Mongabay.co.id

Nelayan Tak Mau Ada Tambang Pasir di Perairan Rupat

 

 

 

 

Eriyanto dan Miswan, pertengahan Maret lalu, tengah melempar jaring sekitar Pulau Babi dan Beting Aceh, tak jauh dari muka Sungai Simpur, Desa Suka Damai, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau. Sekitar 15 menit, beragam jenis ikan terperangkap di mata jaring tiga lapis milik Ketua Kelompok Nelayan Kerapu ini. Mulai bawal, gulama, timah sampai biang. Udang belang dan putih seukuran jempol tangan orang dewasa juga masuk jaring Eriyanto, yang akrab dipanggil Botak ini.

Sedikit demi sedikit, dua ember pun mulai terisi. Melaut hari itu, hanya dua kali lemparan jaring. Biasa, sampai lima enam kali atau setengah hari.

Cuaca tiba-tiba kurang bagus. Hujan mulai turun disertai hembusan angin barat. Ombak juga makin kuat menghempas perahu. Botak minta Miswan langsung tarik jaring hasil buangan kedua. Mereka balik ke Tangkahan.

Botak dapat Rp170.000. Jauh dari cukup setelah dikurangi biaya melaut Rp120.000. “Lumayanlah dibanding semalam, cuma dapat dua udang dan sembilan kg ikan duri,” katanya.

Ikan duri tergolong melimpah di perairan sekitar Rupat, tetapi bagi nelayan dinilai merusak jaring.

Kempang, nelayan Dusun Simpur, jauh lebih beruntung. Tak berapa lama Botak menyandarkan perahu di dermaga, dia tiba dengan satu ember penuh ikan lome dan hampir dua ember duri. Pengepul sudah menunggu di dermaga. Kedua jenis ikan itu dibeli penampung Rp5.000 per kilogram.

Agu, Ketua Kelompok Nelayan Cumi-cumi, Dusun Simpur, juga tak kalah beruntung dari Kempang. Melaut dari pagi buta hingga siang, dia mendapatkan lima kilogram udang belang, dua ember ikan campur, tiga ikan gerut plus satu ikan parang besar untuk konsumsi di rumah. Dia melempar jaring di belakang Pulau Babi.

 

Baca juga: Pulau Rupat Terancam, Terbebani Izin Ekstraktif di Darat dan Laut

Hasil tangkapan nelayan mulai membaik setelah KKP menyetop pertambangan pasir di perairan Rupat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Botak, Kempang dan Agu, tergolong nelayan kecil karena hanya melaut dengan jarak tak lebih satu mil dari bibir pantai Pulau Rupat. Sebelum melempar jaring, Botak mesti mengukur kedalaman dengan tali yang diikat besi timah.

Kalau air laut jernih, katanya, jaring dilempar pada kedalaman 17 meter. Sebaliknya, kalau keruh harus di atas kedalaman delapan meter. Alhasil, dia beberapa kali harus pindah posisi untuk mendapatkan kedalaman yang pas.

Setelah menemukan lapak yang tepat, ujung tali jaring yang diikat dengan pelampung langsung dilepas hingga hanyut perlahan ke dalam air.

Beberapa nelayan sekitar juga melakukan hal sama. Hari itu, enam perahu serupa terombang-ambing setelah jaring dibuang. Alat tangkap itu dibiarkan hanyut mengikuti arus air. Bila saatnya tiba, mesin perahu dihidupkan kembali menjemput jaring masing-masing.

Ukuran perahu nelayan kecil ini rata-rata berkapasitas tiga ton. Ia digerakkan dengan mesin dongpeng 1.100. Beberapa tanpa gearbox. Rata-rata panjang jaring sekitar 500-700 meter. Satu perahu dua sampai tiga orang.

Ada juga tanpa membawa anak buah sama sekali. Melaut seorang diri dengan perahu tanpa gearbox, biasa melempar jaring dari buritan sekaligus mengatur laju perahu.

 

Nelayan Rupat tak mau ada tambang pasir di perairan tempat mereka tangkap ikan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Tak mau ada tambang pasir

Setengah bulan ini, nelayan Suka Damai dan Titi Akar mulai tenang dan semangat melaut kembali setelah perusahaan tambang setop operasi. Hasil tangkapan berangsur meningkat.

Berbeda, ketika PT Logomas Utama menambang pasir laut di sekitar wilayah tangkap mereka. Sehari melaut, hanya dapat beberapa udang dan ikan. Bahkan, tak dapat sama sekali meski sudah 10 kali lempar jaring.

Kondisi itu mengganggu aktivitas nelayan. Sejak September 2021, penyedotan pasir menyebabkan air laut keruh. Wilayah tangkap nelayan makin dalam.

Ketinggian Beting Kuali jauh berkurang. Padahal gundukan pasir di belakang Pulau Babi itu jadi patokan nelayan melabuh perahu kala melempar jaring saat air surut.

“Beting Kuali itu walaupun pasang keling tak pernah tenggelam. Sekarang, sudah jauh turun gundukannya,” kata Danil, nelayan Dusun Simpur, di sela membersihkan perahu motor sepulang melaut.

