Pandemi, Deforestasi, dan Nasib Masyarakat Adat

 

Tradisi Sakke Hudali merupakan warisan leluhur masyarakat Pantis, Tapanuli Utara, usai menanam padi yang terus dipertahankan hingga saat ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tradisi ratusan tahun

Ada hal menarik di sini, tradisi Sakke Hudali. Praktik warisan ratusan tahun yang dipertahankan masyarakat Pantis hingga kini, tiap usai menanam padi. Setiap tahun, dua kali masa tanam, Maret dan Agustus, dan Sakke Hudali hanya dilakukan pada Maret.

Sakke Hudali secara harfiah adalah cangkul telah tergantung. Artinya, padi sudah ditanam di sawah, pekerjaan mencangkul selesai. Sakke Hudali tahun ini dilakukan Jumat [18 Maret 2022], dimulai dengan penyembelihan kerbau, pagi hari.

Dua minggu sebelum hari H, warga Pantis bermusyawarah untuk persiapan acara. Biaya penyelenggaraan dan pembelian kerbau dibayar urunan, sebanyak 150-an kepala keluarga.

“Jam tujuh pagi, kita memotong kerbau di depan kantor kepala desa. Pelaksananya saudara kita yang muslim,” ucap Amang Lundo Tambunan, Kepala Urusan Perencanaan Desa Pantis, Jumat [18/03/2022].

Sekitar 10 laki-laki ditugaskan menyembelih dan memotong kerbau. Proses ini disaksikan juga anak-anak, perempuan dan tetua desa. Saya berkesempatan berbincang dengan Ompung Rudolf Tambunan [62], tetua adat Pantis, yang sejak kecil mengikuti Sakke Hudali.

“Praktik Sakke Hudali diperkirakan lebih dari 500 tahun, jauh sebelum agama Kristen dan Islam masuk desa ini. Wujud syukur dan doa asa gabe na ni ula [agar padi yang ditanam subur],” tuturnya.

Jam 12 WIB siang, daging kerbau dibagikan kepada seluruh warga desa.

Ompung Rudolf Tambunan menambahkan, jika matahari terbenam, ada pantangan yang tidak boleh dilanggar para petani di Pantis. Mereka harus istrahat dari segala bentuk pekerjaan pertanian, meski memetik daun, yang boleh dilakukan matahari terbit esok hari.

“Sakke Hudali memberikan kami waktu khusus berdoa atas kerja keras yang kami lakukan. Juga, membangun modal sosial sesama petani. Satu hari ini, dapur kami diisi makanan yang sama [daging kerbau] dan istrahat bersama,” ujarnya.

 

Proses pembagian daging kerbau kepada masyarakat Desa Pantis usai dilakukan pemotongan. Foto: Dok. Pahri Nasution/Green Justice Indonesia

 

Harapan

Malam hari, setelah makan bersama di rumah Amang Lundo Tambunan, doa bersama dilakukan di Gereja. Juga, pidato dari berbagai kalangan seperti pemerintah desa, tokoh adat, perwakilan gereja Huria Kristen Indonesia [HKI], Gereja Kristen Luther Indonesia [GKLI], Gereja Advent, Gereja Punguan Kristen Batak [GPKB], dan perwakilan Muslim.

Rasa syukur dihaturkan kepada Yang Maha Kuasa, karena padi telah ditanam. Para tokoh yang berpidato juga menyebutkan terima kasih kepada “Ompu Sijolo-jolo Tubu” yaitu leluhur yang telah mewariskan ritual Sakke Hudali.

“Asa gabe na niula, dipadao sian bala”, agar yang ditanam berhasil dan jauh dari hama penyakit. Begitu, inti doa yang diucapkan berulang oleh para tokoh yang berpidato.

Mereka yang berpidato juga mendoakan agar dijauhkan dari permasalahan pertanian. Sebut saja, iklim dan cuaca yang bersahabat, distribusi air di irigasi persawahan membaik, penyakit tanaman berkurang, dan sebagainya.

Doa-doa tersebut, bagi saya menggambarkan hubungan erat antara hutan Tapanuli dan jasa ekosistemnya, untuk pertanian Desa Pantis. Mulai iklim mikro yang membantu pertanian, hingga ekosistem hutan yang sehat.

 

Menjaga hutan berarti kita menjaga kehidupan saat ini dan masa mendatang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sakke Hudali adalah praktik adat warisan leluhur yang selaras alam. Setiap tahunnya, memberikan waktu istirahat petani Pantis, sekaligus berdoa agar ekosistem pendukung pertanian berjalan baik, asa gabe na ni ula [agar yang dikerjakan terlihat hasilnya].

Saya pun berdoa, semoga pertanian di Pantis selalu diberkahi dengan panen melimpah. Alam mendukung sebagai sumber kehidupan produktif, sebagaimana ratusan tahun lalu dan ratusan tahun berikutnya.

 

* Arrum Harahap, Project Manager Green Justice Indonesia dan kandidat doktor di  Universitas Andalas, Padang. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version