Mongabay.co.id

Dewi Kartika: Konflik Agraria, Perempuan Paling Terdampak

 

 

 

 

Konflik agraria di Indonesia terus terjadi. Di berbagai penjuru negeri, seakan tak ada yang lepas dari persoalan lahan. Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mencatat, ada 207 konflik agraria di 32 provinsi sepanjang 2021. Secara angka ada penurunan dibandingkan 2020, dengan 241 kejadian. Meskipun begitu, dampak konflik meluas, pada 2020, konflik lahan terdampak pada 135.337 keluarga jadi 198.859 keluarga. Keadaan ini menunjukkan, konflik menyasar lokasi padat penduduk, kampung-kampung maupun wilayah adat.

KPA mencatat, selama dua tahun pandemi ada 448 konflik agraria pada 902 desa/kota-kota. Dalam masa pemerintahan Joko Widodo tercatat 2.498 konflik agraria, atau sekitar 30 letusan kasus tiap bulan. Tiada hari tanpa konflik agraria di negeri ini.

Pemerintah nyatakan, mengusung reforma agraria untuk memangkas kesenjangan lahan antara skala besar dan rakyat kecil. Bagaimana dalam implementasi?

Untuk membahas persoalan agraria ini, Elviza Diana, jurnalis Mongabay Indonesia, berbincang dengan Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, saat datang ke Jambi, baru-baru ini. Dewi Kartika adalah sosok perempuan yang berkutat dengan berbagai persoalan lahan atau konflik agraria ini. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana konflik agraria saat ini dari pengamatan anda?

Tidak terlalu banyak berubah dua tahun terakhir ini. Yang membuat kita miris, sekaligus jadi alarm darurat agraria adalah jumlah masyarakat yang terdampak meningkat hingga hampir 50% dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan konflik agraria sebenarnya sudah masuk ke wilayah-wilayah pemukiman padat. Kita lihat memang proses-proses pengadaan tanah untuk berbagai kepentingan. Apakah itu penerbitan HGU (hak guna usaha), perkebunan, Izin tambang dan pengadaan infrastruktur menargetkan wilayah-wilayah pemukiman padat, kampung-kampung, dan wilayah adat.

 

Ratna, Nurbaya dan Nur Halima, bersiap menuju kebun mete milik warga setempat untuk memungut biji mete. Pulau Wawonii ini terancam dengan banyak izin tambang. Hidup warga terlebih perempuan bakal menderita kala ruang hidup mereka hilang jadi tambang. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Sektor apa yang mendominasi konflik agraria di berbagai penjuru negeri ini?

Penyebab konflik agraria tertinggi dan kalau kita lihat dari data KPA dalam 10 tahun terakhir selama satu dekade selalu sektor perkebunan. Itu nomor satu, kecuali 2015 sempat pembangunan infrastruktur yang menjadi peringkat pertama.

Kalau kita buka data konflik agraria di sektor perkebunan itu akan terlihat bentuk-bentuk perampasan tanah dalam skala besar yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi, pembangunan bidang perkebunan, yang sebenarnya memberikan konsesi skala besar kepada perusahaan-perusahaan swasta ataupun negara.

Kalau bercermin ke Jambi, konflik agraria sektor perkebunan didominasi sawit konflik agraria sektor perkebunan itu kurang lebih 67% adalah komoditas sawit. Ini menunjukkan ekspansi sawit di Indonesia itu sudah makin meluas. Proses-proses bertumpang tindih dengan tempat tinggal masyarakat, desa-desa, kampung-kampung, kemudian tanah pertanian produktif, dan wilayah adat.

Kita tidak bisa mengabaikan, karena pemerintah seringkali defensif, ya sawit itu tidak merugikan, sawit itu devisa negara. Tapi pemerintah abai bahwa proses-proses pengadaan tanah untuk bisnis sawit itu banyak melakukan pelanggaran HAM, kriminalisasi warga. banyak intimidasi, pencaplokan kampung-kampung dan wilayah adat di banyak tempat termasuk di Jambi.

 

Dalam kondisi konflik agraria, perempuan jadi pihak yang mengalami beban ganda dan paling terdampak. Bisa ceritakan pengalaman saat advokasi soal ini?

Perempuan memang mengalami beban ganda ketika ada konflik. Saat konflik, perempuan tak hanya turun langsung berjuang tetapi harus menjadi kuat untuk keluarga mereka. Pengalaman yang saya lihat sendiri itu di Nagekeo, NTT. Perampasan tanah yang melibatkan alat berat hingga para perempuan di sana menghentikan alat berat itu dengan membuka pakaian.

Secara adat, tanah itu seperti ibu bagi mereka. Harus diselamatkan. Saat itu, untuk menghentikan alat berat hanya itu. Mereka diteriaki dan dimaki “pelacur”. Ini paling meyedihkan dan membuat mereka trauma.

Mereka pun dikucilkan karena politik adu domba perusahaan untuk menguasai tanah. Masyarakat pro dengan berbagai iming-iming jadi melawan masyarakat kontra. Ini cara-cara kotor yang terus dilakukan dalam leberisasi pertanahan.

 

Adakah kegiatan atau program khusus KPA untuk para perempuan di wilayah dampingan?

Kita tak fokus kegiatan khusus perempuan, tetapi memberikan kesempatan kepada perempuan dalam area konflik atau terdampak konflik atau bagian dari keanggotaan kita untuk mendapatkan dukungan luas pada upaya pengembangan kapasitas. Ini seperti pelatihan paralegal, keorganisasian, serta pelatihan lain. Kita mengadakan pertemuan sesama kader perempuan seluruh Indonesia untuk bertukar piker dan informasi serta saling menguatkan.

