Mongabay.co.id

Ktu Mai, Hutan Suku Namblong dan Rumah Satwa Dalam Keterancaman

 

 

 

 

 

Frederik Wouw, sudah jarang berburu. Sejak wilayah ini jadi ekowisata, dia memilih menyimpan peralatan berburu. Masih jelas dalam ingatan pengalaman berburu di Ktu Mai.

Di halaman rumahnya di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang 22 Maret lalu, Frederik bercerita tentang Ktu Mai, hutan yang sejak nenek moyang menjadi tempat berburu warga Suku Namblong dan suku-suku sekitar.

Ktu Mai artinya tempat yang banyak binatang, hewan banyak sekali di dalam hutan ini, termasuk babi, kasuari. Berbagai macam jenis. Jadi, orang dari mana-mana mereka berburu ke sini.”

Suku Namblong, hidup di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura, Papua. Warga Namblong menyebut wilayah berdasarkan karakterr. Ada Ktu Mai, Tabo, Fou, dan Iwalom.

Ktu Mai sebutan untuk lembah tempat hidup banyak margasatwa. Tabo itu wilayah pegunungan nan dingin, banyak mata air. Fou itu dataran yang muncul banyak kepiting di musim hujan, dan Iwalom merupakan daerah karang yang kering.

Masyarakat yang hidup di Ktu Mai akan disebut Ktu Mai Lhu, hidup di Tabo disebut Tabo Lhu, yang hidup di Fou disebut Fou Lhu.

Dari keempat wilayah itu, Ktu Mai menjadi wilayah sebagai tempat berburu. Dibandingkan ketiga wilayah lain, satwa lebih banyak hidup di sini. Ktu Mai dalam bahasa Namblong berarti sagu duri.

Tempat itu banyak margasatwa. Daerah itu paling banyak mambruk sama kasuari.”

 

Rosita Tecuari saat menyerahkan pernyataan soal _Selamatkan Lembah Grime Nawa_ kepada Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dań Tanaman Pangan Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Wilayah yang disebut sebagai Ktu Mai membentang dari Kampung Bunyom dan Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang hingga ke pesisir utara di Distrik Demta. Lembah ini diapit dua kali besar yaitu Kali Yenggu dan Grime. Di tengahnya mengalir Kali Muaif. Wilayah ini tanah ulayat marga Suku Namblong yang saat ini menempati Kampung Benyom, Distrik Nimboran.

Sebagian lagi menempati kampung di Pesisir Demta. Batas antar marga yang satu dengan lain berupa batas-batas alam.

Dalam peta Global Forest Watch, wilayah ini teridentifikasi sebagai hutan hujan dataran rendah Nugini Utara dan hutan rawa air tawar.

Babi, kasuari, mambruk, kus-kus pohon, kangguru tanah, tikus tanah, maleo, ayam hutan, angsa hutan, burung taun-taun, antara lain yang pernah ditemui di Ktu Mai.

Berbagai tumbuhan alam menjadi makanan mereka. Selain sagu, ada juga berbagai jenis nibun, ada beringin, juga tanaman buah lain seperti jambu sampai matoa.Pohon-pohon ini juga sumber pangan satwa.

“Buah matoa siang hari dimakan burung, malam hari dimakan kelelawar. Yang jatuh ke bawah dimakan babi atau kasuari.”

Musim buah menjadi musim baik untuk berburu. Frederik biasa berburu siang atau malam hari. Saat berburu siang, dia menggunakan jejak kaki dan bekas cungkilan untuk mengetahui ke arah mana binatang buruannya bergerak. Sedang malam hari dia mengandalkan bunyi.

Tak hanya hutan, di Ketu Mai juga ada banyak kali dan telaga. Di telaga hidup berbagai jenis ikan. Ada mujair, gastor, lele, gabus, ikan sembilan dan lain-lain. Di kali, selain berbagai jeni sikan, juga udang, sampai kerang atau sehari-hari masyarakat Namblong menyebutnya bia.


