Mongabay.co.id

Ketika Pulau-pulau Kecil di Maluku Utara Terancam Tenggelam

 

 

 

 

Dua anak kecil sekitar lima tahun ini bermain air di samping rumah mereka. Mereka berkejaran di tepian laut yang mulai naik melewati betis. Air terus naik hingga menenggelamkan pondasi rumah mereka di Desa Marituso, Kecamatan Kasiruta Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Kedua anak ini tak paham kalau rumah mereka lambat laun bisa hilang karena kenaikan muka air laut. Dampak krisis iklim sudah mengena desa pesisir ini.

Marituso adalah desa di Pulau Kasiruta, bagian utara Halmahera Selatan dan berada di pesisir pantai. Desa ini memanjang mengikuti pesisir berbukit dengan bebatuan cadas. Dataran hanya di tepi pantai membuat rumah warga dibangun tepat di bibir pantai. Ada sebagian rumah sudah naik ke area bukit berbatu di tepian pantai pulau itu.

Untuk rumah di ujung kampung bagian barat itu terbilang aman dari ancaman air laut saat pasang naik karena dibangun menaiki sebuah bukit.

Kondisi makin parah saat tanggul penahan air laut patah karena dampak gempa di Halmahera Selatan pada 2019. Pasca tembok roboh hingga kini belum ada pembangunan yang baru. Makin hari perumahan warga makin terancam.

Kondisi di kampung ini juga sama dengan anak desanya yang berada di Pulau Tawale Kecil di bagian timur. Pulau ini dari desa induk pakai longboat bermesin sekitar satu jam.   Di Pulau Tawale ini ada delapan keluarga dengan rumah di pesisir pantai, juga tenggelam saat air pasang.

Warga sudah membuat pondasi tembok atau tanggul tetapi tak mampu membendung air laut yang makin tinggi. Karena itu, beberapa memilih membuat rumah panggung. Ada lima keluarga memilih pindah ke utara pulau berbatu karang itu dan membangun rumah panggung menghindari kenaikan air laut.

Tawale Kecil, adalah pulau berbatu yang ditumbuhi pohon- pohon kerdil dan semak itu sebenarnya sangat menawan. Ketika memasuki pulau ini,   perahu atau speed boat harus sangat hat-hati. Di depan pulau memanjang gugusan terumbu karang sangat terjaga.

Motoris yang mengendalikan mesin juga harus lincah melihat celah kosong yang bisa dilewati long boat atau speed boat.

Pulau indah dengan laut berwarna biru tosque ini, sebagian pesisir mulai tenggelam karena kenaikan permukaan air laut. Di bagian selatan pulau ini tidak lagi ada rumah karena air laut sudah menutupi sebagian pesisir.

“Rumah- rumah pindah  ini karena di depan pulau itu sudah mulai tenggelam saat air pasang,” kata Bahrul Kasim, pemuda yang memandu kami menyusuri Tawale Kecil. Bahrul yang masih SMA Yaba di Pulau Bacan itu bercerita, rumahnya juga tenggelam saat air pasang hanya mereka masih bertahan.

 

Warga yang punya dana, bisa bangun tembok di dekat rumahnya tetapi kebanyakan warga tak bisa berbuat apa-apa dan harus merelakan rumah mereka kebanjiran. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Iksan Mohdar, Ketua BPD Desa Marituso akhir Maret lalu mengatakan, warga kampung sangat menderita karena rumah mereka tenggelam saat pasang naik. Kondisi ini sudah berlangsung beberapa tahun sejak gempa terjadi.

Kini, mereka hanya pasrah sambil menanti pembangunan talud penahan air untuk menghindari kampung dari dampak air pasang. “Sebelumnya, aman tetapi ketika tanggul di pesisir pantai jebol ancaman tenggelam rumah-rumah warga jadi tidak terhindarkan,” katanya.

