Mongabay.co.id

Jaga Mutu Pala Kaimana lewat Sasi

 

 

 

 

Blandina Sirini, masih mengenakan lampu kepala saat meracik masakan di dapur umum. Lampu penerang di kepala itu amat berguna baginya dalam beraktivitas. Kampung Kufuriyai ini belum teraliri listrik.

Sebelum langit terang, ibu tujuh anak dan delapan cucu ini bersama beberapa ibu Kampung Kufuriyai dan Manggera sudah berada di sana. Ada yang sedang mengupas keladi, dan memotong jantung pisang. Seorang pria membelah kayu untuk kayu bakar. Ada pula yang membantu memarut kelapa.

Di sebuah sudut, belasan bambu berisi keladi siap dipanggang. Sebagian lain sudah matang. Wangse susun itu jadi salah satu makanan khas Kaimana yang akan disajikan. Beberapa tungku dengan panci besar telah menyala, membuat Kufuriyai di pagi itu terasa hangat.

 

Adat sasi pala

Pesta tengah mereka siapkan. Hari itu, 16 Maret lalu, kedua kampung menggelar upacara adat sasi pala. Aneka makanan bakal tersaji untuk tamu undangan dan ratusan warga kampung. Ada keladi, petatas (ubi jalar), kasbi (ketela pohon), sagu, jantung pisang, hingga pepaya mengkal yang diambil dari kebun. Ikan mereka dapat dari tangkapan di Teluk Mandiwa. Hutan juga sumber protein. Mereka biasa berburu babi hutan, kasuari, dan rusa.

Sasi kurang lebih berarti larangan mengambil hasil alam demi kelestarian dan menjaga populasi. Adat sasi dikenal di Kepulauan Maluku dan Papua. Ada sasi laut, sasi sungai, sasi hutan, juga sasi binatang.

 

Baca juga: Mengenal Pala Papua


Sasi pala berarti larangan memetik pala dalam periode tertentu sampai larangan itu dicabut kembali oleh ketua adat.

Menjelang siang masyarakat kedua kampung telah berkumpul di lokasi penyambutan tamu. Tenda didirikan di depan gedung serba guna sederhana. Tak jauh darinya ada gereja, Sekolah dasar, puskesmas pembantu, dan rumah-rumah penduduk berdiri dari bantuan pemerintah.

Pada masa Orde Baru, pemerintah dan gereja mendorong masyarakat yang sebelumnya terpencar dan tinggal di hutan pindah demi memudahkan pelayanan. Saat panen raya pala, Kampung Kufuriyai berubah sepi.

Warga bakal kembali ke hutan untuk memanen pala. Aktivitas ini bisa memakan waktu hingga dua bulan.

Tamu yang ditunggu pun tiba. Mewakili Bupati Kaimana, Asisten I Bidang Pemerintahan Kaimana, Luther Rumpumbo bersama rombongan tiba di lokasi menggunakan truk. Kendaraan penjemput dari Dermaga Teluk Mandiwa ke lokasi ini jadi pilihan mengingat medan berat dan minim alat transportasi.

Tarian peserise yang berarti goyang dalam Suku Irarutu menyambut kedatangan rombongan. Tarian dibawakan perempuan dan laki-laki dengan energik ditingkahi suara tepukan tifa panjang dan nyanyian dalam bahasa Irarutu.

“Sasi sudah dari dulu, sebelum saya lahir barang ini juga sudah ada. Sasi oleh tete (nenek) moyang, dan orang tua kita. Saat saya masih kecil sasi dilakukan lewat doa di gereja,” kata Blandina.

Kalau sudah sasi, tak ada berani ganggu sampai sasi dibuka. “Ini kearifan yang harus kita tingkatkan, kita pupuk, jaga. Kalau pala ini sudah disasi jangan dikorek-korek.”

Salah satu tujuan sasi pala, katanya, agar buah ini benar-benar petik tua hingga kualitas bagus.

Beatris Tefruam, Kepala Kampung Kufuriyai, yang aktif mendorong sasi pala mengatakan, selain melestarikan budaya tete moyang, sasi pala juga bertujuan meningkatkan kualitas panen pala.

“Sasi salah satu kearifan adat dan modal serta model pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam bagi masyarakat Suku Irarutu yang mendiami daratan bagian selatan tanah Papua,” katanya.

