Mongabay.co.id

Film: Lumbung Pangan Bikin Limbung Pangan

 

 

 

 

Lelaki berkaos lengan panjang kombinasi warna merah dan silver cekatan memilah kopi dan kulit di atas terpal lusuh biru di pekarangan rumahnya. Sang istri menggiling kopi di sebelahnya. Selesai memilah, dia pergi ke lahan dengan tangki pompa semprot pestisida warna biru di punggungnya. Begitu narasi yang terlihat dalam cuplikan film dokumenter “Limbung Pangan.”

Petani ini adalah Ingot Sitohang. Dia sempat ikut proyek food estate di Desa Ria-ria, Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Kini, Ingot tak ikut pola food estate lagi, pilih kelola lahan sendiri, termasuk kembali merawat kebun kopi yang memang dia lakukan sejak lama.

“Semua perlengkapan untuk bertani difasilitasi pemerintah. Lengkap dengan pupuk dan pestisida. Maka kami tergiur. Sampai sekarang belum ada yang ditarik sama sekali. Mudah-mudahan, ini nanti berkelanjutan. Kalau tidak, kek mana? Daripada lahan mati, ya kita kelola sendiri,” katanya cerita saat pertama ada tawaran food estate.

Ingot menyayangkan, lahan yang sebenarnya belum siap tetapi sudah ditanami. Hasil buka semak belukar digarap hanya berjarak dua bulan dari pembongkaran. Seharusnya, menunggu paling tidak setengah tahun dan perlu setidaknya sampai tujuh kali tahapan mulai bongkaran pertama sampai siap tanam.

“Jadi, kalau dipaksakan, ya begini jadinya, kurang memuaskan. Hitungan panen, misal satu hektar, panen bisa sampai 10 ton. Lah ini, tiga hektar hanya dapat 10 ton,” katanya.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Klaim Sukses, Begini Cerita Petani soal Food Estate di Humbang Hasundutan

Petani di Humbang Hasundutan di area food estate. Foto: Barita News Lumbangbatu/ Mongabay Indonesia

 

Dia kelola ladang sekitar enam hektar dengan alat pertanian lengkap, Dia ikut proyek itu dengan coba bertani kentang. Ingot merasa aneh karena yang diterima bibit kentang atlantik. Jenis yang tak biasa ditanam di daerah itu.

“Jenis kentang yang biasa kami tanam kentang sayur atau granola. Yang dari pemerintah itu jenis kentang atlantik.”

Kekecewaan juga datang dari Rita Siregar, petani perempuan yang tanam bawang merah. “Kalau lihat dari tahap awal, belum maksimal. Sebenarnya, kita sebagai petani kecewa. Dari capek bekerja, modal sudah banyak masuk, hasilnya belum sampai 50%,” katanya.

Film hasil kolaborasi Watchdoc, Greenpeace, Fraksi Rakyat, Bersihkan Indonesia, dan Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) ini mengulik narasi proyek food estate usungan pemerintah yang katanya untuk ketahanan pangan.

Indra Jati, sutradara film itu mengatakan, film Limbung Pangan sengaja mulai dari Humbang Hasundutan karena food estate di sana belum banyak terekspos.

Dengan food estate ini, awalnya warga merasa mendapat durian runtuh. Karena lahan dibuka, dapat ragam fasilitas pertanian. Sisi lain, justru melihat ada permainan. “Memainkan ketidaktahuan petani. Informasi hanya satu arah.”

Mereka langsung tergiur dengan proyek itu. Begitu jalan, banyak kejanggalan seperti kinerja dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) tak jelas. Uang petani tidak dikembalikan. Bibit tanaman justru jenis industri, contoh kentang atlantik.

“Melalui film ini, Watchdoc bersama kolaborator lain ingin membuka pikiran publik dan menguliti food estate ini. Apakah benar-benar untuk ketahanan pangan atau yang lain?”

Berdasarkan data tim Watchdoc dan sejumlah lembaga, proyek ini lebih ke arah industri pangan, bukan kesejahteraan petani. Buktinya, justru ada pembukaan tutupan hutan besar-besaran.

Kalau melihat proyek food estate malah rentan menipu, merendahkan, bahkan mengkriminalisasi petani lokal. Sedang merekalah penyangga ketahanan pangan itu sendiri. “Kenapa justru mengambil hak mereka. Kenapa tidak mendorong cara bertahan dengan pangan lokal saja?”

 

Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

 

Ingot dalam diskusi itu mengatakan, petani tak minat lagi proyek ini dan memilih kelola lahan sendiri. “Sebenarnya, proyek ini sisi lain menguntungkan. Kami bersyukur. Karena lahan yang sebelumnya semak belukar, sekarang bisa kami kelola sendiri. Kami berupaya tanami, dengan pola tani dan kemampuan kami sendiri.”

Awal mulai 2020, katanya, berjalan mulus tetapi petani kecewa terhadap hasil panen. Lahan kelola luas tetapi hasil sedikit, satu hektar hanya panen dua ton. “Awalnya, kami bangga karena di awal kami prediksi, lahan luas dan fasilitas memadai, pasti besar hasilnya nanti. Nyatanya jauh dari prediksi. Kami kecewa.”

Dia pun pilih tanam bawang sendiri dan sudah panen. “Kami panen bawang merah. Kerjasama dengan PT Ewindo. Hasilnya lumayan. Soalnya masih perdana. Modal sendiri juga. Hanya benih dipinjamkan.”

Siti Aisyah, dari Milenial Farmers mengatakan, dampak food estate perlu dilihat dari berbagai aspek, aspek ekologis dan keberlanjutan. “Apakah ada pelajaran yang diambil dari proyek yang justru pernah dijalankan tahun 90-an?  Apakah varietas yang ditanam itu sesuai konteks lokal?” katanya.

Kalau tidak, katanya, justru buruk bagi lingkungan.

Syahrul Fitria, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengaitkan food estate dengan UU Cipta Kerja. Menurut dia, UU Cipta Kerja mengancam hutan dan masa depan pangan.

Karena UU Cipta Kerja mempromosikan mode pengolahan pangan skala industri, dan bisnis investasi yang justru akan mengkastrasi sumber daya alam.

Food estate, sebenarnya sudah direncanakan, karena itu masuk proyek strategis nasional. Jadi, Oktober masuk dalam kerangka proyek strategis nasional. Ketika masuk PSN, UU Cipta Kerja dibentuk.”

Dia nilai, food estate lebih ke eksploitasi hutan. “Buktinya ada. Kami temukan di lapangan. UU Cipta Kerja sebenarnya mempermudah pelepasan hutan. Itu yang mengkhawatirkan.”

Dalam skema food estate ini, katanya, kajian lingkungan strategis dibikin cepat. “Artinya, banyak yang dipangkas, seperti komunikasi publik, riset di lapangan.”

Ketika KLHS biasa saja,, katanya, masih banyak bolong.

 

Baca juga: Food Estate di Humbang Hasundutan Mulai Jalan, Bagaimana Keterlibatan Petani?

Area food estate di Humbahas, yang mulai masuk panen kedua pada November tahun lalu. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

*****

Exit mobile version