Mongabay.co.id

Akibat Banjir, Puluhan Anakan Buaya Muara Masuk Permukiman Warga di Banyuasin

Buaya muara merupakan jenis paling buas jika dibandingkan tiga jenis lainnya yang ada di Indonesia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Sebanyak 21 anakan buaya muara [Crocodylus porosus] terlepas dari kandang bekas penangkaran buaya PD Budiman di daerah Sungai Itam, Palembang, Sumatera Selatan. Lepasnya anakan buaya muara disebabkan banjir melanda kawasan Sungai Itam dan sekitarnya, termasuk di lokasi eks penangkaran buaya muara PD Budiman, Selasa [12/04/2022].

Bagaimana nasib 21 anakan buaya muara tersebut?

“Sampai saat ini baru tiga individu yang kami selamatkan. Satu ekor dikabarkan mati oleh warga dan kami tengah mencarinya,” kata Yusmono, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I [Palembang, Banyuasin dan Musi Banyuasin] Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [13/04/2022].

Dijelaskan Yusmono, berdasarkan pengecekan pawang buaya PD Budiman, ketinggian air [banjir] di Sungai Itam dan sekitarnya mencapai 1,5 meter. Kondisi ini melampaui bak penampungan anakan buaya muara, sehingga hanyut terbawa arus banjir.

Anakan buaya yang terlepas tersebut ukurannya kisaran 1,5-2 meter. Total anakan yang ditangkarkan sebanyak 82 individu.

“Sebenarnya, penangkaran buaya PD Budiman sudah ditutup. Buaya yang ada dalam proses pemindahan ke penangkaran di Medan, Sumatera Utara,” jelasnya.

Puluhan buaya tersebut diperkirakan menyebar ke permukiman penduduk di Desa Talang Buluh, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, tidak jauh dari eks penangkaran buaya PD Budiman yang masuk Kota Palembang.

“Sembari menunggu air surut, tim melakukan penyisiran dengan pemerintah dan masyarakat di Desa Talang Buluh,” ujarnya.

Baca: Sering Terjadi, Konflik Manusia dengan Buaya di Bangka Belitung

 

Buaya muara merupakan jenis paling buas jika dibandingkan jenis lain yang ada di Indonesia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dilindungi

Ujang Wisnu Barata, Kepala BKSDA Sumatera Selatan, dalam siaran pers, Rabu [13/04/2022], menjelaskan merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, buaya muara merupakan jenis satwa dilindungi. Artinya, keberadaannya harus tetap terjaga.

Dia berharap, masyarakat tetap tenang dan waspada. Misalnya, untuk sementara beraktivitas jauh badan air [sunga dan rawa].

“Serta menginformasikan kepada petugas jika menjumpai keberadaan anakan buaya muara tersebut. Bagi masyarakat yang memiliki keahlian menangkap buaya dapat bergabung dengan tim dan membantu pencarian,” paparnya.

Sebagai informasi, sekitar 35 persen wilayah daratan Sumatera Selatan seluas 8,7 juta hektar, merupakan kawasan lowland. Baik berupa sungai, rawa gambut, dan mangrove. Di kawasan berair ini, merupakan habitat buaya muara dan buaya senyulong [Tomistoma schlegelii].

PD Budiman yang sebelumnya memiliki penangkaran buaya di Kelurahan Siring Agung, Kecamatan Ilir Barat I Palembang, pernah merawat satu individu buaya senyulong sepanjang 2,8 meter, sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya di Sungai Lalan, Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin.

Baca: Kebiasaan Unik Buaya Muara, Mempelajari Pola dan Gerakan Mangsanya

 

Buaya muara merupakan predator puncak yang tangguh dan mudah beradaptasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pawang buaya

Masyarakat Sumatera Selatan memiliki hubungan yang harmonis dengan buaya, khususnya buaya muara. Di Sungai Musi yang membelah Kota Palembang, hidup sejumlah buaya muara. Beberapa wilayah permukiman di Sungai Musi yang sering terlihat buaya muara, antara lain di kawasan Kertapati, Plaju, dan Sungai Lais.

Konflik antara buaya muara dengan manusia jarang terjadi, sebab masyarakat di Palembang tidak pernah memburunya, apalagi mengusik tempat hidupnya [habitat].

Konflik manusia dengan buaya muara mulai terjadi di wilayah Sungai Lalan, Air Sugihan, dan Pulau Rimau, setelah sebagian besar kawasan rawa gambutnya dibuka menjadi permukiman dan perkebunan oleh transmigran.

Pemulutan, sebuah wilayah di Kabupaten Ogan Ilir atau yang berbatasan dengan Kota Palembang, dikenal memiliki pawang buaya. Jika terjadi konflik manusia dengan buaya [buaya muara maupun senyulong], biasanya didatangkan pawang dari Pemulutan. Bahkan, sejumlah kasus di Pulau Bangka [Pesisir Barat] juga menghadirkan pawang dari Pemulutan.

“Sebagian wong Pemulutan mengklaim memiliki nenek moyang buaya muara,” kata Jibun [55], warga Pemulutan beberapa waktu lalu.

Baca juga: Dilindungi dan Dihormati, Buaya Endemik Papua Ini Masih Diburu

 

Buaya muara [Crocodylus porosus] merupakan jenis dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ilmu hitam buaya juga dipercaya dimiliki sejumlah warga di Sumatera Selatan, yakni ilmu yang dapat mengubah sosok manusia menjadi buaya jika masuk ke air.

Diceritakan Djohan Hanafiah [1939-2010], budayawan Palembang, pada abad ke-16, seorang pemimpin [raja] di Palembang menghadapi persoalan keberadaan buaya di Sungai Musi. Sebab, sering berkonflik dengan manusia.

Dia kemudian mendatangkan seorang pawang buaya dari India. Dijanjikan, sang pawang akan diberikan banyak hadiah, jika mampu menjinakkan buaya-buaya di Sungai Musi.

Pawang buaya dari India itu mampu menjinakkan buaya-buaya di Sungai Musi. Lalu, raja membawanya ke pedalaman yang banyak buaya. Dia pun berhasil melakukan tugasnya.

Lalu, raja memerintahkan sang pawang untuk mengembalikan keganasan buaya-buaya tersebut. Sebagai bukti kekuatan ilmunya.

Pawang itu dengan bangganya menunjukan kemampuannya. Buaya kembali ganas, ayam dan kambing yang dilempar ke sungai dengan cepat dimakan.

Ketika si pawang lengah, seorang prajurit kerajaan Palembang mendorongnya ke sungai. Pawang itu mati dimangsa buaya.

“Raja terpaksa membunuh pawang tersebut. Sebab, dapat menjadi ancaman jika sewaktu-waktu dapat mengembalikan keganasan buaya di Sungai Musi,” tutur Djohan Hanafiah.

 

 

Exit mobile version