 

Prosesi sasi pala dipimpin Kepala Suku Manggera, Yosep Surune (tengah), didampingi Ketua Adat Manggera, Isak Bretne dan Ketua Adat Kufuriyai, Abraham Tefruam. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Dengan sasi, katanya, berdampak pada ketersediaan sumber daya alam agar tetap lestari, termasuk pemanfaatan pala sebagai sumber penghidupan utama masyarakat Teluk Arguni Bawah.

Sebagian besar warga di empat kampung yaitu Kufuriyai, Manggera, Egerwara, Wermenu, mengandalkan pala sebagai sumber pendapatan.

“Jika hukum adat sasi tidak ada maka akan terjadi pemanfaatan besar-besaran pala yang dapat merusak lingkungan. Pala yang berkualitas bisa diharapkan melalui panen tepat waktu.”

Prosesi sasi pala dipimpin Kepala Suku Manggera, Yosep Surune, didampingi Ketua Adat Manggera, Isak Bretne dan Ketua Adat Kufuriyai, Abraham Tefruam. Warga dan pejabat setempat menyaksikan prosesi itu dengan khidmat.

Yosep menghampiri salah satu pohon pala yang cukup besar untuk sasi. Dua batang kayu dia tancapkan menyilang di depan pohon itu sebagai tanda larangan yang mewakili seluruh pohon pala milik warga empat kampung.

Sebelum menancapkan dua batang kayu, kepala suku mengambil beberapa sajian dari noken yang dibawa dan meletakkan pada wadah terbuat dari pelepah sagu. Sajian itu antara lain sirih, pinang, dan beberapa daun.

Setelah itu dia membakar lintingan daun, dinyalakan dengan panas yang dihasilkan dari benturan bambu dan pecahan piring serta serbuk dari daun saro kering.

Kepala suku lalu berkomunikasi dengan pohon, dan merapal doa serta harapan dalam bahasa Irarutu.

“Kalau yang melanggar pasti dia dapat sakit atau mungkin dipotong dengan parang atau dilukai kakikah, kalau manjat pohon mungkin dia jatuh, mendapat musibah,” kata Yosep.

 

Biji pala warga Kampung Egerwara yang sedang dijemur. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pala burung

Di hutan rimba Papua, tumbuh pohon pala (Myristica fragran), yang terkonsentrasi di Distrik Kaimana, Teluk Arguni Atas, dan Teluk Arguni Bawah.

Warga menyebut pala ini sebagai pala burung karena yang tumbuh di Kaimana dipercaya biji disebar burung. Warga kemudian membudidayakan secara sederhana, dari generasi ke generasi, di hutan marga.

“Pala kita ini awalnya disebut pala burung. Pala burung adalah pala yang tidak ditanam oleh masyarakat tapi pala yang ditanam oleh burung. Dulu, masyarakat masih hidup berpindah-pindah,” kata Freddy Thie, pedagang besar pala di Kaimana, Maret lalu. Kini, dia Bupati Kaimana, menjabat mulai 2021.

Dia bilang, problem pala di Kaimana adalah kualitas pascapanen masih kurang. Warga, terkadang buru-buru memutuskan untuk panen. Biji yang belum tua sudah dipetik.

“Pala yang sudah tua benar hitam. Kalau belum itu putih. Kalau pembeli pala sudah pasti tahu. Pala kering sudah kelihatan, tidak perlu tumpah lagi, dalam karung kita sudah bisa tahu.”

 

Asisten I Bidang Pemerintahan Kabupaten Kaimana, Luther Rumpumbo bersama rombongan turut menyaksikan upacara adat Sasi Pala. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

“Tahunya dari mana? Pegang karung. Kalau karungnya panas, itu pala belum kering betul. Kalau tidak panas pasti itu sudah kering.”

Nina Nuraisyiah, Direktur Komunikasi dan Mobilisasi Pemuda Yayasan EcoNusa mengatakan, untuk memastikan kualitas pala di empat kampung intervensi, mereka telah melakukan kajian selama dua tahun. Dari kajian itu diperoleh gambaran potensi, luasan, rantai pemasaran, dan kualitas pala.

Dalam kajian itu, katanya, mereka juga menemukan masyarakat terpaksa memanen pala awal karena kebutuhan ekonomi atau sering disebut panen butuh.

“Kalau mereka butuh uang panen, tidak menunggu sampai pala benar-benar tua. Hasilnya, kurang baik secara ekonomi. Kita melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk memastikan kualitas pala bermutu bagus.”

