- Sebagian warga yang mengelola lahan di dalam kawasan Taman Nasional Leuser mau mengikuti program kemitraan konservasi. Mereka bersedia tanaman sawit dirobohkan. Sayangnya, kehidupan warga setelah itu kurang mendapatkan perhatian pemerintah.
- Sebagian warga lain enggan membersihkan kebun mereka dari sawit sembari menunggu apa yang terjadi dengan warga yang sudah ikut anjuran pemerintah. Ketika mereka melihat hidup warga yang ikut kemitraan konservasi alami kesulitan, warga pun urug ikutan.
- Yashut, inisiator pembentukan kelompok tani hutan konservasi (KTHK) di Kecamatan Darul Hasanah, Aceh Tenggara, mengatakan, sejak KTHK terbentuk pada 2018 dengan melibatkan 760 warga di tiga desa, dukungan terhadap program ini terbilang minim.
- Sabaruddin Pinim, Kepala Resor TNGL Wilayah Lawe Mamas, pendekatan melalui kelompok tani hutan konservasi lebih mudah diterima masyarakat karena ada manfaat ekonomi, seperti pertanian palawija di sela-sela tanaman hutan yang mereka tanami kembali.
Iskandar harus merelakan dua ratusan tanaman sawit di lahan seluas dua hektar ditebang petugas Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sekitar setahun lalu. Kala itu, tanaman sawit sedang berbuah pasir. Sawit hilang, konsekuensi kehilangan sumber pendapatan.
“Saya sudah merelakan, secara sadar untuk ditumbangkan setelah ada sosialisasi dari TNGL untuk pemulihan kawasan,” katanya ditemui di TNGL, Desa Kuning Abadi, Kecamatan Darul Hasanah, Aceh Tenggara, Februari lalu.
Iskandar hanyalah satu dari ratusan warga di Aceh Tenggara, yang mengelola lahan masuk kawasan TNGL. Menurut dia, sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum kawasan itu jadi taman nasional sekitar 1980, masyarakat sekitar mengelola lahan pertanian, belakangan mengubah jadi perkebunan sawit.
Mereka tak mengetahui kalau lahan itu masuk dalam kawasan taman nasional. Tak hanya untuk bertani, sebagian masyarakat menjual lahan—lagi-lagi karena tergiur jadi kebun sawit.
Lahan Iskandar sudah pernah ditanami sawit oleh pengelola sebelumnya. Pada 1994, dia membeli Rp4 juta dari warga dengan jaminan surat keterangan dari kepala desa.
Dia sudah sempat menikmati hasil panen sawit. Sebelum penanaman baru—belakangan dibersihkan–, dia sudah menikmati hasil selama tiga tahun sejak enam tahun jadi kebun sawit.
“Tapi kemudian dianjurkan ditumbang, habis itu beginilah,” katanya.
Sebagian warga belum mau mengikuti langkahnya. “Bisa dibilang, saya sempat jadi bahan tertawaan. Saya merasa saya ini korban, padahal saya itu sadar karena begitu anjuran pemerintah,” katanya.
Menurut Iskandar, sudah banyak warga desa bergabung kelompok tani hutan konservasi (KTHK), tetapi masih banyak yang belum mau menebang sawit mereka.
“Mereka beralasan kalau memang nanti Pak Iskandar dibantu, kami pun ikut menebang. Beberapa warga desa melihat dulu apa yang terjadi pada saya. Saya lihat sekarang masih banyak masyarakat yang belum menebang sawitnya,” katanya.
Dia berharap, penebangan berlaku untuk semua yang terlanjur buka kebun sawit dalam kawasan hutan, tidak hanya dirinya.
“Saya rela menebang sawit supaya ke depan masyarakat yang lain ikut menebang. Saya rela sebagai contoh supaya diikuti oleh masyarakat, kalau bisa yang lain juga ikut untuk penghijauan kembali lahan taman nasional ini,” katanya.
Badarun, Ketua KTHK di Desa Rambung Teldak, Kecamatan Darul Hasanah, Aceh Tenggara, yang bersebelahan dengan lahan garapan Iskandar, juga mengalami nasib serupa.
