Mongabay.co.id

Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif

 

Sejak 1960 atau pemerintahan orde baru, Indonesia menetapkan 6 April sebagai sekaligus memperingati hari nelayan nasional. Dalam sejarahnya, penetapan ini sebagai bentuk apresiasi kepada nelayan atas perannya sebagai ujung tombak penyumbang protein dan gizi melalui sektor perikanan di negeri kepulauan ini.

Akan tetapi, ditengah momentum ini, ternyata jumlah nelayan di Indonesia mengalami penurunan dan nasibnya terkatung-katung karena terjepit krisis iklim dan industri ekstraktif.

Hal itu disampaikan Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi. Menurutnya, data itu sesuai dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021. Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2,16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1,83 juta orang. Artinya, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019 atau dalam satu dekade terakhir.

Sedangkan pada 2018, jumlah nelayan masih tercatat 2,29 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan dari tahun 2018-2019 saja sebesar 460.000 orang. Artinya, penurunan ini merupakan yang terendah dalam sembilan tahun terakhir.

“Walhi mencatat, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong oleh dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” ungkapnya saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (6/4/2022).

baca : Perhatikan Nasib Nelayan Lokal, Menteri Kelautan Diingatkan Tidak Gegabah Buat Kebijakan Perikanan Tangkap

 

Kapal-kapal nelayan yang berlabuh di pesisir timur Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dia menegaskan, nelayan di berbagai wilayah di Indonesia sangat terdampak oleh krisis iklim, karena aktivitas menangkap ikan di laut sangat mengandalkan cuaca yang bersahabat. Jika cuaca di laut tidak bersahabat, maka nelayan tidak bisa pergi melaut. Selain itu, krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi akibat krisis iklim. Kondisi ini memaksa nelayan untuk tidak melaut.

Akibatnya, kata Parid, nelayan di Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan dalam satu tahun. Hal ini memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia. Kondisi inilah yang memaksa nelayan di Indonesia beralih profesi.

Dia menyebut, krisis iklim telah menyebabkan kematian nelayan di perairan Indonesia terus meningkat. WALHI mencatat pada tahun 2020, jumlah nelayan yang meninggal di laut tercatat sebanyak 251 orang. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2010 yang jumlahnya hanya 86 orang.

“Pada masa yang akan datang, krisis iklim akan terus memperburuk kehidupan nelayan di Indonesia. Berdasarkan laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit pada 28 Februari 2022, krisis iklim dilaporkan akan memperparah peningkatan suhu dan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis serta akan mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen,” bebernya.

Sedang di Asia Tenggara, 99% terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati dikarenakan krisis iklim pada tahun 2030 dan pada tahun 2050, 95% akan mencapai kategori level ancaman tertinggi, berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang.

Dia bilang, industri ekstraktif tak kalah pelik. Sektor ini menyebabkan penurunan jumlah nelayan di Indonesia sangat erat dengan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. “Di wilayah pesisir, nelayan harus berhadapan dengan ekspansi proyek reklamasi dan pertambangan di Indonesia. WALHI mencatat, sebanyak 747.363 keluarga nelayan di Indonesia terdampak oleh proyek reklamasi. Sampai dengan tahun 2040, pemerintah Indonesia merencanakan wilayah reklamasi seluas 2.698.734,04 hektar dari angka 79.348 hektar pada tahun 2020,” jelasnya.

baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurunkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

 

Dia menyayangkan pemerintah Indonesia yang mendorong ekspansi proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya. Selain itu, sebanyak 6081 desa pesisir kawasan perairannya telah tercemari limbah pertambangan. Parid mengungkapkan, pemerintah telah merencanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektar sampai dengan tahun 2040.

Parid menegaskan, penangkapan ikan terukur adalah salah satu industri ekstraktif yang kini didorong oleh pemerintah Indonesia. Walhi mencatat, kebijakan ini merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai inkonstitusional bersyarat.

Dia menilai, melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, Pemerintah Indonesia akan memberikan konsesi kepada sejumlah korporasi besar untuk menangkap ikan berdasarkan kuota di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dengan sistem kontrak selama jangka waktu tertentu. Dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa sebab 66,6 persen kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95% persen.

Kebijakan ini, tegasnya, akan mendorong persaingan bebas antara nelayan dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Penangkapan ikan terukur adalah karpet merah yang diberikan kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya ikan.

