Mongabay.co.id

Bagaimana Perkembangan Kasus Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat?

 

 

 

 

Setelah hampir tiga bulan penyelidikan dan penyidikan kasus kerangkeng manusia di rumah pribadi Bupati nonkatif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin, delapan orang jadi tersangka. Mereka sudah ditahan Polda Sumatera Utara, termasuk anak bupati ditahan usai pemeriksaan intensif pada 8 April 2022.

Sebelum itu, setidaknya polisi memeriksa 80 orang saksi dan menemukan dua alat bukti permulaan hingga kasus naik ke penyidikan.

Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak, Kapolda Sumut, mengatakan, berdasarkan fakta dan bukti-bukti Bupati Terbit jadi tersangka. Selain itu, penyidik juga menetapkan anaknya, Dewa Perangin-angin sebagai tersangka bersama tujuh orang lagi berinisial HS, IS, TS, RG, JS,, SP dan HG.

“Penetapan tersangka terhadap Bupati Langkat karena dia sebagai pemilik kerangkeng. Di dalamnya ada sejumlah penghuni yang tewas hingga dianggap bertanggung jawab atas kejadian itu. Dalam waktu dekat kita akan selesaikan kasus ini dan limpahkan berkas ke kejaksaan,” kata Panca 5 April lalu.

Dalam kasus ini, Terbit melanggar Pasal 2, Pasal 7, Pasal 10 UU Nomor 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Juga Pasal 333 KUHP, Pasal 351, Pasal 352 dan Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan mengakibatkan korban meninggal dunia.

Penyidik juga memeriksa istri bupati, Teorita BS dan adiknya, Sribana BP untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan dalam kasus ini.

Penyidik menyatakan tak tertutup kemungkinan ada tersangka baru dalam kasus ini. Penyidik juga sudah menyita dua mobil sebagai bukti, satu untuk mengantar para korban ke kerangkeng rumah pribadi bupati.

Dalam pengusutan kasus ini penyidik menemukan bukti sejak 2010-2022 sudah ada 656 orang pernah berada di kerangkeng manusia ini.

 

Baca juga: Kasus Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Modus Perbudakan di Kebun Sawit?

 

***

Apa dan bagaimana kondisi kerangkeng itu? Saya bertemu Ucok Langkat, nama samaran. Pemuda yang pernah alami ketergantungan narkoba ini sempat jadi penghuni kerangkeng manusia di rumah sang bupati.

Dia benarkan kerangkeng manusia di sana untuk orang-orang yang ketergantungan dengan obat-obatan terlarang. Tetapi tidak semua, kerangkeng itu juga jad tempat ‘pembinaan’ anak-anak muda yang dianggap nakal.

“Waktu kami mau tidur malam ada seorang kawan di dalam kerangkeng cerita, dia dimasukkan keluarganya ke dalam kerangkeng itu untuk mendapat pembinaan dari Pak Terbit Rencana Perangin-angin,” kata Ucok.

Selain orang-orang yang ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang dan kenakalan remaja, yang ada dalam kerangkeng juga pekerja di perkebunan sawit milik sang bupati. Kala mereka dianggap bekerja tak cakap akan mendapatkan hukuman dengan masuk kerangkeng,

Penghuni kerangkeng lain juga dipekerjakan di kebun sawit. Untuk mendapatkan makanan dua kali sehari, katanya, mereka dibawa ke kebun sawit dan bekerja memanen sawit atau membersihkan kebun. Mereka harus lakukan itu, katanya, kalau tidak, tak diberi makan.

“Alasannya, sebagai pengganti biaya rehabilitasi dan makan cuma-cuma dua kali sehari. Selama di dalam kami tidak di apa-apain. Cuman kadang datang dokter dari Puskesmas memeriksa, setelah itu sudah pulang dia.”

Orang-orang di dalam itu, katanya, pagi dibawa ke kebun sawit, sore pulang makan sudah begitu selama berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun.

Dia bilang, banyak ingin kabur dari tempat itu tetapi tidak pernah berhasil karena ada orang yang menjaga.

Ucok bilang, sebelum sholat Isya—jelang pukul 19.00- kerangkeng itu sudah terkunci dari luar. Mereka di dalam sel itu lebih 20 orang.

“Tempat itu bukan tempat rehabilitasi tetapi seperti tempat penyiksaan orang yang kerja di kebun, di pabrik dan orang yang kecanduan. Semua bersatu di situ.”

 

Bagian belakang rumah Bupati Terbit yang ada kerangkeng manusia. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Sebuah organisasi masyarakat sipil bernama Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (Sikap) mengamati kerangkeng sejak 2012. Temuan-temuan sudah mereka sampaikan kepada pihak terkait, tetapi tak ada tindakan apapun sampai KPK masuk dan menemukan peristiwa mengerikan ini.

Quadi Azam, Koordinator Sikap akhir Februari lalu mengatakan, hasil pengamatan mereka ada beberapa poin yang dilanggar penguasa kabupaten paling ujung di Sumatera Utara ini. Antara lain, pertama, berbicara soal kewenangan kepala daerah, yang dilakukan Terbit melebihi batas kewenangan, baik itu di lingkungan rumah maupun sekitar Langkat.