Botak juga mengatakan hal sama. Biasa, nelayan agak menjauh dari Beting Kuali karena perahu bisa kandas. Sekarang, jarak beberapa puluh meter saja perahu nelayan lewat seperti tak ada hambatan.

Pulau Babi juga tidak terhindar dari ancaman abrasi. Termasuk Beting Aceh di sebelahnya, yang jadi destinasi wisata Pantai Suka Damai. Wilayah ini bagian dari kawasan stretagis pariwisata nasional (KSPN) dan kawasan strategis pariwisata kabupaten (KSPK).

Jupiter, Ketua Kelompok Nelayan Andesta Camar Laut, khawatir kalau Pulau Babi dan beberapa beting di sekitar lenyap, daratan Titi Akar dan Suka Damai juga terancam abrasi bahkan tsunami.

Andesta akronim dari Anak Desa Titi Akar. Pulau-pulau kecil itu dianggap sebagai pelindung desa mereka.

Bagi nelayan Suka Damai, sekitaran Beting Aceh adalah surga bawal, udang dan renjong atau kepiting. Jupiter meminta, pemerintah mencabut izin Logomas.

Logomas memperoleh izin kuasa pertambangan (KP) eksploitasi sejak 23 Agustus 1999. Namun perusahaan dengan mayoritas saham Alogo Sianipar ini tidak pernah beraktivitas sampai 2017.

Pada 7 Agustus 2015, Direktur Logomas mengajukan permohonan perubahan izin KP eksploitasi jadi izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Riau mengabulkan permohonan itu pada 29 Maret 2017.

Meski mendapat penyesuaian izin baru, perusahaan tak langsung beraktivitas. Merujuk surat perusahaan ke Badan Pendapatan Daerah Bengkalis, Logomas baru mulai produksi di perairan laut Rupat pada 25 September 2021.

 

KKP yang menghentikan sementara operasi tambang di pesisir Pulau Rupat. Foto: Walhi Riau

 

Dalam surat DPMPTSP Riau, mewajibkan Logomas menyampaikan rencana kerja dan anggaran biaya paling lambat 60 hari sejak izin terbit. Selanjutnya, terhitung 90 hari kerja Logomas harus memulai kegiatan lapangan.

Wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) Logomas seluas 5.030 hektar. Perusahaan diberi jangka waktu menyedot pasir laut sampai 11 Agustus 2028. Sekitar 50.000-70.000 meter kubik pasir yang telah disedot, dijual ke PT Cemerlang Samudra Kontrindo di Dumai. Harga per meter kubik Rp30.000.

Berdasarkan surat ke Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, 8 Januari 2022, perusahaan itu telah produksi pasir laut 13.730 meter kubik.

Empat hari setelah surat itu keluar, Gubernur Riau Syamsuar telah memohon ke Kementerian Enegeri dan Sumber Daya Mineral (KESDM) agar mencabut izin Logomas. Surat itu juga ditembuskan ke sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pertengahan Februari lalu, kementerian ini menyegel kapal milik Logomas dan menghentikan sementara penambangan pasir laut di Pulau Babi, Beting Aceh dan Pulau Rupat. Di atas tiga pulau itu juga dipasang papan larangan operasional.

Berdasarkan survei tim ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional serta dari Universitas Haluoleo, ketiga pulau itu diduga mengalami kerusakan pesisir akibat Logomas menambang pasir laut. Kerusakan itu berupa perairan sekitar lokasi penambangan keruh, terjadi kematian dan kerusakan mangrove serta hilangnya padang lamun.

Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Polsus PWP3K), KKP, juga memanggil dan memeriksa Direktur Logomas, Indrawan Sukmana. Dia diminta keterangan ihwal perizinan dan aktivitas Logomas yang merusak wilayah pesisir. Logomas tak memiliki persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL).

Selain berada pada KSPN dan KSPK, WIUP Logomas juga tumpang tindih dengan lokasi pencadangan kawasan strategis basional tertentu (KSNT). Ini diinisiasi berdasarkan keputusan Nomor: 565/II/2019, Kawasan Konservasi Rupat Utara serta daratan Pulau Babi yang tergolong pulau-pulau kecil terluar (PPKT).

Mongabay telah mengupayakan konfirmasi ke KKP. Namun surat beserta daftar pertanyaan yang dikirim ke Humas Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Kholis, tak kunjung dibalas.

Kholis hanya mengatakan, surat masih di meja dirjen menunggu disposisi. Perkembangan akan dia kabari, tetapi sampai saat ini tak ada kejelasan.

Logomas juga tak memperbarui dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sejak 1998, saat mengajukan penyesuaian kontrak pertambangan ke izin usaha pertambangan operasi produksi. Artinya, telah kadaluarsa. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 24 angka 1 PP 27/1999 tentang Amdal. Keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluwarsa, apabila tak melaksanakan kegiatan usaha dalam jangka waktu tiga tahun sejak keputusan itu.