 

Pesan turun temurun

Abner Tecuari, Kepala Marga Tecuari atau lazim disebut Iram dalam bahasa Namblong mengatakan, Ketu Mai tak hanya jadi tempat berburu masyarakat Suku Namblong. Suku-suku lain di wilayah itu juga berburu di Ktu Mai.

“Itu sudah dari turun-temurun, tete-nene moyang kita. Makanya hutan itu yang disuruh jaga. Hutan itu disuruh jaga supaya melindungi binatang-binatang di situ. Selagi kita ada acara atau ingin memakan daging, kita masuk ke hutan, seperlunya kita berburu. Sudah dapat, kita pulang.”

Tecuari adalah salah satu marga yang jadi pemilik ulayat di Ktu Mai. Sejak kecil, Abner biasa dibawa orangtuanya berburu di Ktu Mai. Tak sekadar sumber penghidupan, warga seperti Abner juga memiliki kepercayaan terkait tempat ini dan satwa-satwa yang hidup di dalamnya.

“Misal, di musim hujan, matahari hilang, kita bingung di mana timur, di mana barat, nanti ada binatang datang, ya sudah kita kejar-kejar binatang itu, tahu-tahu keluar ke jalan. Laolao (kangguru tanah), sering bawa manusia hilang, sering juga mengantar manusia pulang.”

Sebagaimana di tempat-tempat lain di Papua, cerita tentang tempat-tempat keramat dalam hutan juga ada di Namblong. Abner Tecuari, bilang, di Ktu Mai ada banyak tempat penting atau keramat bagi marga Tecuari. Disebut tempat keramat karena ada cerita-cerita yang berkaitan dengan keturunan marga Tecuari.

Membuka hutan yang jadi tempat keramat, katanya, akan mendatangkan petaka. Karena itu pesan menjaga hutan terus-menerus disampaikan turun menurun.

 

Tutupan Hutan di Ktu Mai, hutan ulayat Marga Tecuari. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Pentingnya wilayah Ktu Mai tampak juga dalam cerita Alex Waisimon. Waisimon adalah marga dari wilayah Tabo. Pada masa lalu, nenek moyang mereka biasa berburu ke Ktu Mai. Hubungan baik yang terjalin dengan marga-marga di wilayah Ktu Mai membuat marga Waisimon mendapat tempat tinggal dan berburu.

Kini, mereka terus berkembang membentuk kampung tersendiri yang disebut Kampung Yenggu Lama, Distrik Nimbokrang.

Alex mengembangkan jasa ekowisata antara lain pengamatan burung. Lewat ekowisata, dia yakin bisa jadi cara bagi masyarakat pemilik ulayat memanfaatkan hutan tanpa merusak.

Alex mengatakan, ada cerita  turun-temurun di dalam Masyarakat Namblong terkait Ktu Mai. Bahwa, Ktu Mai adalah pintu laut. Pada masa dahulu air laut sampai ke gunung (tabo). Laut berpindah dan Ktu Mai menjadi batas antara darat dan laut.

“Jadi, orangtua bicara tidak boleh batas laut dihabisi. Nanti laut masuk ke sini. Suatu ketika perubahan datang. Air nanti tidak bisa mentok di laut maka naik lagi,” kata Alex.

Sejalan dengan cerita masyarakat tentang banyaknya satwa di Ketu Mai, beberapa tahun terakhir, wilayah Namblong sudah jadi daerah pemantauan burung endemik Papua. Salah satu yang cukup terkenal bernama spot jalan Korea ada di Ketu Mai. Para pencinta burung dari berbagai belahan dunia datang ke tempat ini untuk menyaksikan burung-burung endemik Papua.

Dengan memanfaatkan hutan bekas tebangan dan tempat berburu, pada 2015, Alex Waisimon mulai mengembangkan ekowisata birdwatching di Kampung Rhepang Muaif dengan nama Isio Hill’s Bird Watching.

Alex mengajak para pemilik ulayat berhenti menebang kayu dan berburu binatang di wilayah itu. Sebuah penginapan sederhana dibangun untuk para wisatawan.

