Mongabay.co.id

River Engage, Serunya Survei Sampah dan Herping di Sungai

 

Sungai jadi tempat menyenangkan untuk mengenal sumber masalah sampah laut dan kenekaragaman hayatinya. Dua kegiatan sederhana namun bermakna adalah belajar survei sampah dan pemantauan herpetofauna (herping) di sungai.

Selama dua hari, sebanyak 15 anak muda dari Bali dan luar Bali belajar mengenali sungai, kawasan yang sering tidak dipedulikan terutama di kawasan urban atau perkotaan. Hari pertama dimulai dengan memetakan masalah sampah di Bali dan apa yang sedang dilakukan saat ini untuk mengurangi kebocorannya ke laut.

Gede Hendrawan, peneliti sampah laut dan dosen Fakultas Kelautan Universitas Udayana membahas baseline data dari riset sampah Bali Partnership 2019. Sampah yang sudah ditangani hanya 48%, ini sampah yang sudah dikumpulkan dan masuk TPA. “Ini belum baik, karena TPA penuh. Jika hendak tutup TPA, ini akan jadi masalah besar di Bali. Dengan Pergub (Pengelolaan sampah dari sumber) harus dikelola di desa, walau belum cukup pendanaan,” terangnya.

Hanya 4% didaur ulang, artinya dikumpulkan dan masuk bank sampah. Volume sampah harian di Bali sebesar 4.200 ton per hari, terbanyak di Kota Denpasar 19% dan Kabupaten Buleleng 14%, dua daerah dengan penduduk terpadat.

Artinya ada 52% atau sekitar 2.200 ton/hari yang tidak tertangani. Dari jumlah itu, terbuang ke lingkungan 22%, dibakar 19%, dan masuk ke saluran air 11%. Ada 32 ribu ton per tahun sampah yang berpotensi masuk ke sumber air, laut dan sungai. Jika satu truk sampah isinya 4-6 ton, maka yang bocor ke lingkungan sekitar 8.000 truk.

Data dasar ini jadi panduan apakah ada perubahan setelah regulasi? Apakah ada pengurangan sampah plastik? Apakah ada perbaikan untuk mencegah kebocoran? Sementara ada Rencana Aksi Nasional (RAN) mengurangi 70% sampah plastik di laut pada 2025.

Karena itu Mahendra menilai pentingnya survei sampah di lingkungan secara rutin. Masalahnya, belum ada kesepakatan metodelogi di tingkat global. Eropa, Australia memiliki metode sendiri, dan Indonesia mengadopsi beberapa metode. KLHK sudah mengeluarkan metode survei terutama di pesisir. “Metode standar diperlukan untuk membandingkan hasil di sejumlah lokasi dan negara. Termasuk baku mutu,” tambahnya.

baca : Riset: Jenis Sampah Di Pesisir Jadi Potret Kondisi Daratan

 

Memilah sampah dari survei sampah River Engage di Tukad Ayung. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Setelah mengetahui masalah besarnya, para peserta kegiatan River Engage menuju sungai Tukad Ayung pada 2-3 April 2022 untuk mempraktikkan survei sampah yang menggunakan transek plot dan observasi herpetofauna. Puspita Insan Kamil, salah satu National Geographic Explorer yang jadi fasilitator menyebut metode survei sampah yang dipilih sesuai prinsip citizen science yang murah dan sederhana, diadopsi dari NOAA Marine Debris Shoreline Survey Field Guide.

Ia mengingatkan perbedaan survei di pantai dan sungai, karena ada perbedaan kontur dan kondisi lapangan. Puspita menekankan keamanan dan keselamatan, peralatan, kesiapan tim, dan keadaan sosial di sekitar sungai. Warga sekitar sungai bisa saja memiliki perlakuan khusus seperti jadi kawasan sakral atau terikat tradisi tertentu. Survei sampah di sungai juga harus mewaspadai dengan satwa sungai yang bisa bersembunyi di daun, pohon, dalam air, dan semak.

Sebelum survei, juga harus menentukan titik survei. Ada tiga area sungai yakni zona source (hulu), transisi, dan floodplain (hilir). Survei kali ini akan dihelat di bagian hilir yang berada di tengah pemukiman kota Denpasar. Profil sungai Tukad Ayung adalah memiliki sudut kemiringan 0-2000 mdp, daerah aliran sungai (watershed) hulu luasnya sekitar 18.000 ha, zona transisi 7.500 ha, dan hilir 2.800 ha.

Ketika tiba di lokasi survei, cuaca panas bisa diredam dengan kerindangan pohon di sempadan sungai. Karena baru usai hujan pada malam hari, aliran air cukup deras dan menyisakan sedikit sempadan. Tim River Engage memilih area dengan cukup sempadan untuk membuat transek plot. Area yang bisa diplot dengan menarik meteran ke arah panjang dan lebar sungai sekitar 16 x 5 meter.