“Lebih jauh, kebijakan penangkapan ikan terukur adalah bentuk privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan di Indonesia yang meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya. Kebijakan ini akan mendorong penurunan jumlah nelayan di Indonesia yang selama ini berjasa bagi penyediaan pangan di Indonesia. Nelayan adalah pahlawan protein bangsa yang berjasa mengantarkan ikan dari laut ke meja makan kita. Namun, keberadaannya terus terancam,” papar Parid.

baca juga : Cuaca Sering Berubah, Nelayan Makin Susah Cari Ikan

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Atas dasar itu, tegasnya, Walhi mendesak Pemerintah untuk segera mengevaluasi berbagai izin usaha di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang terbukti merugikan nelayan di Indonesia. Kedua, meminta pemerintah untuk menghentikan berbagai upaya liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.

“Ketiga, mendesak Pemerintah untuk segera menyusun aturan turunan dari UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang memandatkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional dari ancaman krisis iklim,” pungkasnya.

 

Nasib Nelayan di Daerah

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, nasib nelayan di Jawa Timur, secara observasional dan melihat kondisi yang ada, sedang dalam kondisi yang rentan. Pertama rentan secara ekonomi, di mana kondisi sekarang semakin memperparah ketimpangan.

Ketika produksi ikan semakin menurun karena kerusakan ekosistem laut akibat eksploitasi besar-besaran seperti pemakaian cantrang, juga sebagai dampak krisis iklim, sehingga terumbu karang rusak, beberapa ikan kehilangan habitatnya. Kondisi ini memaksa nelayan tradisional atau nelayan kecil semakin rentan. Mereka harus kehilangan zona tangkapannya karena sumber daya ikan habis.

Akibatnya, tegas Wahyu, nelayan kecil ini harus beralih profesi atau menjadi buruh nelayan. Faktor eksploitasi besar yang mendorong kerusakan ekosistem juga memperentan nelayan kecil. Maka tidak heran jumlah nelayan semakin menurun, karena ketidakpastian ekonomi.

Hal ini pun dapat diperiksa melalui data BPS Jawa Timur yang menyebutkan nilai tukar nelayan (NTN) atau indeks dalam mengukur rasio antara indeks harga yang diterima nelayan dengan indeks harga yang dibayar nelayan. “Sederhananya, daya beli bulan Januari 2021 terhadap bulan Januari 2020 (year-on-year) turun sebesar 1,94 persen,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Rabu (6/4/2022).

Kedua, kondisi nelayan di Jawa Timur semakin terancam dengan adanya perubahan iklim, kalender musim tidak bisa mudah diprediksi lagi, akibatnya meningkatkan risiko kerentanan ekonomi terutama pada nelayan tradisional.

baca  juga : Dilema Nelayan Jambula : Tangkapan Ikan Tuna Makin Kecil dan Menjauh

 

Meski kondisi laut tak menentu dan penghasilan berkurang, sebagian nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, masih melaut dan berharap kehidupan bisa lebih baik di masa mendatang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Selain itu, ruang nelayan tradisional juga semakin sempit, selain harus berhadapan dengan nelayan kapal besar atau perusahaan yang kadang berujung konflik seperti di wilayah Masalembu dan Bawean sejauh observasi dan berdasarkan advokasi bersama terkait zonasi nelayan tradisional dan wacana pendorongan zonasi esensial pesisir di dua pulau tersebut.

Ruang mereka juga terancam oleh kapling perusahaan migas besar yang memadati perairan utara Jawa Timur, khususnya Madura. Hal ini menjadi beberapa faktor yang mendorong semakin rentannya ekosistem pesisir selain iklim, juga menjadi faktor penting dalam mendorong penurunan jumlah nelayan terutama mereka nelayan kecil khususnya nelayan tradisional.

Sebelumnya, Plt. Sekretaris Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Trian Yunanda  mengatakan pihaknya melakukan berbagai program untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebagai upaya penanganan dampak pandemi Covid-19. Nilai tukar nelayan (NTN) mencapai angka 105,9 pada bulan November tahun 2021. Volume produksi perikanan pada triwulan III tercatat sebesar 5,80 juta ton dengan nilai produksi mencapai Rp168,2 triliun.

“Seiring perkembangan penanganan covid-19 termasuk berbagai kegiatan dan bantuan yang dilaksanakan KKP, sejak bulan Mei 2020 NTN menunjukkan tren yang meningkat kembali. NTN telah mengalami rebound. Begitu pula volume, nilai produksi dan aktivitas usaha perizinan perikanan tangkap,” katanya pada 15 Desember 2021.

Adapun program prioritas untuk PEN yang telah digulirkan antara lain 14 unit kapal penangkap ikan, 12.525 paket bantuan alat penangkapan ikan, 1.875 sertifikasi awak kapal perikanan, 76.597 fasilitasi perjanjian kerja laut bagi awak kapal perikanan, 12.896 identifikasi dan fasilitasi sertifikat hak atas tanah (SeHAT) nelayan.

 

Exit mobile version