Mongabay.co.id

Kesenjangan Antara Target dan Aksi Mengatasi Perubahan Iklim

 

Wacana net zero emission terdengar sangat optimistik ketika bauran energi baru terbarukan (EBT) masih merangkak pelan. Sampai kini, kesenjangan target dan aksi-aksi menghadapi perubahan iklim makin melebar.

Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) membahas hal ini pada Editor Meeting #5 bertajuk G20: Masa Depan Energi Berkelanjutan pada Sabtu (09/04/2022).

Negara-negara anggota G20 menyumbang sekitar 75% dari permintaan energi global yang menyumbang emisi penyebab gas rumah kaca. Karenanya, negara-negara maju dan berkembang ini memegang tanggung jawab besar dan peran strategis dalam mendorong pemanfaatan energi bersih.

Mengutip Climate Transparency Report 2021, baru ada 11 negara G20 yang memiliki skema tarif emisi karbon eksplisit di negaranya, baik melalui pajak karbon atau emission trading system (ETS). Dalam forum G20, Indonesia dinilai memiliki kesempatan baik karena menjadi negara berkembang pertama yang memimpin perkumpulan negara-negara yang menguasai perdagangan dunia ini. Melalui KTT G20, diharapkan presidensi Indonesia sebagai tindak lanjut dari aksi-aksi pasca-COP26 dan Presidensi G20 sebelumnya,

Untuk mencapai karbon netral, Indonesia menargetkan tercapai pada 2060. Sebelumnya komitmen menurunkan gas rumah kaca adalah 29% pada 2030. Medrilzam, M.Prof. Econ, Ph.D, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengatakan kali ini lebih optimis karena sudah dianggarkan dalam rencana pembangunan nasional.

“Dalam RPJMN 2020-2024, sebelumnya perubahan iklim seperti buang angin, ada tapi tak ada. Sekarang prioritas pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim jadi arah kebijakan RKP 2023,” katanya. Misalnya menurunkan emisi 27% pada 2024 dan penanganan limbah, serta ekonomi sirkular.

baca : Net Zero Emission, Harapan Masa Depan Perubahan Iklim

 

Polusi udara dari sebuah pembangkit listrik bertenaga batubara. Foto : shutterstock

 

Skenario Net Zero Emission (NZE) dilakukan melalui pembangunan rendah karbon. Pertumbuhan ekonomi saat ini rata-rata 6% per tahun. Pada 2020, sektor energi berkontribusi hampir 50% dari total emisi yang dihasilkan. Transisi energi dari energi fosil menuju terbarukan menurutnya sebuah keharusan. Dalam skenario kajian Bappenas, bauran EBT dalam energi primer harus terus ditingkatkan hingga 60% pada 2050 dan 100% pada 2060.

Tantangan besar menurutnya adalah dari sisi kesiapan teknologi dan pendanaan proyek-proyek EBT. Kebutuhan investasi program rendah karbon dinilai sangat tinggi, rata-rata 1 triliun USD per tahun untuk 2021-2060. “Kebutuhan investasi itu tidak mungkin dibebankan pada anggaran negara saja, dibutuhkan alternatif pendanaan baru dengan mendorong investasi swasta, kebijakan fiskal, dan lainnya,” lanjut Medrilzam.

Tantangan lain adalah risiko stranded assets, ini terkait bagaimana pemerintah mengelola fasilitas EBT yang sudah terbangun dan berpotensi jadi aset terdampar. Selain itu diperlukan percepatan transfer teknologi dan inovasi agar teknologi rendah karbon lebih terjangkau dan semakin murah. Transisi energi memerlukan penyiapan sumberdaya manusia yang diselaraskan kebijakan dan program pengembangannya.

Ia mengutip laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), harga EBT surya, bayu, dan baterai untuk kendaraan listrik saat ini telah turun dan di bawah harga fosil. Sistem kelistrikan di beberapa negara dan wilayah mulai didominasi EBT.

Sementara irisan ekonomi rendah karbon dan ekonomi biru adalah penerapan ekonomi sirkular, konservasi, dan restorasi lahan dan gambut. Selain itu, hal yang didorong adalah pariwisata laut, bioekonomi dan bioteknologi, serta pengembangan industri hijau. Hal lain adalah pemanfaatan energi terbarukan, pengelolaan sampah laut, pertanian berkelanjutan, pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir, pengelolaan pesisir, dan industri perikanan dan perkapalan.