 

Karsina Demonggreng dan suaminya, Delfianus Kekri saat masuk ke hutan ulayat mereka yang kini masuk dalam konsesi PT. PMN. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kini, kawasan ekowisata ini terus berkembang. Hutan pelan-pelan kembali pulih, pun fauna terus bertambah. Fasilitas makin lengkap. Tak hanya birdwatching, kini Isio Hill’s menawarkan ekowisata camping dan trekking.

Isio Hill pun jadi tempat pelepasliaran burung endemik. Pengunjung bukan hanya wisatawan pencinta burung juga akademisi dan para siswa sekolah.

Tiap Sabtu, ada sekolah alam, di mana anak-anak belajar tentang alam dan kebudayaan Namblong.

Alex mengatakan, wilayah yang oleh masyarakat Namblong disebut Ktu Mai berpotensi jadi kawasan ekosiwata. Salah satu satwa endemik yaitu kangguru tanah dengan populasi cukup banyak.

Hutan di Ktu Mai dengan kekayaan flora faunanya, pun telaga hingga kali yang bermuara ke laut di pesisir utara menjadi potensi besar yang bisa dikelola oleh masyarakat.

“Salah satu bisa kembangkan adalah wisata pakai kayak lewat Kali Yenggu, Kali Muaif, Kali Aso, Kali Biru, turun dari sini ke laut. Rencananya seperti di Thailand. Sungai, laut, gua, itu kalau nanti dikembangkan, luar biasa. Banyak hal bisa dikerjakan.”

Rencana Alex mendapat dukungan para pemilik ulayat. Mereka berkomitmen menjadikan wilayah sebagai kawasan konservasi. Untuk mencegah hutan dari pemanfaatan lain, pada 2018, Bupati Jayapura juga mengeluarkan Keputusan Nomor 188.4/150/2018 tentang penetapan Bukit Isyio Rhepang Muaif seluas 19.000 hektar sebagai hutan. Sayangnya, wilayah yang ditetapkan sebagai hutan adat ini tumpang tindih dengan konsesi sawit.

 

Hasil analisis stok karbon pada wilayah konsesi PT. Permata Nusa Mandiri.

 

Terancam perkebunan sawit

Wilayah Ktu Mai terancam. Wilayah ulayat marga Tecuari dan marga-marga lain ini masuk dalam konsesi perusahaan sawit, PT. Permata Nusa Mandiri. Anak perusahaan Indogunta ini mulai menebangi hutan di Ktu Mai pada Januari 2022.

“Itu lokasi yang sedang digusur perusahaan itu tempat berburu saya. Saya setiap kali berburu di situ, mencari ikan di kali, mencari binatang di darat, kasuari, babi, rusa. Itu di hutan yang mereka gusur,” kata Abner.

Hasil analisis Greenpace, 81% konsesi merupakan kawasan setok karbon tinggi. Tampak pada peta, kawasan setok karbon tinggi ada di wilayah Ktu Mai. Membuka wilayah ini akan melepas banyak karbon dan memperparah masalah perubahan iklim.

Pada 5 Januari lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, cabut izin pelepasan kawasan hutan perusahaan, tetapi hutan tetap terbabat.

Pantauan citra satelit Greenpeace Indoneesia, sepanjang 1 Januari-12 Februari, perusahaan sudah membersihkan sekitar 70 hektar.

PMN ini sudah mengantongi izin lokasi sejak 2011. Kala itu, Bupati Jayapura menerbitkan izin lokasi No 213/2011 seluas 32.000 hektar mencakup enam distrik yaitu, Distrik Unurum Guay, Nimbokrang, Nimboran, Namblong, Kemtuk, dan Kemtuk Gresi di Kabupaten Jayapura. Tiga Distrik masuk wilayah Suku Namblong adalah Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong.

Pada 20 Februari 2014, Bupati Jayapura juga menerbitkan izin lingkungan No 34/2014. Tahun sama, 28 Maret 2014, Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Papua, John Way menerbitkan izin usaha perkebunan seluas 30.920 hektar.

Pada 13 Agustus 2014, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan seluas 16.182,48 hektar melalui surat keputusan Nomor SK.680/MENHUT-II/2014. Izin ini kemudian dicabut pada Januari 2022.