Mereka berharap ada perhatian serius pemerintah daerah dalam mengatasi masalah ini. Persoalan ini, kata Iksan, paling mendesak bagi warga. Pemerintah daerah sudah janji bangun tanggul. BPBD juga sudah datang tetapi sudah hampir dua tahun janji belum terealisasi.

Air laut masuk daratan juga terjadi di Pulau Moari di Kayoa Barat dan Pulau Sidanga, Kecamatan Kasiruta Barat, Kabupaten Halmahera Selatan.

Di dua desa ini, air laut masuk tidak merusak rumah juga sarana lain. Di Desa Hatejawa Pulau Moari, jembatan laut atau tambatan perahu mereka tak bisa lagi digunakan saat air pasang. Kenaikan air menenggelamkan lantai tambatan perahu yang mereka bangun.

Cerita warga setempat, saat dibangun tambatan perahu, meski air pasang jarak air dengan lantai tambatan perahu masih 1,5 meter. Setelah hampir 10 tahun ini, permukaan tambatan sudah tenggelam.

Saat air pasang, kapal atau perahu yang sandar melayani transportasi antar warga di pulau ini juga kesulitan.

“Dulu, kalau speed boat atau kapal penumpang antar pulau tidak ada masalah, sekarang ini jika kapal atau perahu sandar saat air pasang sudah tidak bisa karena permukaan tambatan perahu ini tenggelam,” kata Ansar Hi Gani, Kepala Desa Hatejawa.

Dia bilang, butuh perhatian pemerintah baik kabupaten atau provinsi agar memberikan membantu pembangunan tambatan perahu mereka.

Pulau Lelei, Kabupaten Halmahera Selatan, itu di bagian barat terdampak cukup serius kenaikan air laut. Pagar sekolah SMA di pulau ini juga terancam ambruk. Pohon-pohon di depan sekolah itu sudah roboh terkena abrasi.

Tanggul penahan ombak di desa ini juga ambruk   dihantam gelombang saat pasang naik. Saat ini, jarak antara air laut dengan sekolah tersisa sekitar lima meter.

Warga khawatir, lambat laun sekolah ini juga akan ikut ambruk dihantam abrasi parah.

“Dulu, jarak sekolah dengan tepi pantai sekitar 15 meter. Dalam 10 tahun terakhir air laut naik dan mengikis pulau ini hampir puluhan meter,” kata   Nuriyan Muin, warga Pulau Lelei, belum lama ini.

 

rumah warga di tepian laut yang terancam tenggelam. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia berharap, pemerintah bantu perbaiki tanggul penahan ombak yang sudah rusak hingga pemukiman dan sarana umum bisa selamat.

Apa yang terjadi di beberapa pulau kecil di Halmahera Selatan itu juga dialami beberapa pulau kecil lain di Halmahera Utara, Morotai, Halmahera Tengah dan Kepulauan Sula. Beberapa nyaris hilang tersapu air laut. hingga puluha meter.

Di Kabupaten Kepulauan Sula, Pulau Pagama, tinggal menunggu waktu habis terkikis laut. Pepohonan yang tumbuh di pulau berukuran kurang tujuh hektar itu, kini dalam kondisi memprihatinkan. Pohon sebagian besar tumbang tersapu air laut. Sebagian pulau bahkan tenggelam.

“Pulau ini makin lama makin habis. Perlu ada upaya serius dari semua pihak untuk mempertahankan pulau ini dari ancaman habisnya pengikisan pulau ini,” ujar Kuswandi Buamona, aktivis lingkungan dari Kabupaten Kepulauan Sula akhir Januari lalu.

Menurur dia, pulau ini selain jadi salah satu destinasi wisata pantai di Kepulauan Sula juga  tempat singgah nelayan usai melaut. “Tempat singgah nelayan saat gelombang dan angin atau hanya rehat sebelum pulang ke tempat mereka,”katanya.

 

Saat air laut pasang, halaman rumah warga di pulau kecil di Malut ini pun kebanjiran. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

***

Mengenai abrasi dan pulau pulau kecil terancam ini menurut Abdul Muthalib Angkotasan, peneliti pesisir dan pulau kecil juga dosen Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Universitas Khairun Ternate ini berhubungan dengan ekosistem.

