- Sekelompok Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, melakukan aksi demonstrasi di halaman Gedung Direktorat Jenderal Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteng Dalam, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, menuntut penghentian pertambangan di pulaunya
- Aktivitas pertambangan itu dikhawatirkan merusak kawasan pesisir pulau Wawonii dan mempengaruhi kehidupan warganya
- Dalam rilis Koalisi Selamatkan Wawonii, aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahaan Gema Kreasi Perdana (GKP) banyak ditemukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
- Untuk itu, aktivis meminta seharusnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2016 Tentang Penetapan dan Pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Khusus Pengawasan Operasional di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara itu direvisi.
Dengan membawa jaring jala ikan, seorang pria berkaos hitam itu turut berada dalam barisan para aksi massa yang membentangkan sepanduk bertuliskan “Selamatkan Wawonii dari Gurita Tambang Harita Group” di halaman Gedung Direktorat Jenderal Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteng Dalam, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, pada bulan kemarin.
Bertolak dari tanah kelahirannya pria bertubuh dempal itu datang ke Jakarta untuk meminta operasi pertambangan di Pulau Wawonii dihentikan. Selain berpotensi merusak tanaman perkebunan warga seperti jambu mente, kelapa, cengkeh maupun tanaman pala, jika perusahaan pertambangan beroperasi di pulau yang berada di Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara itu juga dikhawatirkan akan mencemari kawasan pesisir pulau tersebut.
Terlebih dalam proses pembangunan jalan perusahaan sudah menuai konflik dengan warga setempat. Untuk mempertahankan lahan garapan yang akan dijadikan jalan tambang, warga dihadapkan dengan alat berat dan aparat.
Jalan tambang itu kelak akan membelah gundukan dan lahan garapan warga dari pelabuhan bongkar muat perusahaan di pesisir laut. Sementara jarak dari pemukiman utama hanya sekitar 300 meter. Sedangkan dermaga tempat bersandar perahu nelayan dari pelabuhan bongkar hanya 200 meter.
“Sebagai perwakilan warga Wawaonii harapan kami tidak lain adalah untuk izin usaha pertambangan ini di cabut. Karena pulau Wawaonii termasuk pulau kecil sehingga rentan jika ditambang,” ujar pria yang tidak mau disebutkan namanya karena di daerahnya saat ini dirasa masih belum aman itu usai melakukan aksi dipertengahan bulan Maret lalu, 2022.
Selain itu, jalan yang dibangun perusahaan tambang tersebut juga berhimpitan langsung dengan air yang mengalir ke kampung-kampung. Sehingga warga cemas airnya akan tercemar. Jika sudah tercemar kesehatan warga jadi terancam.
baca : Kala Warga Wawonii Tolak Tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan
Ditemukan pelanggaran hukum
Tidak hanya mengancam keselamatan dan ruang hidup warga, dalam rilis Koalisi Selamatkan Wawonii yang terdiri dari JATAM, KIARA, Solidaritas Perempuan, WALHI, Kontras, YLBHI, KPA, Trend Asia, mencatat, aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahaan Gema Kreasi Perdana (GKP) banyak ditemukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga diklaim illegal.
Dalam ketentuan pasal 1 angka 3 UU No.1/2014 perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka Pulau Wawaonii termasuk kategori pulau kecil, dengan keluasan 867,58 km2.
Dalam pasal 35 huruf (k), UU tersebut melarang adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Selain itu, diduga kuat adanya praktik maladministrasi dalam proses penerbitan dua Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 707,10 ha dengan No. SK. 576/Menhut/II/2014 dan No.SK.1/1/IPPKH/PMDN/2016 seluas 378,14 ha. Sementara penerbitan kedua IPPKH ini didasari oleh dokumen Amdal PT GKP pada 2008.
Tetapi prakteknya, perusahaan tersebut baru melakukan kegiatan konstruksi pada 2019, sehingga dalam catatan tersebut berdasarkan pasal 50 ayat (2) huruf e PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, IPPKH dianggap kadaluarsa karena tidak ada kegiatan dalam jangka waktu maksimal tiga tahun sejak diterbitkan.
“Pertama, ada database yang buruk di ESDM itu yang kita lihat. Lalu yang kedua terlihat sekali kementerian ini sangat tidak menghormati dan menghargai kementerian yang lain,” tutur Kepala Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil.
baca juga : Perusahaan Tambang Kembali Beraksi di Wawonii, Para Perempuan Melawan
Untuk itu, seharusnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2016 tentang Penetapan dan Pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Khusus Pengawasan Operasional di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara itu direvisi, dengan memasukkan syarat-syarat instrumen yang ada di pulau-pulau kecil. Selain itu juga melakukan moratorium penerbitan izin baru.