Meski izin pelepasan kawasan hutan dicabut, izin lain masih aktif. Antara lain, sertifikat HGU dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura dan Menteri ATR/BPN menerbitkan sertifikat hak guna usaha (HGU) pada 2018.

Kini, Abner Tecuari, Alex Waisimon, dan marga-marga yang lahan ulayat masuk dalam konsensi sawit mendesak pemerintah mencabut izin PMN.

Dalam siaran pers 7 Maret lalu di Jayapura, mereka mendesak pemerintah mencabut seluruh izin perusahaan.

Abner mengatakan, pelepasan tanah ulayat Marga Tecuari tak sah. Karena itu sertifikat HGU dari pemerintah harus dicabut.

“Informasi pelepasan oleh Marga Tecuari sepihak, tanpa musyawarah mufakat. Tanah itu bukan milik Ondoafi sendiri. Ondoafi atau Iram itu hanya mempunyai hak sebagai hak pelindung bukan pemilik, mereka melindungi hak-hak masyarakat yang dipimpinnya bukan hak menjual tanah tanpa sepengetahuan masyarakatnya.”

 

Nibun yang tumbuh di Ktu Mai. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Pada 20 Maret 2022, perusahaan sudah menghentikan aktivitas.

Delila Giay, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DMPTSP) Kabupaten Jayapura, melayangkan surat kepada PMN agar menghentikan pembukaan lahan sampai ada klarifikasi dari KLHK soal izin pencabutan kawasan hutan.

Rosita Tecuari, Ketua Organisasi Perempuan Adat (ORPA) Namblong menyatakan, wilayah ini hutan tersisa yang jadi tempat hidup dan penghidupan bagi warga Namblong.

“Kalau hutan itu ditebang, hutan kami tinggal itu saja.”

Hendra K. Maury, Dosen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Cenderawasih mengatakan, dibandingkan hutan di pegunungan, dataran rendah seperti Ktu Mai merupakan daerah subur.

Wilayah lembah jadi lebih subur karena semua unsur hara tanah terkumpul di sini. Tanah subur dengan biomasa tinggi menciptakan relung berbagai macam flora dan fauna.

“Kalau bicara keanekaragaman, itu tinggi sekali di daerah dataran rendah.”

Pada 2018, Jurusan Biologi FMIPA Uncen melakukan studi tentang keanekaragamanhayati khusus kera di wilayah Namblong. Titik fokus amatan ada di Kampung Rhepang Muaif dan Sawisuma.

Hasil kajian ini menunjukkan, di wilayah ini ada 84 jenis burung dari 31 famili. Sebanyak 61 jenis memiliki status konservasi tertentu dan tersebar di hutan dataran rendah baik primer maupun sekunder.

Jenis yang terancam punah dan masih bisa ditemukan di sini antara lain, kasuari gelambir tunggal (Casuarius unappendiculatus), rajawali Papua (Harpyopsis novaeguineae), mambruk viktoria (Goura victoria) dan nuri ara salvadori (Psittaculirostris salvadorii). Selain itu, ada juga cenderawasih paru sawbit paru pucat (Epimachus bruijnii) yang berstatus mendekati terancam (near threatened).  Psittaculirostris salvadori, jenis burung dengan sebaran terbatas di kawasan hutan dataran rendah bagian utara Papua. Jenis ini masuk jenis endemik.

Jenis cenderawasih yang ditemukan di sini antara lain, cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleuca), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), manukodia kilap (Manucodia ater), cenderawasih kecil (Paradisaea minor), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus).

Adapun pengamatan dalam kajian merupakan hutan sekunder. Ktu Mai, yang sebagian besar hutan primer.

“Kali Muaif kita ikuti ke arah pantai itu hutan primer. Itu luar biasa kenakeragamanhayatinya. Sesuai hasil yang kita dapat dengan apa yang diutarakan masyarakat.”

Masyarakat Namblong berharap, izin perkebunan sawit dicabut, hutan terjaga jadi rumah margasatwa, dan sumber hidup dan penghidupan masyarakat sampai anak cucu.

 

Alex Waisimon di lokasi Bird Watching. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version