Mongabay.co.id

Hutan Sumatera Barat Terus Tergerus, Bagaimana Tekan Deforestasi?

Deforestasi di Jambi, hutan terbuka menjadi sawit maupun kebun tanaman (HTI). Foto: Warsi

 

 

 

 

Hutan Sumatera Barat terus tergerus. Pada periode 2011-2021, provinsi ini kehilangan 139.590 atau lebih dari satu setengah kali luas Kota New York. Kerusakan hutan terjadi karena berbagai penyebab seperti bisnis ekstraktif skala besar, pembalakan liar, maupun pertambangan emas ilegal dan lain-lain.

Yozarwardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar mengatakan, luas kawasan hutan Sumbar 2.286.883 hektar, sekitar 1.521.260 hektar jadi kewenangan provinsi. Mereka berusaha mengurangi angka kehilangan tutupan hutan setiap tahun.

“Kalau kita hitung dari 2011-2016 ada sekitar 15.000 hektar hutan hilang per tahun. Kerusakan hutan itu bisa diakibatkan penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan dan lahan dan lain-lain,” katanya.

Rentang waktu 2017-2021, laju kerusakan berada di bawah 15.000 hektar. “Misal, pada 2017, kerusakan menurun jadi 14.652 hektar.”

Menurut Yozarwardi, mereka juga melakukan cek lapangan terkait luasan itu.

“Tahun 2021 luas kerusakan hutan di Sumbar sekitar 12.037 hektar. Artinya angka kerusakan hutan menurun,” katanya.

 

 

Yozarwardi menyebutkan, pada 2017, laju kerusakan rata-rata sekitar 14.652 hektar. Pada 2018, turun jadi 11.979 hektar. Kemudian, 2019 naik lagi jadi 13.132 hektar. Tahun berikutnya, ada 12.790 hektar hutan hilang dan 2021 sebesar 12.037 hektar.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, sepanjang 2021, ada 6.968 hektar hutan di Sumbar rusak.Kerusakan itu terjadi di Dharmasraya 1.773 hektar, Solok 1.533 hektar, Solok Selatan 2.559 hektar dan Sijunjung 1.103 hektar.

Rudi Syaf, Direktur Eksekutif KKI Warsi mengatakan, tutupan hutan di Sumbar masih ada 41% atau 1.744.549 hektar.

KKI Warsi mengeluarkan rilis pada 2020 soal hutan Sumbar berkurang 31.367 hektar dalam empat tahun terakhir. Angka itu dari analisis Citra Satelit Lansat TM 8 oleh tim Geographic Information System KKI Warsi.

Rinciannya, pada 2019-2020, tutupan hutan hilang 8.015 hektar. Kalau periode 2017-2020, ada 31.367 hektar. Dari jumlah itu, tutupan hutan hilang berada di Kepulauan Mentawai 7.458 hektar, Dharmasraya 5.131 hektar, dan Solok Selatan 4.975 hektar. Lalu, Pasaman Barat 3.931 hektar, Pesisir Selatan 3.147 hektar, Pasaman 2.944 hektar dan Sijunjung 2.024 hektar.

 

Lahan eks tambang emas ilegal di Jorong Pematang Sari Bulan, Nagari Muaro, Kecamatan Sijunjung yang dijadikan pertambakan ikan. Foto: Dok. Kodim 0310

 

Yozarwardi bilang, ada perbedaan skala antara peta mereka dengan Warsi. “Itu skalanya berbeda. Kalau kami ada cek lapangan langsung,” katanya beralasan.

Pemerintah Sumbar, katanya, berupaya menekan laju kehilangan tutupan hutan secara bertahap. Ada beberapa upaya mitigasi kerusakan hutan mereka lakukan. Pertama, kalau hutan masih bagus dipelihara supaya tak rusak. Kedua, ketika ada degradasi hutan, atau berubah jadi hutan sekunder akan ditambah isi tanaman. “Namanya pengayaan.”

Ketiga, untuk lahan kritis baik kosong dan tinggal belukar, Dinas Kehutanan akan lakukan rehabilitasi. “Terus kita menyediakan  bibit gratis. Ada 250.000 batang per tahun dibagikan gratis dan ditanam ke lahan kritis atau lahan masyarakat,” katanya.

Dinas, katanya, juga antisipasi kebakaran hutan dan lahan. Ada beberapa daerah rawan karhutla di Sumbar,   seperti Pasaman Barat, Pasaman, Pesisir Selatan, Sijunjung dan Dharmasraya.

 

***

Dinas Kehutanan Sumbar berupaya melakukan pencegahan kerusakan hutan makin besar melalui beberapa program, salah satu lewat skema perhutanan sosial.

Dinas Kehutanan Sumbar mencatat, capaian perhutanan sosial per Februari 2022, ada 169 unit seluas 236.905,29 hektar dengan 142.219 keluarga.

“Artinya, kalau kita asumsikan satu keluarga terdiri atas ayah, ibu dan tiga anak berarti ada sekitar 701.000 orang memanfaatkan hutan untuk kehidupan. Jumlah penduduk Sumbar sekitar 5,5 juta jiwa, jumlah itu sekitar 10% dari penduduk Sumbar difasilitasi pemerintah mengelola hutan untuk meningkatkan pendapatan,” katanya.

 

Cagar Alam Palupuh, FotoL Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Unit-unit perhutanan sosial itu, katanya, tersebar di 10 kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dan 31 lembaga pengelolaan hutan nagari (LPHN) dan kelompok tani hutan (KTH).

Sepuluh KPH itu adalah Pasaman Raya, 50 Kota, Agam Raya, Bukit Barisan, Sijunjung, Solok, Hulu Batanghari, Dharmasraya, Pesisir Selatan dan Mentawai.

Untuk mata pencarian warga di perhutanan sosial, katanya, ada dari usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) (19,2%), hasil hutan kayu (6,4%), produk pertanian 45,5% dan ternak 28,9%.

Di dalam area perhutanan sosial, warga tanam beragam, seperti jengkol, pete, durian, gaharu, rotan, sukun, madu, aren dan lain-lain.

Selain HHBK, kata Yozawardi, ada potensi jasa lingkungan. “Ekowisata, keindahan bentang alam dan bisa juga air bersih. Kalau potensi ekowisata bisa dikelola dengan baik bisa mendatangkan pendapatan.”

 

Hutan Sumbar yang masih terjaga. Foto: Jaka HV/ Mongabay Indonesia

 

********

Foto utama: Hutan Sumbar terus tergerus. Foto: KKI Warsi

Exit mobile version