Mongabay.co.id

Cerita Petani Perempuan Jangkat Bertani Ramah Lingkungan

 

 

 

 

Muara Madras, adalah desa yang terletak di Kaki Gunung Masurai, Jangkat, Merangin, Jambi. Udara dingin, air segar. Berada di ketinggian 600 mdpl, Muara Madras jadi destinasi menarik kalau datang ke Jambi.

Di sini, ada warung kopi. Namanya Lembah Mentenang. Ini sesuai dengan nama koperasi yang menaungi. Jagoannya, kopi robusta jangkat yang terkenal dengan rasa khas. Pemiliknya, sekaligus Ketua koperasi Zurian Hadi.

Pagi itu, Desember lalu, sekelompok perempuan sedang berkumpul di pondok depan warung. Warung tak buka, sedang libur. Di belakang warung kopi ada demplot pertanian ramah lingkungan dan rumah pengering kopi.

Di kebun demplot ada berbagai sayuran sudah siap panen, dan satu ruang tanaman seledri dengan tutup jaring paranet.

Seminggu sekali Zuni Apriah, adik kandung Zurain Hadi melihat demplot pertanian di belakang warung kopi itu.

Zuni dan 150 petani perempuan lain tergabung lima kelompok tani, Lembah Mentenang, Cahaya Madras, Pelita Hati, Al- Baroqah dan Hamparan Indah, mengolah lahan kritis jadi kebun ramah lingkungan. Mereka bersama membangun usaha kopi dan koperasi dengan bendera Usaha Lembah Mentenang.

Para petani mulai meninggalkan praktik buka lahan tanpa terencana, mengurangi kimia dan mengganti dengan pupuk organik.

Mereka juga pemulihan lahan kritis pada kawasan budidaya sekitar 4.540,17 hektar pada enam desa. Sekitar 1.076,32 hektar lahan sangat kritis dikonservasi dengan tanaman agroforestry 157.001 batang. Ada kayu manis, alpukat, cengkih, jeruk dan durian. Ia tersebar pada 550 kebun petani dan dikelola 37 kelompok dengan 937 petani.

 

Petani perempuan di Jangkat, berkelompok mempraktikkan berkebun ramah lingkungan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Zuni bercerita, sebelumnya mereka setiap bulan dapatkan sekolah lapang dari Mitra Aksi. Mereka berkumpul membuat pembasmi hama organik. Bahan-bahan dari lima biji bintaro, bawang putih, tembakau, gula dan air yang sudah tersedia. Mereka menimbang semua bahan, dengan satu kilogram tembakau, lima siung bawang putih, seperempat kilogram gula dan dicampur 10 liter air.

Bahan-bahan ini semua direbus hingga mendidih dan dinginkan. Mereka kemudian kemas dalam botol-botol plastik bekas untuk bisa disemprotkan ke tanaman.

Rina Maihani , anggota KWT Pelita Hati mengatakan, hasil tanam jadi dua kali lipat dengan mengganti pola pertanian ramah lingkungan. Rata-rata satu hektar kebun cabai mereka hasilkan Rp35 juta, dengan pertanian ramah lingkungan, bisa Rp72 juta.

“Sebelumnya, kopi per hektar hanya dua ton. setelah gunakan pertanian ramah lingkungan, menghasilkan lima ton per hektar. Tanaman padi ladang, sebelumnya per hektar hanya 1,5 ton,meningkat jadi 2,5 ton,” katanya. Untuk padi sawah dari tiga ton jadi lima ton per hektar untuk setiap musim tanam.

Mitra Aksi adalah sebuah yayasan nirlaba yang mendapat dukungan dana dari TFCA Sumatera– suatu skema pendanaan bilateral pengalihan utang antara pemerintah Amerika dan Pemerintah Indonesia. TFCA-Sumatera mendukung pemulihan kawasan-kawasan kritis, perlindungan satwa dan peningkatan kesejahteraan di berbagai kawasan lindung di Sumatera.

DI Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dukungan mereka untuk perbaikan kawasan melalui berbagai mitra yang bekerjasama dengan taman nasional sejak 2011.