Dia bilang,   ada tiga ekosistem utama penyusun pulau-pulau kecil, yakni ekosistem lamun, mangrove dan terumbu karang. Mangrove dan terumbu karang memiliki empat fungsi penting yakni menyediakan sumber daya alam berguna, mendukung layanan penting untuk mata pencaharian manusia, memelihara layanan rekreasi, dan melindungi wilayah pesisir dari bencana alam.

Sebagai sistem pendukung untuk layanan manusia yang kritis, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil menyediakan lingkungan bersih mendukung guna aktivitas manusia. Hanya saja, masih ada berbagai permasalahan yang mengancam masa depan dari pulau-pulau kecil ini.

Abrasi pantai, katanya memang masalah krusial di pulau kecil. Abrasi merupakan fenomena pengikisan pasir pantai oleh gelombang. Makin tinggi energi gelombang yang menghantam pesisir pantai, katanya, akan makin tinggi pula laju abrasi di pantai itu.

“Energi gelombang bukanlah satu satunya variabel yang menyebabkan abrasi pantai. Masih ada vegetasi penyusun pantai yang berfungsi buat penahan alami pesisir pantai dan menjadi peredam energi gelombang. Sebut saja ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang menjadi penghalang alami energi gelombang menuju pesisir pantai,” katanya.

Jadi, katanya, kalau ekosistem utama pesisir dan pulau-pulau kecil ini masih baik, maka fungsi mereka buat penghalang alami juga akan baik.

Dia bilang, fenomena abrasi pantai biasa dipicu oleh berbagai faktor. Pertama, energi gelombang besar dengan intensitas tinggi menghantam pesisir pantai setiap tahun. Kedua, kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, volume air laut bertambah turut berpengaruh tak langsung dalam proses abrasi pantai. Ketiga, ada penambangan pasir pantai oleh masyarakat yang menyebabkan fungsi alami pantai menurun dalam menghadapi hantaman enegi gelombang.

Keempat, eksploitasi vegetasi pelindung pantai seperti mangrove dan vegetasi Pescaprea (kayu baru, ketapang dan lain-lain). Kelima, kerusakan ekosistem terumbu karang dan lamun yang menyebabkan fungsi peredam energi gelombang dari kedua ekosistem itu.

Dia bilang, menghadapi keterancaman pulau-pulau kecil di Malut, dapat dengan beberapa pendekatan. Pertama, restorasi ekosistem utama pulau kecil yakni ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun. Kedua, rehabilitasi vegetasi pescaprea. Ketiga, membangun kesadaran kolektif masyarakat pesisir untuk tidak menambang pasir pantai.

Untuk membangun jeti dan tembok penahan ombak, katanya, menjadi alternatif terakhir.

Eddy Hermawan,   peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dikutip dari Antara, mengatakan, 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam dampak kenaikan permukaan air laut.

Menurut Eddy, kenaikan air laut ini karena perubahan iklim dan penurunan muka tanah hingga perlu kombinasi upaya mitigasi dan adaptasi agar tidak kehilangan pulau- pulau ini.

Dia menyarankan, lebih mengutamakan langkah-langkah yang memprioritaskan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan seperti penanaman mangrove dan reboisasi serta menghasilkan dan menerapkan inovasi yang bisa menjadi solusi terhadap masalah itu.

Bagaimana dengan rencana aksi (renaksi) perubahan iklim dari Pemerintah Maluku Utara?

Pemerintah Maluku Utara belum memiliki dokumen atau semacam rencana pembangunan rencana aksi perubahan iklim.

Fahrudin Tukuboya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara mengatakan, Pemerintah Malut belum punya dokumen perencanaan rencana aksi perubahan iklim.

Dia lempar ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Seharusnya, kata Fahrudin Bappeda menyusun dan menganggarkan rencana aksi itu.

 

 

********

Exit mobile version