Mongabay.co.id

Para Perawat Tanaman Obat dari Muara Jambi

 

 

 

 

Awan hitam menggelayut di ujung barat. Hujan sore itu membuat Desa Muara Jambi, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, basah kuyup. Hanya ada gemuruh air hujan yang menghantam keras atap-atap rumah warga.

Di tengah kebisuan kampung, Yadi masih duduk di tengah pondok. Dia sedang khawatir, satu per satu tanaman obat hilang dan orang-orang mulai ‘kecanduan’ obat-obat kimia.

Sayo takunyo lamo-lamo orang nanti tidak kenal lagi tanaman obat,” katanya, saat saya temui 18 April lalu.

Ingatan Yadi kembali pada suatu malam dimana tubuhnya terasa remuk, menggigil, terserang demam.

Saat itu, pandemi COVID-19 tengah menggila. Yadi yakin bukan kena corona. Dia menata kuali bersi air dan mulai menyalakan kompor.

Beberapa lembar daun sungkai berjumlah ganjil dia rebus. Dia percaya, ramuan daun sungkai ampuh menyebuhkan demam. “Malam minum, paginyo Alhamdulillah segar.”

Di Jambi, ramuan daun sungkai dikenal turun-temurun sebagai obat demam. Sewaktu menjabat Bupati Merangin, Al Haris bahkan pernah membagi-bagikan ramuan tradisional daun sungkai pada pasien COVID-19.

 

Belimbing tanah, salah satu obat tradisional di Muara Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Dia percaya, ramuan itu ampuh meningkatkan imun tubuh dan membantu penyembuhan pasien COVID. Terbukti, Merangin saat itu zona hijau. Sejak itu, daun sungkai populer sebagai obat COVID-19 di Jambi.

Madyawati Latif, doktor juga Ketua Jurusan MIPA Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi mengatakan, daun sungkai mengandung etanol dengan fungsi anti inflamasi. Hal itu diketahui setelah uji coba pada tikus. Meskipun begitu, peneliti Unja itu tidak berani mengklaim ramuan daun sungkai sebagai obat COVID-19.

Di Muara Jambi, sungkai tumbuh subur di sekitar Candi Gedong dan Candi Koto Mahligai, bagian dari cagar budaya Candi Muaro Jambi.

Di sekitar Candi Gedong juga ada pohon kapung (Orochilum indicum) atau umum disebut kembang parang. Biji pohon itu berupa kelopak putih mirip kertas sutra dan biasa digunakan masyarakat Muara Jambi sebagai obat panas dalam.

Para biksu dari Tibet menyebut biji kapung metok zambaka sebagai kunci simbolis untuk memasuki mandala selama upacara Tantra.

Tanaman obat di Muara Jambi tidak bisa terpisahkan dari sejarah Candi Muaro Jambi. Dalam kunjungannya di Muaro Jambi, 7 April lalu, Presiden Joko Widodo menyebut Candi Muaro Jambi, dahulu pusat pendidikan.

“Ini pusat pada abad ke-7 termasuk terbesar di Asia, bukan hanya berkaitan dengan teologi, tapi cagar budaya Muaro Jambi ini dulunya pusat pendidikan kedokteran dan obat-obatan, kemudian filsafat, arsitekstur dan seni,” kata Jokowi.

“Artinya apa? Peradaban kita saat itu sudah menginternasional dan terbuka. Inilah sejarah yang perlu kita lestarikan agar jejak-jejak peradaban di bidang pendidikan bisa diketahui.”

 

Rumah Menapo di Desa Muara Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Warisan tanaman obat

Rumah papan di pinggir Sungai Batanghari di kelilingi puluhan jenis tanaman obat. Siti Hawa, dukun kampung di Muara Jambi menunjukkan bunga sepatu, tanaman semak Suku Malvaceae dari Asia Timur.

Masyarakat Muara Jambi menyebut itu bungo rayo.

Daunnyo untuk obat demam panas, bungonyo direbus untuk obat batuk,” katanya.

Perempuan 62 tahun biasa disapa nyai itu mengambil pot kecil di pojok rumahnya. Tanaman mirip rumput itu berbunga putih dan ungu di bagian ujung. “Ini belimbing ketam, obat panas dalam.”

Nyai menanam banyak tanaman obat, lebih 20 jenis tanaman obat, mulai sekentut, cendana, sagu belando, ekor naga, mato ketam, sampai gingseng. Manfaatnya, pun beragam, ada obat panas dalam, demam, kembung, maalria, patah tulang hingga penyakit gawat seperti kanker.

Sejak dulu masyarakat di Muara Jambi, lebih percaya menggunakan tanaman obat untuk mengobati penyakit yang dideritanya. “Kalau dio serasi (sembuh) ke dukun ya gak perlu ke dokter.”

 

Yadi, anggota Rumah Menapo, menanam tanaman obat. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Nyai mengatakan, ada beberapa jenis tanaman yang sering digunakan untuk mengobati pasiennya. Kalau orang keseleo, gunakan daun bungur (Lagerstroemis speciosa). Untuk patah tulang, bisa diobati dengan cocor bebek (Kalanchoe pinnata) atau lidah buaya (Aloe vera) yang ditumbuk.

“Sayo lahirnyo nyungsang, kalau lahir nyungsang pasti jadi dukun. Maka banyak obat di bawah—halaman rumah—itu,” katanya terkekeh.

