Mongabay.co.id

Kota Terapung dan Upaya Adaptasi Perubahan Iklim

 

Kota terapung diyakini dapat menyelamatkan permukiman masyarakat yang terancam tenggelam akibat meningkatnya permukaan air laut.

Saat ini, hampir 2,4 miliar manusia [sekitar 40 persen dari populasi global] hidup  dalam jarak 100 kilometer dari laut. Dari jumlah tersebut, 600 juta di antaranya berada di kawasan pesisir, dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut [mdpl].

Hal terburuk yang harus dihadapi adalah sejumlah kota besar di berbagai belahan dunia akan terendam. Bahkan, beberapa negara kepulauan kecil diprediksi akan menghilang dalam waktu 60 tahun mendatang.

Kondisi ini tentu saja menjadi tantangan besar bagi para perencana dan pengelola kota. Kemana penduduk harus pindah?

Baca: Merancang Bentuk Kota-kota Masa Depan Dunia. Seperti Apa?

 

Rancangan kota terapung di masa depan. Ilustrasi: BIG – Bjarke Ingels Group

 

Kota terapung

Pada 2019 lalu, UN-Habitat -program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengadvokasi pembangunan perkotaan berkelanjutan- mengadakan pertemuan yang melibatkan para arsitek, perancang kota, akademisi, dan sejumlah pengusaha. Pertemuan itu secara khusus membahas kemungkinan dibangunnya kota terapung sebagai bagian dari upaya menghadapi persoalan perubahan iklim.

Menurut Direktur Eksekutif UN-Habitat, Maimunah Mohd Sharif, kota terapung berkelanjutan adalah bagian dari strategi adaptasi iklim yang tersedia bagi kita. Sharif berpendapat, daripada ‘bertempur’ dengan air, sebaiknya kita belajar untuk hidup selaras dengannya.

Perusahaan teknologi kelautan yang berbasis di New York, Amerika Serikat, Oceanix, dan biro arsitek asal Denmark, Bjarke Ingels Group [BIG], telah merancang model kota terapung dalam wujud anjungan-anjungan heksagonal mengapung di air. Juga, menyediakan ribuan rumah di atasnya.

Terdapat dua struktur utama pembangunan kota terapung. Pertama, struktur ponton, berupa pelat datar yang cocok untuk mengapung di perairan dangkal dekat pantai. Kedua, struktur semi-submersible [seperti pada rig pengeboran minyak], terdiri anjungan-anjungan yang ditinggikan pada permukaan air. Struktur kedua ini cocok dikembangkan untuk kota-kota terapung di perairan dalam dan perairan internasional [Wang, 2021].

Sementara ini, model kota terapung yang tengah dikembangkan perusahaan Oceanix dan juga BIG, menggunakan struktur ponton.

Akhir 2021, pengelola Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan, bersama UN-Habitat dan Oceanix, telah menandatangani perjanjian bersejarah dalam upaya pembangunan prototipe kota terapung berkelanjutan pertama di dunia.

Kota terapung ini rencananya dibangun di lepas pantai Busan. Selain tahan terjangan banjir, kota tersebut bakal menghasilkan bahan pangan, energi, dan air bersih sendiri dengan sistem loop tertutup, tanpa limbah yang terintegrasi secara penuh.

Busan sendiri terletak di ujung tenggara semenanjung Korea. Kota ini berpenduduk 3,4 juta jiwa dan menjadi kota pelabuhan tersibuk di dunia. Dengan pembangunan kota terapung, pengelola Kota Busan berharap tumbuh generasi-generasi inovatif,  wirausahawan, dan peneliti dalam teknologi kelautan.

Baca: Kota Apung Futuristis Ini Terinspirasi Pari Manta

 

Kota terapung yang dirancang di atas air di masa depan. Ilustrasi: BIG – Bjarke Ingels Group

 

Wali Kota Busan, Park Heong-joon, sebagaimana dikutip CNN, mengatakan bahwa dengan perubahan kompleks yang dihadapi kota-kota pesisir, pihaknya membutuhkan visi baru yaitu manusia, alam, dan teknologi dapat hidup berdampingan.

“Tidak ada tempat yang lebih baik dari Busan untuk mengambil langkah perdana menuju permukiman manusia yang berkelanjutan di lautan, yang dengan bangga dibangun di Korea untuk dunia,” kata Park Heong-joon, yang berkeinginan kotanya menjadi tuan rumah World Expo tahun 2030 mendatang.

Sementara itu, co-founder Oceanix, Itai Madamombe dan Marc Collins Chen, menyebut bahwa kenaikan permukaan laut merupakan ancaman berat. Namun, menurut keduanya, infrastruktur kota terapung yang berkelanjutan dapat membantu mengatasi ancaman tersebut.

”Kami sangat bersemangat membuat sejarah bersama Busan dan UN-Habitat dalam mengantarkan tahap perjalanan umat manusia berikutnya,” jelas Itai Madamombe dan Marc Collins Chen dalam sebuah pernyataan.

Baca juga: Menelisik Ancaman Transisi Energi di Indonesia

 

Bangunan SeaPods yang dikembangkan di Panama. Ilustrasi: Ocean Builders 2

 

Tetap bukan solusi

Dengan laju pemanasan global dan meningkatnya permukaan laut, diperkirakan sekurangnya satu miliar manusia di berbagai belahan dunia bakal terdampak perubahan iklim tahun 2050 mendatang. Terutama, di negara-negara dengan infrastruktur yang tidak memadai dalam soal menahan kenaikan permukaan air.

Menurut taksiran The Institute for Economics and Peace, dibutuhkan lebih dari 9.000 kota terapung agar bisa menampung apa yang disebut sebagai “pengungsi iklim” yang berasal dari kawasan pesisir, yang kemungkinan besar tenggelam di masa depan [Brandon, 2021].

Meski begitu, kota terapung sejatinya bukan solusi dalam menghadapi perubahan iklim.

Mengapa? Kenaikan permukaan air laut bukanlah akar persoalan. Permasalahan utamanya adalah pemanasan global. Solusinya, bagaimana kita bersama menghentikan laju pemanasan global.

Namun, hingga saat ini, kita belum menemukan resep ampuhnya.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis. 

 

Rujukan:

Brydon T Wang. 2021. Floating Cities: the Future or a Washed-up Idea?

Daniel Allen. 2020. Are Future Smart Cities Floating Cities?

Elissaveta M Brandon. 2021. Are Floating Cities a Real Possibility?

Jack Palfrey. 2021. Are Floating Cities Our Future?

Oscar Holland. 2021. South Korea Green-lights Plans for Flood-resistant ‘Floating City’.

 

 

Exit mobile version