 

Nelayan mulai bersemangat lagi ke laut setelah KKP menyetop aktivitas perusahaan yang menambang pasir di laut Rupat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Indrawan Sukmana, Direktur Logomas membantah tudingan yang diarahkan ke perusahaannya. Pertama, menyoal Logomas tak memiliki PKKPRL. Dia bilang, PKKPRL itu izin dasar, seperti izin lokasi yang dimiliki sejak awal dan diperbarui pada 2015, ketika penyesuaian kontrak pertambangan ke IUP operasi.

Indrawan mengutip, Pasal 246 huruf h PP 21/2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang. Izin memanfaatkan ruang laut yang keluar sebelum peraturan ini, katanya, tetap berlaku sampai habis masanya dan dianggap sebagai PKKPRL.

“Berarti Dirjen PSDKP dan PRL menepuk air didulang. Di media, mereka mengatakan kami tak punya PKKPRL. Itu gunanya supaya jangan ada tumpang tindih areal. Bukan untuk menghentikan kegiatan usaha atau kebijakan yang sudah dikeluarkan,” katanya.

Begitu juga soal amdal. Menurut dia, selagi tak ada perluasan lahan usaha, penambahan kapasitas produksi atau penciutan areal, tidak perlu ada perubahan. Dia berlindung di balik PP 22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“Kalau kami salah, KLHK pasti akan turun. Amdal tak sama dengan makanan yang pakai kadaluwarsa. Dari situlah pertimbangan teknis izin Logomas tetap dilanjutkan,” katanya.

Indrawan kurang cermat. Dalam Pasal 89 Ayat 1 dan 2 huruf g peraturan itu, tetap mewajibkan penanggungjawab usaha mengubah persetujuan lingkungan bila tak melaksanakan kegiatan dalam jangkan waktu tiga tahun. Terhitung, sejak keputusan kelayakan lingkungan hidup atau persetujuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup terbit.

Mengapa tak menyedot pasir sejak peroleh izin? Indra menjawab tak ada pasar dan biaya menambang cukup tinggi. “Aku ini bukan merampok kampungku dengan bodoh. Aku menambang sesuai kebutuhan atau kalau ada permintaan. Supaya pasir yang kuambil tak mubazir dan menumpuk.”

Indra katakan, kalau produksi pasir laut setop, Indonesia akan berhenti membangun. Karena pasir konstruksi rata-rata dari air.

Dia contohkan, Jakarta yang memperoleh pasir dari Sungai Tayan dan Batang Hari. Riau pun saat ini menyedot pasir dari Sungai Kampar.

 

Nelayan Rupat bersiap melaut, Mereka meminta, tak ada operasi tambang pasir di laut Rupat,. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Indra menolak WIUP Logomas disebut tumpang tindih dengan KSNT, KSPN, KSPK dan kawasan konservasi Rupat Utara. Dia pertanyakan balik pernyataan itu. Dia bilang sudah overlay peta kerja dengan peta empat kawasan itu.

KSNT tidak berbatas, semu, terletak di darat bukan di laut dan tidak melarang kegiatan penambangan. Bahkan, katanya, fungsi KSNT untuk pertahanan, ekonomi dan lingkungan. Penambangan pasir laut masuk dalam kategori ekonomi.

Mungkin yang Indrawan maksud kawasan strategis nasional (KSN), berbeda dengan KSNT.

Sejak 2018, KKP sedang menyusun rencana zonasi KSNT pada empat pulau-pulau kecil terluar di Riau, salah satunya Rupat. Pemanfaatnnya untuk pertahanan, keamanan, kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Tak ada memberi akses sama sekali untuk penambangan yang justru menjadi salah satu isu strategis dalam peroses penyusunannya.

Indrawan juga menepis KSPN dan KSPK yang telah ditetapkan berdasarkan PP 50/2011 dan Perda Kabupaten Bengkalis 2/2021.

“Kawasan strategis pariwisata bukan untuk menyingkirkan areal yang dibebankan izin. Lebih duluan izin Logomas dibanding penetapan kawasan itu.”

Dia lagi-lagi menyangkal dan menyatakan, kalau penambangan pasir laut oleh Logomas tak merusak lingkungan dari sisi manapun.

Indrawan pun membantah KKP menyetop aktivitas mereka. Dia berdalih berhenti menyedot pasir karena menunggu kontrak pembeli. KKP, katanya, tak punya kewenangan menghentikan usahanya. Dia kerap konsultasi dan komunikasi ke Dirjen Minerba KESDM, Ridwan Djamaludin.

Saat diperiksa Polsus KKP, Indrawan juga mengadu ke Ridwan untuk mendapatkan arahan. Bahkan berkirim surat minta perlindungan hukum. Apapun informasi terkait Logomas selalu dia sampaikan.

Ridwan tak merespon panggilan maupun permintaan konfirmasi yang dikirim Mongabay ke nomor ponselnya, 1 dan 4 April lalu.

 

Udang, antara lain hasil tangkap nelayan tradisional Rupat. Foto: Suryadi. Mongabay Indonesia

 

*********

Exit mobile version