Nah, di kawasan inilah, survei sampah dilakukan sangat intens dengan memungut semua sampah anorganik termasuk remahannya. Karena itu, pemungut sampah diminta jalan zig-zag dan bolak-balik 5 kali untuk memastikan tak ada sampah yang masih terlihat mata, kecuali tertanam di bawah tanah. Pemungut sampah memulai dari ujung berlawanan, lalu bertemu di tengah.

baca juga : Sampah di Laut Dampak Kegagalan Penanganan di Darat

 

Survei sampah dengan metode transek plot di Tukad Ayung. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Shifa, mahasiswa semester 4 Fakultas Pariwisata Universitas Udayana memungut sampah dengan tekun. Ia mempelajari sampah karena tertarik dengan isu pesisir. “Hal baru dan menarik yang saya dapatkan adalah ilmu tentang penelitian sampah itu sendiri. bagi saya yang dulunya hanya ikut clean up tanpa mengetahui jumlah sampah dan sampah apa saja, sekarang jadi mengerti. Saya juga memahami tentang persebaran sampah, bagaimana sampah yang dibuang sembarangan di jalan bisa berakhir ke sungai,” urainya.

Hasilnya adalah 4 karung sampah berjumlah 610 potong, jumlah ini lebih banyak dibanding survei yang pernah dilakukan Puspita sebelumnya di salah satu titik zona hilir Sungai Brantas, Jawa Timur. Saat dipilah, sampah ini dikelompokkan sesuai panduan metode yang diadopsi. Setidaknya ada 7 kelompok yakni fragmen plastik, besi, kertas, karet, gelas, dan kain. Semua kelompok didetailnya sesuai jenisnya misal di kelompok fragmen plastik ada kantong, kemasan makanan, botol, dan lainnya. Di luar itu ada kategori lain-lain.

Jenis terbanyak yang terkumpul adalah kategori lainnya karena plastik tidak teridentifikasi bentuk aslinya (34%), berupa potongan plastik atau material lain. Temuan ini dinilai menkhawatirkan karena risiko paparan mikroplastik dan lamanya sampah itu ada di sempadan sungai.

Berikutnya kantong plastik (32%), kemudian pembungkus makanan (12%). Data-data mentah ini dianalisis ke sebuah tabel yang berisi keterangan kepadatan sampah (per gram/m2), jumlah individual sampah, populasi warga, area sungai, dan kepadatan penduduk. Dari sini bisa diperkirakan apa masalahnya dan kemungkinan solusi.

 

Observasi reptil dan amfibi

Pengalaman belajar menarik berikut adalah mengidentifikasi herpetofauna atau disebut dengan aktivitas herping.

Nathan Rusli, peneliti dari Yayasan Herpetofauna Indonesia memandu proses ini di sungai Tukad Ayung. Herpetofauna merujuk pada kelompok binatang reptil dan amphibi. Salah satu cirinya, berdarah dingin, karena tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri.

Mereka mengikuti situasi lingkungan, misal jika buaya kepanasan akan buka mulut. Ciri khas lain adalah penutup tubuh, sisik pada reptil dan kulit tipis pada amfibi. Hal mudah untuk membedakan, jika reptil, anaknya sesuai dengan induknya. Sedangkan pada amfibi ada proses metamorfosis saat lahir, anak, remaja, dan dewasa.

baca juga : Mengenal Cecak Jarilengkung Hamidy, Spesies Baru dari Kalimantan

 

Cicak Batu yang tidak bisa menempel di tembok. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Metode survei dan identifikasi yang digunakan time search, mengalokasikan waktu dengan konsisten di sejumlah titik. Tiap observasi ditentukan durasi waktunya untuk jalan di lokasi tertentu. Setelah menemui reptil atau amfibi, dicatat. Kemudian diidentifikasi dengan ciri-ciri morfologi (fisik), ekologi, dan interakasi dengan habitatnya.

Sejumlah dokumentasi dunia herpetofauna di antaranya buku A Naturalist Guide to the Reptile and Amphibians of Bali (Somaweera, 2017). Bisa juga mencatat temuan di aplikasi iNaturalist, aplikasi citizen science, siapa pun bisa berkontribusi, misalnya di proyek bertajuk Amfibi Reptil Kita, merangkum data temuan warga dari Indonesia.

Kegiatan herping dilakukan dua kali, malam karena mereka aktif saat malam. Reptil juga lebih mudah diamati di pohon. Berikutnya pagi hari saat matahari baru terbit karena amfibi mulai berjemur, mencari energi, dan baru bangun lebih mudah diamati karena masih slow, terutama kadal.