Saat proses pengobatan dia juga membacakan doa-doa khusus. Seperti saat melakukan tawar kunyit untuk mengobati demam. “Qulhu (surat Al Ikhlas) tigo kali, Fatihah, samo ditambah kunyit dan kapur,” katanya.

Mukhtar Hadi, pendiri Perkumpulan Rumah Menapo mengatakan, tanaman obat di Muara Jambi sudah jadi bagian dari budaya turun-temurun.

“Apa yang dikatakan Pak Jokowi kalau di sini dulu (Candi Muaro Jambi) pusat belajar kedokteran dan obat-obatan itu betul. Itu tercermin budaya masyarakat di Muara Jambi, hampir setiap rumah menanam tanaman obat.”

Dia cerita, para penambang pasir di Sungai Batanghari menemukan gulungan timah bertuliskan semacam mantra dalam bahasa sansekerta. Bunyinya “Sirih, sirih…tolong potong lembut, dengan kain pati, tanamlah dirimu sendiri… lalu petik rumput tebu, aren, tunas yang tak berakar, lindungilah, lindungilah!”

 

Bunga sepatu, jadi obat demam dan batuk. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Dalam buku Dreams from The Golden Island menyebutkan, kalau mantra-mantra itu adalah mantra penyembuhan, yang menyerukan nama-nama tumbuhan.

“Disebutkan sirih, di kampung, kami mengenal sirih ya tanaman obat itu. Daunnya ada merah, hijau dan hitam untuk menyembuhkan 99 jenis penyakit,” kata pria yang akrab disapa Borju ini.

Meski masyarakat Muara Jambi, punya budaya menanam tanaman obat, tetapi hanya sebagian kecil. Banyak jenis tanaman obat tersebar di alam kini terancam hilang dan punah.

Demi menunjukkan kemasyhuran peradaban kuno di Muaro Jambi, pemerintah berencana memugar beberapa candi, salah satu, Candi Gedong.

Niat pemerintah ini membuat Yadi makin gelisah. Dia khawatir, pemugaran akan menghancurkan tanaman obat di sekitar candi. Selama ini, tanaman obat di sekitar menapo—reruntuhan candi yang belum dipugar—sering terabaikan.

“Saat proses pemugaran tanaman obat itu diabaikan, dianggap tidak penting. Pemerintah hanya fokus pada bangunan candi. Ini kan justru bahaya.”

Kompleks Candi Muaro Jambi, katanya, sebagai apotek hidup yang di sekitarnya banyak menyimpan tanaman obat. Hampir semua bangunan candi dibangun di dataran tinggi yang tak terdampak banjir.

Perkebunan sawit di kawasan cagar budaya Candi Muaro Jambi juga ikut menghancurkan habitat tanaman obat di Muaro Jambi. Industri tambang batubara juga.

Yadi mencatat, ada 12 perusahaan punya stockpile batubara tak jauh dari kompleks Candi Muaro Jambi.

Perkumpulan Rumah Menapo di Muara Jambi– fokus kampanye pelestarian kawasan situs Candi Muaro Jambi– mencatat, dari luas 3.981 hektar kawasan cagar budaya nasional Candi Muaro Jambi, hampir 1.000 hektar dikuasai perusahaan sawit dan industri tambang batubara.

Cilakanya, Pemerintah Muaro Jambi menetapkan wilayah Desa Kumpeh, Kemingking Dalam, Talang Duku, Niaso, Kunangan, Teluk Jambu dan Muara Jambi, yang sebagian besar berada dalam kawasan cagar budaya justru sebagai kawasan industri dan menjadi lokasi stockpile batubara.

 

SIti Hawa, dukun kampung di Muara Jambi, yang jadikan rumahnya tempat hidup tanaman obat-obatan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Kepungan perkebunan sawit, menghabiskan tempat resapan air. “Sekarang gampang banjir, karena daerah resapan sudah kurang,” kata Rido, Ketua Pemuda Peduli Lingkungan Muaro Jambi.

Banjir makin rutin membuat tanaman obat di dataran rendah makin rentan dan khawatir terjadi kepunahan.

“Semua harus kembali ke keselarasan hingga romantisme manusia dengan alam tetap terjaga.”

 

***

Sejak tiga tahun lalu, Yadi mulai mengindentifikasi beragam jenis tanaman obat. Lebih 100 jenis tanaman obat dia budidaya di rumah warga untuk menghindari kepunahan.

Dia menyebut beberapa jenis tanaman mulai sulit ditemukan di alam, seperti secang merah (Biancaea sappan). Selain untuk penangkal racun dan obat panas dalam, masyarakat Muara Jambi memanfaatkan kayu secang untuk bikin sirup dan pewarna alami batik.

Yadi bilang, perlu upaya serius menyelamatkan tanaman obat di Muara Jambi dari kepunahan. Bersama Perkumpulan Rumah Menapo, Yadi terus mengkapanyekan tanaman obat.

Dalam syair Abdul Muluk dilantunkan setiap kali pentas teater, selalu menyebut beberapa jenis tanaman obat, seperti cepiring dan kesumbo– sejenis rumput yang dipercaya sebagai tangkal.

Kampanye tanaman obat juga dilakukan lewat lukisan. Sekolah sungai dan Sekolah Alam Raya yang melibatkan anak-anak di kampung, jadi sarana mengenalkan jenis tanaman obat sejak dini. Mereka juga diajak menanam beberapa pohon obat agar tetap lestari di alam.

 

Selamat Hari Bumi!

Exit mobile version