Sementara itu, Manajer Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI, Fanny Tri Jambore Christanto mengatakan, aktivitas perusahaan GKP di Pulau Wawaonii pantas diduga dilakukan secara illegal, hal tersebut berdasarkan surat Direktorat Jenderal Minerba ESDM yang menyebutkan, perusahaan dengan IUP Nomor 83 tahun 2010 termasuk salah satu dari 1.036 Izin Usaha Pertambangan yang mendapatkan sanksi administratif berupa penghentian aktivitas sementara, karena sudah lama tidak menyerahkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Selain itu, perusahaan juga sebenarnya sudah dapat teguran karena belum menyampaikan RKAB.
“Sayangnya ini tidak diseriusi oleh kementerian ESDM, kalau kemudian perusahaan ini masih beroperasi statusnya perusahaan ini apa?,” terang Rere, panggilan akrabnya.
Padahal, disisi lain ada juga aturan yang melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil, sehingga aturan menjadi bertabrakan. Seharusnya, lanjut dia, ini yang menjadi dasar untuk Menteri ESDM melakukan review terhadap perusahaan tersebut. Terlebih penolakan warga juga besar karena bisa mengancam kelangsungan hidup mereka baik itu di kebun maupun laut.
Akan Mengalami Kerusakan
Rere menilai, jika tambang sekala besar itu dijalankan, hampir keseluruhan wilayah di pulau kecil itu pasti akan mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan infrastruktur ekologis di pulau kecil itu terbatas. Selain itu wilayah produktifnya juga terbatas.
Kehidupan seluruh warga di pulau tersebut dikemudian hari pasti akan terdampak jika wilayahnya dihancurkan.
Tetapi yang terjadi pemerintah justru memfasilitasi pelanggaran hukum yang kerapkali terjadi, terutama pada sektor pertambangan. Tidak hanya di Wawaonii, hal serupa juga terjadi di Wadas dan Bengkulu. Ada perusahaan yang tidak terdaftar dalam IUP aktif, tetapi aktivitasnya tetap difasilitasi.
baca juga : Perusahaan Tambang Setop Operasi, Warga Wawonii Sejahtera dengan Berkebun
Selain itu aktivitas perusahaan juga dikawal oleh polisi, padahal masyarakatnya menolak. Namun kemudian masyarakat malah ditahan dan di bawa ke kantor polisi, pendampingnya juga dikriminalisasi.
Artinya, operasi-operasi pertambangan yang secara legal itu masih patut dipertanyakan operasinya, yang kemungkinan besar juga melakukan pelanggaran terhadap warga. Namun justru malah dikawal dan difasilitasi oleh negara.
Sementara, rakyat yang tengah berjuang untuk mempertahankan ruang hidupnya malah mendapatkan intimidasi dan kriminalisasi. “Kita berada di rezim yang justru membalikkan hukum itu menjadi perlindungan terhadap investasi,” pungkasnya.
Menanggapi aksi masa tersebut, Hendra Gunawan Koordinator Kelompok Kerja Pengawasan Teknis Direktorat Jenderal Minerba, ESDM mengatakan, pada dasarnya semua perizinan memang harus dievaluasi.
Ketika ada perizinan yang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang sebagaimana yang disampaikan itu pihaknya akan mengevaluasi. Namun, lanjut dia, ketika perizinan itu sudah sesuai dengan peraturan memang seharusnya dilindungi, hal itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Presiden untuk mengawal investasi.
Perusahaan-perusahaan ini, kata Hendra, juga melakukan program pemberdayaan kepada masyarakat setempat. Tetapi untuk pelaksanaanya apakah sesuai dengan kaidah-kaidah pertambangan yang baik, atau juga pemberdayaan yang baik, itu yang perlu sama-sama mengawasi.
“Laporan mengenai tindak kekerasan yang terjadi di lapangan tentunya akan kami pelajari secepatnya, dan juga kami tindak lanjuti,” kata dia. Karena kondisinya jauh pihaknya akan meminta perwakilan dari daerah untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
Dia berharap peristiwa yang terjadi pada warga Wawaonii tidak terulang kembali, dan tidak merugikan masyarakat setempat. Selain itu juga menjadi catatan instansinya untuk bisa lebih baik lagi.