Mongabay.co.id

Ilusi Konservasi dan Ancaman Perampasan Wilayah Adat

Elisabeth Ringit (ditandai) dalam aksi warga Kinipan menolak PT SML di wilayah Hutan Adat Laman Kinipan pada Sabtu, 19 Januari 2019 Doc. Save Our Borneo

 

 

Ketika masyarakat adat di Indonesia dan dan di belahan dunia lain masih berjuang mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak sembari aktif beraksi mencegah memburuknya krisis iklim, ada bencana lain justru sedang mengintai.

Katastrofi ini berakar di ide usulan organisasi non pemerintah raksasa sektor konservasi seperti World Wildlife Fund (WWF) dan Conservation International (CI). Mereka mendorong para pemimpin negara-negara mengambil kebijakan menyeluruh terkait krisis iklim dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati yang dikenal luas sebagai Skema 30×30. Nama ini untuk menyebut mengenai usulan rencana aksi yang menargetkan perluasan kawasan lindung di seluruh dunia sampai 30% dari luas daratan dan lautan secara bertahap hingga 2030.

Rancangan ˆni sudah mulai dinegosiasikan di Jenewa pada 14 Maret lalu, dan dikenal sebagai Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global pasca-2020. Rencana ini menetapkan beberapa tujuan utama yang bersifat umum dan sekitar dua puluh target spesifik.

Dalam mempromosikan Skema 30×30, para pendukungnya menyebarkan ilusi bahwa dengan mentransformasikan 30% luas bumi menjadi kawasan lindung merupakan langkah efektif mengimplementasikan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan secara signifikan dapat membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh dunia.

Salah satu kawasan menjadi sorotan dari proposal ini adalah Asia Tenggara. Meski hanya mencakup 3% dari total luas permukaan bumi, namun kawasan ini merupakan rumah bagi tiga–Indonesia, Malaysia dan Filipina–dari 17 negara yang memiliki tingkat keberagaman hayati tinggi di dunia.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Keanekaragaman Hayati PBB berikutnya yang akan diadakan di Kunming, Tiongkok, bagian selatan dari 25 April-8 Mei tahun ini, Skema 30×30 ini berpeluang ditetapkan secara resmi.

Ide ini disambut riang gembira oleh para perusahaan perusak lingkungan dengan mengajukan komitmen pendanaan. Banyak media arus utama merespon secara membabi buta karena menilai bahwa ide ini merupakan langkah strategis dan komprehensif yang dibutuhkan dunia saat ini.

Pertanyaannya, apakah ini benar-benar solusi radikal yang dibutuhkan manusia untuk mencegah kepunahan keragaman hayati ataukah gerbang bencana baru yang menambah daftar ancaman bagi masyarakat adat?

 

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Ilusi puritan konservasi dan kolonialisme ekologis

Pondasi utama dari Skema 30×30 adalah keyakinan salah bahwa rencana aksi ini akan membantu mencegah kehilangan keanekaragaman hayati dan memburuknya krisis iklim.

Dalam berbagai kesempatan, para pengusul dan pendukung Skema 30×30 berargumentasi, melakukan tindakan drastis seperti itu dibenarkan secara ilmiah. Dalam dokumen berjudul Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Pasca-2020, mereka mengklaim bahwa, target ini sangat mungkin dan mendesak dilaksanakan. Dokumen ini mencantumkan delapan referensi untuk mendukung pernyataan itu.

Kalau memeriksa dengan teliti delapan referensi yang jadi basis argumentasi dan diklaim menyodorkan bukti-bukti ilmiah dari Skema 30×30, yang akan ditemukan sebaliknya: rencana aksi justru sama sekali tak ilmiah.

Dua dari delapan makalah yang diajukan membahas tentang keanekaragaman biota laut laut dan tentu saja merasionalisasi Skema 30×30. Lima paper lain membicarakan mengenai bagaimana model dan praktik pengelolaan konservasi daratan, yang ditulis dengan mengacuhkan data pembanding dari kelompok masyarakat adat terdampak. Satu dokumen lagi hanyalah resolusi kongres badan konservasi internasional bernama International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Eric Dinerstein, adalah penulis utama dari dua makalah yang paling jadi referensi rencana aksi ini. Ia adalah ilmuwan utama WWF dan merupakan figur penting penyokong ideologi half earth. Ini adalah keyakinan irasional yang memandang, untuk mencegah kepunahan biodiversitas dan memburuknya krisis iklim, separuh bumi harus jadi kawasan lindung.