Mitra Aksi melakukan sejumlah kegiatan antara lain, pemulihan lahan kritis pada kawasan budidaya, membangun dan meningkatkan unit-unit usaha berbasis komunitas untuk melindungi kawasan penyangga TNKS. Kegiatan ini, ada di enak desa di Kecamatan Jangkat, yakni, Muara Madras, Renah Pelaan, Pulau Tengah, Koto Rawang, Renah Alai dan Koto Renah.

Mitra Aksi, fokus pada perbaikan tata guna lahan yang berkelanjutan untuk menekan laju perambahan di sekitar bentang. dan penyangga kawasan TNKS. Sebanyak 1.573 petani ( 887 laki-laki dan 686 perempuan) aktif mengikuti sekolah lapang. Mereka mempraktikkan budidaya pertanian berkelanjutan di lahan petani masing-masing

Adi Candra, Manajer PSDABM Mitra Aksi mengatakan, terpenting petani menguasai dasar-dasar konservasi dan pemulihan lahan kritis. “ Hal itu, katanya, bisa terlihat dari perubahan metode, petani mulai praktik dan mentransformasi pengetahuan maupun ketrampilan yang mereka kuasai. Mengidentifikasi kondisi biofisik lahan dengan pH tanah,meneliti ketebalan topsoil tanah dengan alat sederhana sebelum pengolahan lahan.

 

Para petani perempuan di Jangkat, menanam sayur mayur gunakan pupuk dan pestisida alami. Mereka rasakan hasil lebih besar. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Memang bukan pekerjaan mudah menerapkan pertanian organik, kata Adi, mereka pun mulai dengan pola ramah lingkungan. Pertanian organik dianggap hal baru di Indonesia. Padahal, katanya, sejak dulu, petani sudah menerapkan sistem pertanian tanpa pupuk dan pestisida dengan tradisi lokal turun menurun.

Pemerintahan  Soeharto, katanya, terapkan revolusi hijau dalam pertanian. Lahan-lahan pertanian dipaksa mendongkrak perekonomian negara, mulai lahan persawahan, sawit, hingga sayuran.

Revolusi hijau melibatkan penggunaan pupuk kimia. Era Soeharto berdiri pabrik-pabrik pupuk kimia besar dan mengundang investor asing untuk memasukkan benih-benih transgenik.

Penggunaan kimia ini membuat lahan pertanian Indonesia rusak dan keras. Tanah kering dan membatu. Kimia ini juga membuat hama lebih ganas dan kebal sekaligus bandel dari pembasmi hama kimia biasa.

Dampak buruk lain, katanya, Indonesia banyak kehilangan benih lokal hingga membuat jutaan petani makin terpuruk karena ketergantungan pada pupuk dan benih-benih pertanian.

Orde Baru juga melakukan kekerasan untuk memaksa para petani gunakan pupuk urea.

Sampai sekarang, katanya, orientasi pengembangan pertanian Indonesia tak jelas. Pemerintah masih suka mengimpor beras.

Persoalan lain dari organik adalah sertifikasi mahal dan sulit terjangkau petani.

 

Tempat khusus pengeringan kopi. Kopi mereka tanah di kebun beragam tanpa gunakan pupuk maupun pestisida kimia. Foto: ELviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Di Jangkat, Mitra Aksi, membantu memperbaiki tata guna lahan agar berkelanjutan dengan mengembalikan warisan lokal, yang mereka labeli pertanian ramah lingkungan

Saat ini, kata Adi, jumlah petani terus meningkat. Sampai 2020, ada 1.960 petani sudah mendapatkan pelatihan sekolah lapang pertanian ramah lingkungan. Ada 40 petani pakar tersebar di enam desa di Kecamatan Jangkat.

Zuni bilang, kini tak perlu membuka lahan baru untuk bertani. Cukup mengolah lahan yang semula tak produktif, menjadi kebun sayur.

“ Tahun ini, kita akan menanam kentang di lahan itu, sekarang semua lahan tidak ada yang ditinggali. Ditanami kembali oleh petani. Tidak perlu bertanam ke atas lagi, lahan di sekitar rumah bisa diolah lagi. Sudah subur,” katanya.

 

Sayur mayur hasil kebun petani perempuan di Jangkat, Jambi. Mereka bercocok tanam tak gunakan bahan-bahan kimia. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version