Kita juga pelatihan-pelatihan berperspektif gender hingga kader laki-laki juga memiliki pandangan terbuka dan luas terhadap perempuan.

 

Dewi Katika, Sekjen KPA (tengah). Foto: dokumen pribadi

 

Ketimpangan kuasa lahan di Indonesia antara rakyat kecil dan pebisnis begitu besar. Guna mengurangi kesenjangan ini pemerintah gaungkan reforma agraria. Bagaimana menurut anda?

Kita perlu menyikapi kritis. KPA kecewa dengan implementasi reformasi agraria atau yang sedang diklaim pemerintah telah menjalankan reforma agraria. Karena banyak lokasi yang sudah diusulkan kepada pemerintah segera dituntaskan mengalami kemacetan. Berkali-kali presiden menjanjikan segera diselesaikan, belum juga.

Konflik agraria itu membutuhkan terobosan hukum, terobosan hukum membutuhkan terobosan politik. Kalau tidak ada political will (kemauan politik) serius dari presiden, terobosan hukum itu tak akan terjadi. Karena di lapangan pasti pemerintah di nasional sampai daerah akan mengacu pada hukum positif, legalistik.

Sementara target reforma agraria itu kan kalau mengacu kepada Peraturan Presiden 86/2018 tentang Reforma Agraria. Ada tujuh tujuan reforma agraria di dalam perpres itu, paling utama memperbaiki ketimpangan struktur penguasaan tanah di Indonesia. Kedua menyelesaikan konflik agraria, menciptakan kedaulatan , kemudian menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat.

Tujuan ini enggak bisa kita panen. Karena yang dilakukan pemerintah itu bukan reforma agraria, yang dilakukan pemerintah adalah program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Kami menyebutnya dulu ya bagi-bagi sertifikat, atau prona.

Dalam capaian pemerintahan Jokowi (Presiden Joko Widodo), itu diklaim sebagai capaian reforma agraria. Yang namanya reforma agraria itu harus ada penataan ulang fitur pengolaan tanah dan harus menyiapkan wilayah-wilayah obyek adalah struktur yang sudah puluhan tahun ini yang dikerjakan.

 

Bagaimana reforma agraria yang seharusnya?

Seharusnya, reforma agraria sejati itu adalah memperbaiki, bagaimana desa-desa atau kampung-kampung yang mengalami ketimpangan penguasaan tanah.

Bukan berarti KPA menolak sertifikasi tanah, itu penting dan merupakan tupoksi atau kewajiban di BPN. Tapi [itu dilakukan] bukan di lokasi yang masyarakatnya mengalami kemiskinan struktural karena tak ada akses tanah. Rata-rata justru menjadi buruh kebun, tidak jamiinan hidup bagi mereka.

 

Dewi Kartika, Sekjen KPA (tiga dari kiri, kaos hitam). FotoL Dokumen pribadi

 

Kini, Indonesia ada UU Cipta Kerja. Menurut anda, bagaimana dampaknya bagi masyarakat adat/lokal, petani atau masyarakat marginal lain?

Antara janji dengan realisasi pemerintah tentang reforma agraria ini terdapat gap yang sangat jauh. Itulah kenapa KPA selalu mengatakan bukan kayak gitu konsep reforma agraria sejati. Konfliknya belum selesai, ketimpangan ga diurus, tiba-tiba datang UU Cipta Kerja, yang menjadikan tanah sebagai barang komoditas. Ketika tanah menjadi barang komoditas, bukan lagi punya fungsi sosial, ekologis, dan lain-lain, praktis pengusaha akan mudah mengakses.

Bank Tanah, salah satu yang membahayakan. KPA menolak bank tanah, itu akan mengkonsolidasikan seluruh tanah yang dalam perspektif pemerintah itu adalah milik negara. Petani akan rentan untuk tanah mereka yang diambil alih dengan dalih kepentingan publik dan proyek strategis nasional.

 

Dalam kondisi seperti itu, langkah seperti apa agar masyarakat bisa bertahan?

Tidak ada jalan lain harus memperkuat organisasi-organisasi rakyat. Karena itu adalah benteng terakhir untuk menahan atau melawan proses perampasan tanah. Apalagi sekarang, mendapat ruang dengan instrumen UU soal pengadaan tanah, UU Kehutanan, UU Pangan serta turunannya.

Di samping ada UU Cipta Kerja yang merugikan, sebenarnya masih banyak juga UU yang bisa jadi pegangan bagi masyarakat untuk bisa bertahan atau berargumentasi. Maka perlu penguatan organisasi rakyat, mendorong masyarakat terorganisir dalam serikat. Itu juga jadi wadah saling belajar paralegal. Pendidikan itu pintu.

 

Bagaimana menyatukan organisasi masyarakat sipil agar berjuang bersama?

Kita harus bicara konteks siapa musuh besar bersama. Di semua lintas sektor, kapitalis adalah musuh bagi petani, nelayan, guru, wartawan bahkan pemerintah daerah. Dengan ada sistem desentralisasi, semua kewenangan ada di pemerintah pusat.

Jadi melawan kekuasaan yang kawin mawin dengan pengusaha ini adalah musuh semua. Upaya-upaya yang dilakukan adalah solidaritas tanpa batas. Bagaimana penderitaan dan perlawanan di Wadas, juga dirasakan petani di Jambi. Pun sebaliknya, perjuangan Nyai Jusma dan kawan-kawan di Tebo, juga dirasakan oleh nelayan di Sulawesi. Ini yang harus terus diperkuat, solidaritas tanpa batas adalah kunci untuk melawan oligarki.

 

 

 

Exit mobile version