Sikap Dinerstein ini makin mengeras saat mempublikasikan analisisnya yang berjudul A Global Deal for Nature pada 2019.

Makalah Dinerstein ini melanjutkan glorifikasi yang pondasinya mulai saat Half-Earth: Our Planet’s Fight for Life, pertama kali terbit tahun 2016. Buku ini ditulis oleh E.O. Wilson, ahli biologi asal Amerika Serikat, yang sebelumnya populer melalui On Human Nature yang memenangkan Pulitzer Prize pada 1979.

Kalau membaca dengan teliti Half-Earth, yang akan ditemukan adalah salah kaprah pandangan umum mengenai konservasi yang tulang punggungnya asumsi tidak ilmiah. Misal, dengan meyakini alam bersifat ramah dan memiliki dinamika terpisah dari relasinya dengan manusia. Bahwa kemurnian bentuk dapat ditemukan di hutan belantara yang dianggap bebas dari campur tangan manusia.

Pandangan ini menafikan fakta antropologis bahwa alam–baik itu hutan belantara maupun samudera lepas, tak pernah lepas dari interaksi dengan manusia.

Menyangkal fakta bahwa hutan belantara dianggap murni, justru berasal dari pilihan-pilihan sadar komunitas-komunitas manusia – dalam hal ini adalah masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan. Kelompok-kelompok manusia yang memutuskan untuk membatasi interaksi mereka dengan wilayah tertentu dengan berbagai alasan: spiritual, ekologis, kultural, sosial dan ekonomi.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Semisal konsep hutan larangan di daratan dan sasi (eha) di laut yang mereka praktikkan jauh sebelum ide mengenai pentingnya kawasan lindung “ditemukan” oleh para konservasionis.

Keyakinan Dinerstein dan Wilson tak lain merupakan refleksi dari mental kolonialistik yang bersemayam di alam berpikir para pemuja konservasi. Mental kolonialistik yang tak bisa lepas dari hak istimewa (priviledge) yang merupakan warisan langsung dari periode gelap merkantilisme yang menjadi asal muasal kolonialisme dan imperialisme global.

Dinerstein dan Wilson serta keyakinan half-earth membicarakan pembatasan interaksi manusia dengan alam dengan landasan historis model konservasi yang diperkenalkan para imigran kulit putih di Amerika Utara, yang mengusir penduduk asli keluar dari wilayah adat mereka.

Melalui Conservation Refugees: The Hundred-Year Confict between Global Conservation and Native Peoples, M. Dowie menjelaskan bahwa hal itu melahirkan para puritan yang terobsesi dengan melakukan imitasi bentuk. Replikasi yang menafikan asal muasal penghancuran zona-zona konservasi yang terbentuk secara alami di wilayah-wilayah adat oleh ekspansi perdagangan yang ikut mengusung rasialisme dan diskriminasi.

Bagaimana “penemuan dunia baru” adalah awal malapetaka kolonialisme dan perbudakan.

Seturut penegasan R.H. Grove, dalam Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island Edens and the Origins of Environmentalism yang menyimpulkan, kolonialisme adalah hambatan utama dari upaya-upaya penelitian dan praktik ekologi dalam memahami dan merumuskan hubungan lebih positif antara manusia dan ekosistem.

Grove mengatakan, selain kolonialisme, ekologi sebagai disiplin ilmu – dan mereka yang menyebut diri mereka sebagai ahli ekologi – juga dibentuk dan terpenjara oleh pendekatan barat yang eksklusif dan anti-sejarah. Kendala historis ini membuat pendekatan konservasi jauh dari iklim inklusif dan menafikan keberagaman nilai spiritual, kultural, dan sosial yang dimiliki umat manusia.

 

Lahan pertanian nan subur, karst yang menyediakan simpanan air, terancam kalau tambang emas Trenggalek, beroperasi. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman perampasan wilayah adat

Bahaya serius dari irasionalitas Skema 30×30 adalah bagaimana skema ini secara implisit memiliki potensi konflik karena akan mendorong perampasan wilayah-wilayah adat dalam skala luas di masa depan.

Dalam salah satu makalah yang ditulis oleh Dinerstein dan delapan penulis lain, yang terbit di jurnal Science Advances berjudul “A ‘Global Safety Net’ to reverse biodiversity loss and stabilize Earth’s climate”, mereka mengusulkan gagasan mengenai “jaring pengaman global”. Jaring ini diyakini adalah solusi menyelamatkan keanekaragaman hayati tersisa.