Kedua, tak ada alasan apapun bagi seseorang ataupun negara termasuk kepala daerah menyiksa dan menghukum orang dengan alasan apapun.

Hasil temuan lapangan, puluhan manusia di dalam kerangkeng di rumah sang bupati. “Apakah Komnas HAM lakukan penelusuran terhadap para penghuni kerangkeng baik yang meninggal dunia dan masih hidup?” katanya.

Dari penelusuran Sikap, katanya, orang-orang yang jadi penghuni agak kesulitan atau merasa terintimidasi untuk menceritakan alami penyiksaan dalam ruang tahanan ilegal itu.

Selain itu, katanya, penting juga, menelusuri relasi bisnis sawit Terbit dengan ada kerangkeng ini. Perusahaan beroperasi, katanya, wajib menghormati HAM.

Perusahaan sawit Terbit, katanya, harus bertanggung jawab untuk memulihkan para korban yang sudah menjadi pekerja saat mereka dalam kerangkeng. Terlebih, pekerja yang dianggap ‘kurang peforma baik’ lalu dimasukkan dalam kerangkeng.

Azam mendorong, penyidik mendalami dugaan keterlibatan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan perkebunan sawit milik sang bupati.

Para mitra bisnis maupun mitra pemerintahan yang mengetahui hal ini , katanya, bisa diperiksa untuk mendalami aktor lain apakah terlibat dalam unsur pembiaran atau tidak. Begitu juga keluarga seperti istri, anak dan lain-lain, mesti usut apakah mengetahui proses-proses indikasi penyiksaan di kerangkeng manusia ini atau tidak.

Intinya, bagaimana mengungkap keterlibatan dari top managerial sampai bawah. Karena, katanya, tak mungkin seandainya pemberitahuan maupun informasi ‘pekerja yang tidak tertib’, misal, dilaporkan ke sang bupati tanpa ada laporan dari orang lain di perusahaan sawit itu. Tak mungkin Terbit bekerja sendiri.

Untuk itu, dia mendorong Polda Sumut maupun Komnas HAM mendalami pihak-pihak lain diduga terlibat dalam kerangkeng di rumah pribadi Bupati Langkat dan yang berelasi dengan perusahaan sawitnya.

 

Rumah BUpati Terbit, yang ada kerangkeng dipasang policeline. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Temuan horor

Sebelumnya, pada 29 Januari 2022, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, dalam pengumpulan bahan keterangan di lapangan, menemukan ada banyak aktor diduga terlibat.

Pada Maret lalu, lembaga ini juga mengeluarkan pernyataan soal temuan dalam kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat. Setidaknya ada 25 fakta, mulai dari tahanan yang dipekerjakan di perusahaan sawit tanpa upah hingga unsur pembiaran yang tersistematis dilakukan oleh aparat.

Ditemukan juga dugaan keterlibatan oknum aparat TNI dari AD lima orang, dugaan keterlibatan anak sang bupati juga temuan dugaan keterlibatan beberapa orang dari organisasi kepemudaan di Sumut.

Selain itu ditemukan juga dokumen perjanjian bahwa apabila orang dalam kerangkeng manusia itu sakit atau meninggal dunia tak akan menuntut. Fakta lain, mereka menemukan kerangkeng ketiga, ada tim pemburu yang akan mengejar tahanan jika kabur dari kerangkeng manusia di rumah sang bupati serta masa tahanan sampai empat tahun.

Mereka juga mendapatkan informasi tahanan yang meninggal secara tidak wajar.

“Kita sudah menyampaikan fakta-fakta ini kepada Menkumham. Harapannya ada penindakan hukum yang tegas serta keadilan kepada para korban termasuk juga ganti rugi,” kata Edwin.

Sementara hasil temuan Komnas HAM, selain oknum aparat TNI AD, ada juga dugaan keterlibatan dari oknum kepolisian yang melakukan kekerasan dan perbuatan merendahkan martabat penghuni tahanan kerangkeng manusia ini. Mereka menemukan, setidaknya ada 19 orang terlibat, mulai dari penjaga kerangkeng, penghuni lama, sejumlah oknum dari organisasi masyarakat sampai keluarga sang bupati.

M Chairul Anam, Komisioner Komnas HAM mengatakan, dari investigasi Komnas HAM setidaknya ada 26 tindakan penyiksaan, kekerasan dan perbuatan menjatuhkan harkat martabat penghuni kerangkeng.

Bentuk penyiksaan mulai dipukuli, tendang, tempeleng sampai disuruh bergelantungan seperti monyet di dalam kerangkeng kemudian disiksa dengan selang. Ditemukan setidaknya ada 18 alat untuk menyiksa mulai dari palu, selang, cabai, tang dan lain-lain.

Mereka menemukan ada penambahan korban tewas, semula tiga orang bertambah tiga lagi, total enam orang. Komnas HAM sudah memeriksa setidaknya 48 orang mulai penyidik KPK, Terbit, penghuni kerangkeng, mantan penghuni, keluarga penghuni dan mantan keluarga penghuni.

 

 

 

*********

Exit mobile version