Lima peserta dipandu oleh Nathan memulai herping malam hari dengan bersemangat. Temuan pertama adalah cicak batu, jenis cicak yang sulit menempel di tembok seperti cicak rumah. Berikutnya seekor ular lidah api terpantau di sebuah dahan pohon.

Perjalanan herping ini ternyata terasa menyenangkan mengalahkan rasa takut. Karena tiap bertemu satwa target, selalu ada cerita morfologi dan perilakunya. Misalnya saat menemukan ular lidah api kali ketiga, si ular yang dipegang Nathan seperti menampar-nampar tangannya, karena itu disebut juga dengan ular tampar. Nathan segera melepas karena si luar terlihat baru usai makan, dan ia tidak mau ular ini memuntahkan makanan yang sudah sulit ia dapatkan malam itu. “Kalau merasa terancam, ia muntah,” katanya.

Satu-satunya amfibi yang ditemukan dalam rencana 30 menit herping adalah kodok muda. Di akhir perjalanan, tim herping beruntung melihat ular piton yang sedang berenang di air sungai dangkal. Ular tak berbisa yang menjaga pertahanan dengan melilitkan badannya ini adalah jenis ular terbesar, panjangnya bisa 4 meter.

baca juga : Bisakah Kita Hidup “Bertetangga” dengan Ular?

 

Ular Sanca Batik atau Piton ditemukan saat herping di Sungai Tukad Ayung pada 2 April 2022. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Nathan dan Adi, dua orang berpangalaman menangani ular dengan tenang menunjukkan bagian satwa ini seperti kulit dan kepalanya. Hal menarik, piton jantan setidaknya memiliki 2 alat kelamin untuk menyesuaikan diri saat posisi kawin.

Adi menyebut kerap menyelamatkan ular piton di sawah karena habitatnya makin terpojok oleh alih fungsi lahan. Padahal reptil dan amfibi adalah rantai keseimbangan alam penting.

Menggabungkan sampah dengan herpetarium di sungai beralasan. Karena keberadaan satwa ini salah satu indikator kesehatan ekosistem. Misal Kodok Merah terancam punah, karena hanya bisa hidup di air dingin dan bersih. Jika kotor ia akan mati. Ular piton bisa di air kotor karena saingannya sedikit di Jakarta, misal burung hantu sudah berkurang. Lebih banyak tikus di kota, ular senang. Terutama saat banjir.

“Reptil dan amfibi penting di alam, predator hama tikus di sawah untuk menghindari penggunaan pestisida. Ular bisa masuk got, lubang dibandingkan burung hantu. Kodok, cicak, makan nyamuk, dan amfibi sensitif kualitas air,” papar Nathan.

Kegiatan herping menemukan dan mengidentifikasi Cicak batu (Cyrtodaxtylus sp.) 3 ekor, satu ekor dalam kondisi bunting dengan 2 telur, Ular Lidah Api (Dendrelaphis pictus), Tokek rumah (Gecko gecko), Piton atau Sanca Batik (Malayophyton reticulatus), dan Kodok sawah (Fejervarya limnocharis).

Untuk ular berbisa, sudah ada serum antibisa yang diproduksi. Cara membuatnya, bisa ular diberikan ke kuda dengan beberapa dosis sampai tercipta kekebalan, setelah itu plasma darah putih kuda diambil untuk jadi material serum.

Dikutip dari buku tentang reptild an amfibi di Bali (Somaweera, 2017), IUCN red list of threatened Species versi 2016-2 mendaftarkan 22 spesies dari Bali. Kategori terancam (endangered): Montane Chorus Frog, Oreophryne monticola, Green Turtle Chelonia mydas. Kategori rentan (vulnarable): King Cobra (Ophiophagus hannah), dan Burmese Python (Phython bivittatus). Lainnya termasuk risiko rendah (least concern).

Sungai Tukad Ayung di bagian hilir masih menjadi sumber aktivitas manusia seperti memancing, bermain, mandi, cuci pakaian, bahkan sumber air minum. Hal ini nampak di titik lokasi survei dan pengamatan herpetofauna, dari pagi sampai malam ada kegiatan manusia. Namun, timbunan sampah anorganik selalu ada dari hulu, walau warga sudah berusaha membersihkan.

Di akhir acara River Engage ini, peserta juga diajak mampu membuat solusi di lingkungan sekitarnya dengan pengalaman dari IB Mandhara Brasika yang mengembangkan bank sampah digital Griya Luhu. Selain itu berani membuat kampanye publik saat membuat aksi lingkungan yang dipandu Afif Saputra, Communication and Digital Manager GreenPeace Indonesia.

 

Exit mobile version