Mongabay.co.id

Gunung Ranai, Petunjuk Alam Nelayan yang Tinggal Kenangan

 

Kapal kayu lima gross tonnage itu perlahan melaju menjauh meninggalkan Pelabuhan Pemping, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Terlihat, istri dan anak Rahmad Wijaya melambaikan tangan dari ujung dermaga, perlahan lambaian itu menghilang. Kapal Rahmad terus melaju menyibakkan hutan mangrove yang rindang di bagian kanan dan kiri pesisir di sebelah utara Pulau Natuna.

Rahmad dan dua anak buah kapalnya (ABK) siap melaut ke arah utara Natuna. Seperti melaut biasanya, persiapan rahmad sudah matang, mulai dari makanan hingga umpan. Mereka akan melaut selama 10 hari kedepan.

Cuaca pagi itu cukup cerah. Rahmad tidak hanya menyaksikan pemandangan mangrove yang rindang. Sebelum benar-benar meninggalkan daratan, nelayan melihat keindahan gunung ranai yang menjulang ke langit. Apalagi saat itu puncaknya diselimuti awan berbentuk benang sutra. Keindahan ini perlahan hilang berubah menjadi laut lepas yang mencekam.

Gunung Ranai semakin mengecil. Rahmad mulai memantau beberapa titik koordinat lokasi menangkap ikan melalui radar yang ada di atas kapalnya. Begitu juga melalui aplikasi windy yang terdapat di smartphonenya.

baca : Cuaca Sering Berubah, Nelayan Makin Susah Cari Ikan

 

Gunung Ranai terlihat dari dalam kapal nelayan. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

“Aplikasi ini untuk melihat prediksi cuaca, angin, hujan beberapa hari kedepan,” kata Rahmad kepada Mongabay Indonesia yang ikut melaut belum lama ini. Aplikasi itu menjadi patokan nelayan untuk berangkat melaut.

Gunung Ranai semakin mengecil, tiba-tiba Rahmad memandang ke arah gunung dan mengenang, dahulu nelayan Natuna tidak mengandalkan aplikasi untuk memprediksi cuaca melaut. Ia mengatakan, prediksi cuaca beberapa hari kedepan cukup melalui tanda alam. “Salah satunya melihat gunung itu,” kata Rahmad sembari menunjuk Gunung Ranai yang semakin menjauh.

Seperti cuaca hari itu, gumpalan awan yang berada di Puncak Gunung Ranai menandakan cuaca cukup cerah. Tetapi, kalau awan membentuk sabit dan mengelilingi puncak gunung Ranai itu pertanda angin barat akan datang.

Sedangkan ketika awan menutupi gunung ranai sepertiga, itu pertanda angin selatan akan terjadi. “Kalau kami menyebutnya gunung berpeci pak aji, itu biasanya bulan tujuh sampai bulan sembilan, angin kuat dan ikan berada cukup jauh dari pesisir,” kata pria 35 tahun itu.

baca juga : Dampak Perubahan Cuaca, Pendapatan Nelayan Rajungan Menurun

 

Nelayan Natuna pulang melaut dengan latar Gunung Ranai. Foto : Yogi Eka/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan cuaca yang paling ditakuti nelayan adalah angin barat daya. Nelayan tidak sama sekali bisa bekerja mencari ikan di laut. “Kalau itu tandanya posisi awan menggumpal berada di belakang gunung ranai sebelah barat,” kata Rahmad sambil terus menunjuk ke arah Gunung Ranai dari atas kapalnya.

Prediksi cuaca alam secara alami oleh nelayan Natuna tidak hanya melalui gunung, tetapi juga dilihat dari petir yang datang. Kalau petir tiba-tiba datang sekitar sore hari itu pertanda angin barat daya akan terjadi.

Tidak hanya tanda alam, juga ada kepercayaan nelayan Natuna melaut pada dianjurkan pada hari Jumat. Pasalnya sudah beberapa generasi nelayan selalu mendapati ketika hari Jumat cuaca untuk mulai melaut lebih teduh.”Selain itu hari Jumat juga hari baik,” kata Rahmad.

Saat ini katanya, rata-rata nelayan Natuna menggunakan aplikasi yang ada di smartphone untuk melihat cuaca, termasuk yang digunakannya saat melaut hari itu.“Selisihnya memang tidak beda jauh tanda alam dengan aplikasi, misalnya diprediksi Jumat angin kencang, bisa mundur menjadi Kamis kalau dilihat dari aplikasi,” katanya.

baca juga : Nelayan Masih Nekat Melaut Meski Kondisi Cuaca Buruk

 

Seorang nelayan Natuna memandang jauh dengan latar Gunung Ranai dari atas kapal. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Begitu juga yang diceritakan nelayan lainnya. Salah satunya Dedi, yang sudah melaut di Natuna beberapa puluhan tahun lalu. Dedi dikenal di Natuna sebagai nelayan paling berani menghadang badai.

Bahkan pria 45 tahun ini tidaklah menggunakan aplikasi untuk prediksi cuaca di laut. Ia sampai sekarang masih mengandalkan tanda alam, salah satunya melihat pergerakan awan di atas Gunung Ranai Natuna. “Kalau awan sudah hitam di atas gunung, itu cuaca mau ribut,” kata Dedi kepada Mongabay Indonesia, belum lama ini.

Apalagi kata Dedi, kalau awan sudah menutupi sebagian gunung Ranai, itu pertanda nelayan harus istirahat melaut. “Kalau aku jujur saja, tidak percaya prediksi cuaca dengan aplikasi,” katanya.

Menurut Dedi aplikasi tidak sepenuhnya tepat memprediksi cuaca. “Tapi, sekarang nelayan malahan banyak pakai aplikasi itu,” ujar Dedi.

baca juga : Berkat Aplikasi Cuaca, Nelayan Malang Bisa Antisipasi Gelombang Pasang dan Banjir Rob

 

Seorang nelayan sedang melaut di Laut Natuna Utara. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANN) Hendri tidak memungkiri nelayan Natuna sudah mulai meninggalkan tanda-tanda alam sebagai petunjuk melaut. Salah satunya kebiasaan tradisional itu ditinggalkan akibat nelayan baru sekarang tidak mau belajar. “Mereka lebih suka menggunakan aplikasi yang dinilai lebih praktis,” katanya

Bahkan sejak lama, kata Hendri, banyak lagi tanda alam yang digunakan nelayan untuk memprediksi cuaca sekarang mulai hilang  Seperti tanda alam dilihat dari Gunung Ranai, jenis burung yang terbang di langit, melihat pergerakan rumput laut hanyut, melihat tanda di darat yaitu waktu cam go menjadi tradisi tionghoa. “Kalau itu biasanya pertanda angin utara sudah selesai,” kata Hendri.

Begitu juga dulunya lanjut Hendri, nelayan menentukan arah melaut tidak menggunakan GPS, tetapi murni menggunakan tanda alam. Misalnya menandakan lokasi spot mancing dengan cara melihat posisi gunung Ranai, pulau kecil dan lainnya. “Bahkan tanda alam juga akurat, nelayan tetap mendapatkan banyak ikan di spot memancing dengan hanya mengandalkan tanda alam,” kata Hendri.

Sekarang ini kata Hendri, masih ada beberapa nelayan yang menggunakan tanda alam tersebut tetapi tidak sebanyak dulu. “Apalagi bagi nelayan yang tidak memiliki smartphone, itu masih menggunakan tanda alam,” katanya.

 

Exit mobile version