“Jangan sampai market tapi produsen. Momentum G20 ini diharapkan mengatasi permasalahan pendanaan dan peningkatan teknologi,” harap Medrilzam. Pendanaan saat ini menurutnya tersebar di mana-mana, belum terfokus, padahal anggarannya besar.

Dr. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) memberi catatan kesenjangan aksi dan target negara-negara maju mencapai karbon netral.

Negara-negara G20 penghasil emisi dominan, tapi aksinya belum sejalan dari konsekuensi. Mengutip Climate Action Tracker, ada kesenjangan target dan aksi. “Termasuk Indonesia masih warna oranye tak hanya sistem kelistrikan, juga dekarbonisasi transportasi, karhutla,” sebutnya.

Oranye berarti sangat tidak cukup aksinya untuk mencapai Paris Agreement dan Deklarasi Glasgow. Negara lain di kategori ini adalah Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Kolombia, Mesir. Sementara yang dinilai hampir cukup aksi adalah Kosta Rika, Etiopia, Kenya, Moroko, Nepal, Nigeria, Gambia, dan UK.

Strategi jangka panjang untuk penurunan karbon dan perubahan iklim atau Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (Indonesia LTS-LCCR 2050) masih didominasi oleh bahan bakar fosil. “Misalnya batubara masih dominan. Padahal potensi EBT tinggi,” sebut Malistya.

Ia memaparkan sejumlah skenario untuk mengoptimalkan potensi EBT. Skenario 1, seluruh permukaan lahan terpilih dapat ditutupi photovoltaic (PV), kecepatan angin minimum 6m/s di ketinggian 50 m, terdapat lebih dari 1 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dalam satu basin untuk memaksimalkan potensi sungai. Skenario 2, hanya 27% dari keseluruhan permukaan atap ditutupi PV dan 5% dari permukaan waduk dapat ditutupi PV, dan kecepatan angin minimum 7,25 m/s di ketinggian 50 m.

Harga EBT makin turun dan penetrasi energi terbarukan diyakini akan menurunkan harga listrik. Indonesia diperkirakan bisa 100% energi terbarukan di 2050. Jika PLTS (utility) 73%, rooftop solar PV hampir 15%, pembangkit listrik tenaga air hampir 6%, dan geothermal 5%.

baca juga : Ini Tawaran Solusi dan Inovasi untuk Menahan Krisis Iklim

 

Seorang teknisi sedang memasang PLTS atap. Foto : shutterstock

 

Sementara itu, Bali diperkirakan bisa sepenuhnya terbarukan lebih cepat yakni pada 2045, dengan PLTS (utility) 49%. Namun terinstal baru 8 GW dengan kapasitas energi 11,8 terra watt/hour (TWh).

Solar (rooftop) dengan bauran 21%, sudah terpasang 3,2 GW dengan energi 5 TWh. Berikutnya PLTB 12%, baru terpasang 0,9 GW dan hasil energi 2,8 TWh.

PLTA kecil menengah 12%, terpasang 0,4 GW dengan energi 2,8 TWh. Lainnya biomassa berbasis bambu dengan bauran 7% namun baru terpasang 0,3 GW dengan hasil 1,8 TWh. Total EBT terinstal 13 GW dengan produksi energi 24 TWh.

Menurutnya negara G20 harus bisa menunjukkan kepemimpinan untuk bertransisi dengan cepat dan adil dengan cara akselerasi pemanfaatan energi terbarukan, pensiunkan PLTU, pemanfaatan penyimpan energi, modernisasi infrastruktur, dan optimalisasi efisiensi penggunaan listrik.

Keutuhannya adalah kerjasama internasional melalui pendanaan konsesional, investasi, bantuan teknis, dan alih teknologi. “Daya tarik investasi terbarukan di Indonesia masih rendah, walau terbuka. Perlu paket insentif untuk investasi,” sebut Malistya.

Yudo Priadi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyebut bauran energi terbesar EBT yang direncanakan adalah PLTS. Transisi energi akan jadi pembahasan kunci karena G20 adalah negara pengemisi terbesar. Negara-negara ini menguasai 85% global GDP, 75% perdagangan dunia, namun juga berkontribusi pada 81% karbon global dan konsumsi energinya sekitar 77% (IRENA, IEA 2018). Tiga kata kunci yang dibahas adalah akses energi, teknologi, dan pembiayaan.

 

Exit mobile version