Tidak jauh dengan makalah Dinerstein yang lain, ide besarnya menggabungkan kebutuhan mengenai konservasi keanekaragaman hayati dengan langkah-langkah untuk mencegah emisi gas rumah kaca.

Makalah ini mengidentifikasi “50% dari wilayah terestrial jika dilestarikan akan membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati lebih lanjut, mencegah emisi CO2 dari konversi lahan, dan meningkatkan penghilangan karbon alami”.

Yang jarang dibahas adalah bagaimana makalah ini juga mengakui implisit bahwa ada tumpang tindih signifikan antara wilayah-wilayah adat dengan area yang dianggap perlu untuk membentuk “jaring pengaman global” ini.

Dinerstein dan para koleganya mengakui, bahwa “tumpang tindihnya begitu besar”. Untuk mencapai target 30% kawasan konservasi pada 2030 hanya akan efektif dengan “mengintegrasikan” wilayah-wilayah adat.

Problemnya kemudian adalah sikap CBD dan sebagian besar pemerintah anggotanya yang tak resmi memasukkan kontribusi wilayah-wilayah adat terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Sikap ini tidak lepas dari basis pemikiran yang dominan di dalam tubuh CBD yang mengartikan “konservasi” dan “kawasan lindung” sebagai sesuatu yang meski disahkan oleh pemerintah dan mesti secara spesifik dikelola oleh sebuah otorita khusus untuk mencapai target konservasi jangka panjang.

Keengganan CBD dan negara-negara anggotanya mengakui kontribusi masyarakat adat sangat jelas tak lepas dari kenyataan bahwa wilayah-wilayah adat merupakan incaran serius dari ekspansi perusahaan-perusahaan global. Yang bertanggungjawab atas krisis iklim serta meningkatnya kekerasan terhadap masyarakat adat karena konflik tenurial.

Perusahaan-perusahaan pencemar lingkungan seperti Unilever, Danone dan Amazon, misal, merepresentasikan kubu yang begitu bersemangat dengan Skema 30×30 karena rencana aksi ini membuka peluang untuk melakukan subtitusi melalui model perdagangan karbon sebagai kompensasi langsung atas kontribusi mereka dalam emisi gas rumah kaca.

Rencana ini membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan raksasa ini untuk melakukan green washing, mencuci kejahatan lingkungan mereka melalui kompensasi pendanaan yang akan dialamatkan ke wilayah-wilayah konservasi dengan pengelolaan dikendalikan organisasi-organisasi konservasi pendukung utama Skema 30×30.

 

Sangihe, pulau cantik di Sulawesi Utara yang memiliki keindahan alam dan potensi keragaman hayatinya terancam rusak akibat hadirnya perusahaan tambang emas. Foto: Foto: Wikimedia Commons/Government of Sangihe Islands Regency/Public Domain

 

Pendekatan hak masyarakat adat sebagai solusi

Laporan terbaru dari Rights and Resources Initiative (RRI) menunjukkan, bahwa proposal untuk mengubah 30% bumi menjadi kawasan lindung dengan pendekatan konservasi dapat menjadi ancaman serius terkait potensi pelanggaran hak asasi manusia.

Kecenderungan mendukung bentuk-bentuk konservasi fasistik yang mengeksklusi masyarakat adat seperti yang dipromosikan Skema 30×30 tidak lain merupakan kolonialisme ekologi.

Keengganan untuk memahami nilai dari praktik-praktik tradisional masyarakat adat adalah salah satu hambatan serius yang menghalangi berkembangnya praktik konservasi berlandaskan kearifkan lokal.

Belum lagi menyoal bagaimana ketimpangan kekuasaan yang bersumber dari situasi di mana pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih lemah bahkan terabaikan. Mengusulkan perluasan kawasan lindung hanya akan melahirkan lebih banyak konflik.

Sebuah studi memperkirakan bahwa lebih dari 300 juta orang akan menjadi korban dari irasionalitas Skema 30×30.

Sudah secara luas bahwa masyarakat adat adalah kelompok yang memiliki hubungan paling erat dengan alam dan memiliki kontribusi signifikan dalam mempertahankan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Faktanya, wilayah adat adalah kawasan paling rentan. Menurut laporan RRI, hingga kini hanya 8,7% wilayah dikuasai masyarakat adat yang diakui secara hukum.

