Mongabay.co.id

Akhirnya, Burung-burung Ini Kembali ke Hutan Maluku Utara

 

 

 

 

Burung-burung paruh bengkok endemik Maluku Utara ini mengepakkan sayap, terbang bebas ke alam pada 14 April lalu. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (BTNAL) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melepasliar burung rehabilitasi dari Suaka Paruh Bengkok Balai Aketajawe Lolobata ke hutan di Desa Koli, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Lepas liar paruh bengkok ini dalam rangkaian memeringati Hari Bumi 22 April nanti.

Burung-burung yang lepas liar itu ada tiga nuri bayan (Ecletus roratus), kasturi Ternate (Lorius garrulus) satu dan satu kakatua putih (Cacatua alba).

Heri Wibowo, Kepala Balai TN Aketajawe Lolobata, mengatakan, delapan burung ini mempunyai asal usul dan lama rehabilitasi berbeda. Dua nuri bayan dan satu kasturi Ternate hasil sitaan SPTN I Weda, Halmahera Tengah dan masuk rehabilitasi sejak 2021. Ada burung dari operasi pengamanan SPTN II Maba, Halmahera Timur dan rehabilitasi sejak 2019.

Kakatua putih, katanya, hasil translokasi satwa BKSDA Jakarta dan baru masuk rehabilitasi 24 Maret lalu.

Menurut Heri, perjuangan mengembalikan kakatua putih ke habitat cukup berat. Ketika diselundupkan dari Maluku Utara ke Jakarta, burung harus berkompetisi untuk bertahan hidup di tengah lautan.

Ketika sampai di tujuan, burung itu harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang berbeda dengan habitat aslinya.

“Baru beberapa tahun kemudian, tepatnnya 2022 berhasil translokasi kembali ke Maluku Utara dan dilepasliarkan ke habitat aslinya,” katanya dikutip dari rilis yang diterima Mongabay, Sabtu (16/4/22).

 

Baca juga: Puluhan Paruh Bengkok Ini Kembali Hidup Bebas di Hutan Desa Domato

Nuri bayan, salah satu jenis paruh bengkok yang kerap jadi sasaran perburuan dan perdagangan ilegal. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Untuk memantau gerak satwa-satwa ini, katanya, mereka memasang microchip permanen hingga keberadaan burung bisa terditeksi. Monitoring pasca pelepasliaran, katanya, akan terus dilakukan petugas Resort Tayawi dan Pengendali Ekosistem Hutan TN. Aketajawe Lolobata.

“Awal monitoring selama seminggu penuh.”

Perdagangan paruh bengkok ilegal,kata Heri, masih cukup tinggi. Pekerjaan pejuang konservasi di Halmahera, cukup berat, terutama menyadarkan masyarakat agar tak menangkap ataupun memelihara burung dilindungi ini. Tak pelak, keberadaan paruh bengkok di alam terus menyusut.

“Tanggung jawab bersama melestarikan satwa-satwa endemik maupun khas Maluku Utara. Semua satwa liar lebih indah di alam bebas.”

Perburuan dan perdagangan paruh bengkok di Malut dan Maluku cukup marak karena pintu keluar cukup banyak.

Sebagai daerah kepulauan, Maluku punya 15 bandar udara dan 21 pelabuhan laut. Di Malut, ada sembilan bandar udara dan 24 pelabuhan laut. Daerah ini juga berbatasan dengan tiga negara secara langsung yakni Filipina, Australia dan Timor Leste.

Di Maluku Utara, perburuan paruh bengkok terjadi di berbagai pulau mulai Morotai, Halmahera, Tidore, Bacan, Kasiruta, Obi, dan pulau-pulau kecil lain.

Data Burung Indonesia menyebutkan, sesuai penelitian di Pulau Obi pada 2014, sekitar 7,878 paruh bengkok ditangkap dari alam setiap tahun. Penelitian 2018, di Morotai dan Halmahera,   rata-rata 7.012 paruh bengkok ditangkap per-tahun.

Sedang data BKSDA Maluku-Malut, soal penangkapan burung dan satwa lain yang berhasil digagalkan aparat baik polisi maupun petugas BKSDA sejak Januari 2018-September 202, ada 113 kasus dengan 3.217 satwa, sebagian besar atau 2.492 adalah burung.

 

Persiapan pelepasliaran paruh bengkok dari kandang rilis Suaka Paruh Bengkok TNAL. Foto: Heri Wibowo/TNAL

 

Penegakan hukum masih lemah

Benny Aladin, Biodiversity Conservation Officer di Burung Indonesia wilayah Maluku Utara mengatakan, pemerintah sudah bikin berbagai aturan guna menekan laju perdagangan satwa tetapi masih ada yang kurang, yakni, penindakan atau penegakan hukum. Hal ini, kata Benny, mungkin karena beberapa keterbatasan seperti personil, luas wilayah, waktu kejadian, sampai keterlibatan oknum aparat.

Keterbatasan ini juga, katanya, menyebabkan perburuan dan penyelundupan satwa liar marak terjadi di Malut.

Kondisi tambah menyedihkan kala dalam transportasi atau penyelundupan satwa atau burung dimasukkan dalam tempat tak layak, bahkan membahayakan, seperti botol atau tabung Satwa makin tersiksa.

“Burung yang ditangkap dan diselundupkan ke luar daerah, lebih 50% mati di jalan karena cara pengangkutan sangat menyiksa,” kata Benny.

Setelah burung sitaan lepas liar, apakah bisa bertahan? Benny bilang, kalau burung sakit tetapi masih ada sifat liar masih bisa masuk rehabilitasi dan kembali liar. Kalau burung cacat, katanya, misal, sayap patah, kaki putus, bulu rontok semua dan terlalu jinak seperti bisa bicara, kemungkinan besar tak lepas liar.

“Ini jadi beban negara karena perlu memelihara mereka seumur hidup di fasilitas rehabilitasi satwa.”

Burung cacat, jinak, atau sakit (kronis), katanya, kemungkinan besar langsung mati kalau dipaksa lepas liar. Mereka, tak bisa menghindari predator, tak mampu berlindung dari cuaca ekstrem, bahkan mungkin tak bisa mencari makan karena tak terbiasa dengan makanan buah-buah atau biji di hutan.

Dari beberapa kajian, kata Benny, perdagangan ilegal paruh pengkok di Maluku Utara cukup tinggi.

Burung Indonesia Malut punya beberapa masukan untuk menekan laju perburuan satwa liar dilindungi, antara lain, perlu penyadartahuan ke masyarakat tentang paruh bengkok yang dilindungi. Juga, katanya, mendorong penegakan hukum kepada pembeli-pembeli agar memutus rantai perdagangan, juga pemberdayaan bagi keluarga atau orang yang menggantungkan ekonomi dari hasil menangkap burung.

Selama tiga tahun ini, Burung Indonesia sudah melakukan pendampingan antara lain di dua desa di Gandasuli, Bacan Selatan, Halmahera Selatan, dan Desa Kosa, Kecamatan Oba, Tidore Kepulauan.

 

Kakatua putih. Foto: Profauna

*******

 

 

 

 

Exit mobile version