Mereka juga berusaha memperpendek jalur pemasaran pala. Sebelumnya, masyarakat menjual pala ke beberapa pengepul di pantai yaitu ke Mandiwa, kini menjual ke badan usaha milik kampung (Bumkam).

“Kita mengembangkan Bumkam di empat kampung. Harapannya, petani atau masyarakat bisa menjual pala ke Bumkam dengan harga bagus.”

Econusa juga mendorong konsep bisnis di Bumkam. Selain membeli pala dari petani, katanya, Bumkam bisa menyediakan kebutuhan pokok kepada petani hingga mereka tak perlu pergi jauh untuk beli.

“Bumkam sudah ada, sudah dibentuk, pengurus sudah ada, tinggal didaftarkan. Rencana kami bersama masyarakat lewat musyawarah kampung membuat konsep bisnis dengan mendapatkan modal usaha lewat dana desa.”

 

Warga di Kaimana memperlihatkan buah pala yang masih terbungkus fuli. Pohon pala warga ada di hutan, yang sebagian besar tumbuh secara alami. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Akses sulit

Mengutip laporan Yayasan Econusa yang terbit 2021, jenis pala di Teluk Arguni Bawah sebagian besar adalah pala negeri atau pala Papua (Myristica argentea Warb). Dari 15 kampung di Distrik Teluk Arguni Bawah, empat jadi lokasi kajian merupakan kampung dengan produksi pala tertinggi.

Keterampilan para pekebun pun dianggap paling baik dalam mendukung peningkatan kualitas pala. Misal, perempuan di Kampung Manggera mampu membedakan pohon pala betina dan jantan.

Matias Farisa, warga Kampung Tanusan, mengatakan, kebun pala milik warga jauh berada di tengah hutan. Lahan marga ini, dengan penanda batas berupa urat gunung, batu, pohon besar, hingga rumpun bambu atau sagu. Masyarakat di sana menyebut lahan kebun pala di hutan sebagai dusun.

Tanusan merupakan ibukota Distrik Teluk Arguni Bawah.

“Kebun-kebun ada di sana. Pohon pala di sana lebih banyak.”

Saat panen, walau menempuh jarak puluhan kilometer warga tetap pergi. Dengan jalan kaki, bisa dua sampai tiga hari baru tiba ke kebun pala. Mereka meminta pemerintah memberi jalan supaya hasil panen bisa dibawa. “Pemerintah bisa bantu membuka akses jalan ke sana.”

Jarak jauh antara kebun dengan tempat tinggal, dan tak ada sarana dan prasarana transportasi layak membuat warga kesulitan merawat tanaman pala mereka. Selain itu, tidak semua biji pala tua berhasil mereka petik karena sebagian pohon pala menyebar dan berada di tempat yang sulit terjangkau.

“Kita kewalahan merawat karena jalan terbatas. Ada pala tak sempat diambil karena posisi di jurang, hingga burung yang ambil.”

Kerapatan tegakan pala di Teluk Arguni Bawah rata-rata 135 pohon per hektar. Jarak tanam antar pohon pala rata-rata 8×8 meter. Sedangkan jarak tanam paling baik adalah 10×10 meter, atau 100 batang pala per hektar.

Transportasi menjadi komponen biaya terbesar dari total biaya produksi pekebun, atau sekitar 76,83%. Warga harus mengeluarkan uang untuk ojeg yang membawa pala ke pedagang di Kampung Mandiwa.

Kalau menjual ke Kota Kaimana, mereka harus mengeluarkan biaya transportasi laut dari Mandiwa ke Pelabuhan Tanggaromi, lalu sewa kendaraan ke kota.

Dalam kajian diketahui pula produktivitas pala per hektar di Teluk Arguni Bawah sebenarnya lebih tinggi dibanding di Kabupaten Fakfak. Namun harga pala Fakfak lebih mahal dibanding pala Kaimana.

Rata-rata pekebun di Teluk Arguni Bawah menerima pendapatan dari pala Rp48,2 juta per tahun. Penerimaan ini dari penjualan biji dan fuli atau bunga pala. Pengepul lokal membeli biji pala dari pekebun Rp35.000 per kilogram dan fuli Rp200.000 per kilogram.

“Kalau kami di pantai pasti ada potensi-potensi lain menyangkut ikan, mencari kepiting, udang, sambil menunggu panen pala. Teman-teman yang di gunung hanya satu mata pencaharian,” kata Matias.

Demi harga pala lebih baik, Matias pun ingin sasi pala tak hanya di empat kampung juga di Tanusan.

 

 

 

********

Exit mobile version