Walau berbagai laporan menunjukkan bahwa deforestasi jauh lebih rendah di wilayah adat, ternyata belum cukup mendorong pengakuan hak masyarakat adat secara legal. Meski jadi garda terdepan yang menjaga 80% keanekaragaman hayati dunia dan selama bergenerasi melindungi daerah-daerah ini, masyarakat adat adalah kelompok rentan, Mereka setiap saat terancam oleh pengusiran paksa dan pencaplokan wilayah ulayat.

Beragam kisah sukses dari komunitas-komunitas adat yang secara tradisional berhasil jadikan wilayah-wilayah adat atau ulayat sebagai lokasi-lokasi strategis cadangan karbon yang sangat besar, ternyata tak membuat mereka lepas dari ancaman kekerasan atas nama pembangunan.

Kondisi seperti inilah mengapa seluruh gagasan Skema 30×30 tentang kawasan lindung adalah salah, karena seringkali ia memandang tanah hanya sebagai “alam”, daripada lanskap yang hidup dan dikelola, di mana manusia bagian integral tak terpisahkan.

Belum lagi menyoal bagaimana proses penentuan lokasi kawasan lindung lebih sering dilakukan tanpa kesepakatan yang adil dengan komunitas masyarakat adat.

Model pengelolaan eksklusif oleh organisasi konservasi terbukti lebih sering mengecualikan atau membatasi aktivitas manusia. Termasuk segala sesuatu yang dilakukan masyarakat adat seperti berburu, bercocok tanam, meramu dan memancing.

Kegiatan ritual yang penting seperti penguburan dan ibadah keagamaan di dalam kawasan lindung juga dilarang atau dibatasi atas nama purifikasi.

Para penjaga hutan yang didanai oleh NGO konservasi seperti WWF, misal, secara sepihak melucuti akses masyarakat adat terhadap wilayah adat mereka. Tidak berhenti di situ, dalam banyak kasus, konservasi menjadi alasan praktik kejam terhadap mereka yang menolak pembatasan itu. Alhasil, konservasi justru tak jadi solusi namun problem tambahan bagi masyarakat adat yang masih berjuang mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak termasuk wilayah adat mereka.

Membangun lebih banyak kawasan lindung demi konservasi sejatinya juga merupakan ilusi bahwa kita sedang melakukan sesuatu untuk melindungi bumi. Sebuah studi terhadap 12.000 kawasan konservasi di 152 negara menunjukkan, inisiatif yang dipimpin masyarakat adat jauh lebih efektif daripada program yang dijalankan oleh pemain eksternal, termasuk pemerintah daerah, LSM, dan atau perusahaan.

Ide tak masuk akal seperti Skema 30×30 juga mengaburkan pandangan kita dari akar penyebab krisis iklim: konsumsi berlebihan. Dalam dua dekade terakhir, 100 perusahaan pencemar lingkungan merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dan penyebab 71% emisi iklim secara global.

Datanya jelas: mengakui wilayah adat dan keberadaan komunitas adat/masyarakat adat justru jauh lebih murah dan mudah. Selain itu, mengakui hak masyarakat adat termasuk wilayahnya justru lebih efektif dan efisien dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun lebih banyak kawasan konservasi dengan pengelolaan hampir selalu diserahkan kepada lembaga pemerintah atau organisasi konservasi seperti WWF.

Pendekatan konservasi berbasis hak masyarakat adat seperti yang diusulkan dalam laporan RRI, akan mengakui model pengelolaan yang berkelanjutan yang lebih dulu eksis di komunitas-komunitas adat. Pendekatan ini juga memberi ruang bagi masyarakat adat untuk memimpin upaya konservasi, dan memprioritaskan hak tenurial dalam mengukur sukses tidaknya konservasi.

Model seperti ini justru memberikan masyarakat adat kekuatan lebih dalam mengatur wilayah adat, dan tak sekadar hak pengelolaan terbatas. Di Indonesia, hal ini hanya dapat dimulai dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang hingga kini masih terkatung-katung di parlemen.

 

 

*Penulis: Andre Barahamin adalah antropolog, anggota Komunitas Adat Ginimbale – Watunapatto, Senior Forest Campaigner di Kaoem Telapak. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

******

Foto utama: Hutan adat Laman Kinipan, di Kalimantan  Tengah yang terbabat untuk perusahaan sawit skala besar dengan izin keluar dari  pemerintah. Kala, komunitas adat menjaga hutan, malah hutannya diberikan kepada pebisnis skala besar.  Foto: Save Our Borneo

 

Exit mobile version