Satu sisi mereka diajak memulihkan kawasan, sisi lain warga desa menghadapi keterbatasan dalam mengelola lahan agar tetap bisa menghasilkan nilai ekonomi.
“Macam sayalah, kalau hanya mengandalkan tanaman durian dan tanaman MPTS lain berbuah, masih butuh waktu lama. Kalau bisa sembari menunggu itu berbuah, kami bisa mengelola tanaman palawija, seperti cabai, semangka dan sayur-sayuran.”
“Sekarang kami terkendala permodalan hingga belum semua warga desa mampu menjalani,” katanya.
Badarun punya tanggungjawab memberdayakan masyarakat setelah dipercaya jadi Ketua KTHK Gunung Lestari dan memulihkan 127,8 hektar di dalam kawasan yang terlanjur dikelola masyarakat.
Sejak ada skema KTHK, katanya, sekarang dia dan warga desa merasa lebih aman mengelola di dalam kawasan.
“Sekarang tidak waswas lagi dengan pihak taman nasional. Kalau dulu memang tidak bisa mengelola di dalam kawasan.”
Saat ini, katanya, dengan ada perjanjian kerjasama antara pengelola taman nasional dengan masyarakat, warga bisa mengelola dengan syarat: wajib menghijaukan kembali kawasan.
Dampak positif dari skema kemitraan dengan masyarakat ini, katanya, dulu masih banyak pembalakan liar, sekarang drastis berkurang.
“Kalau dulu, pengusaha dari luar masuk ke sini dan illegal logging marak, sekarang sudah berkurang. Warga desa sepakat tidak memberikan toleransi bagi pelaku illegal logging dan perburuan. Tujuannya, bagaimana agar hutan tidak dirusak lagi, dan dihijaukan kembali,” katanya.
Pernah picu konflik
Pemulihan TNGL di Aceh Tenggara melalui upaya panjang dan sempat menemui represif pada 2015 ketika TNGL melakukan penertiban dengan menebangi tanaman di kawasan yang sudah dikelola masyarakat.
Upaya itu memicu konflik dengan petugas taman nasional dan aparat penegak hukum.
“Saat itu bahkan terjadi demo dan Kantor KTNGL sempat dirusak dan ada warga jadi tersangka,” kata Sabaruddin Pinim, Kepala Resor TNGL Wilayah Lawe Mamas.
Sejak itulah, melalui Perdirjen No. 6 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan upaya baru melalui KTHK, dengan melibatkan masyarakat menjadi pelaku restorasi.
Program ini, kata Sabaruddin, disambut baik. Masyarakat yang dulu mengelola di dalam kawasan bergabung menjadi anggota KTHK.
Dalam perjanjian kerjasama dengan masyarakat, katanya, warga yang dulu mengelola di dalam kawasan Leuser wajib menghutankan kembali lahan yang sudah terbuka dengan jenis tanaman banyak fungsi (multi purpose tree species/MPTS) seperti durian, petai, jengkol, langsat, pinang, dan tanaman keras lain, dilarang menanam sawit.
“Selain itu, masyarakat dilarang melakukan illegal logging, bahkan wajib menjaga hutan dari pembalakan liar dan perburuan satwa. Perjanjian itu ditandatangani langsung dalam surat bermaterai,” katanya.
Menurut dia, pendekatan melalui KTHK lebih mudah diterima masyarakat karena ada manfaat ekonomi, seperti pertanian palawija di sela-sela tanaman hutan yang mereka tanami kembali.
Sejauh ini belum semua dapat melakukan, karena terkendala pembiayaan dan pendampingan.
Minim dukungan
Yashut, inisiator pembentukan KTHK di Kecamatan Darul Hasanah, Aceh Tenggara, mengatakan, sejak KTHK terbentuk pada 2018 dengan melibatkan 760 warga di tiga desa, dukungan terhadap program ini terbilang minim.
“Bahkan untuk pengadaan bibit durian yang kita bagikan ke masyarakat masih swadaya. Kita libatkan masyarakat untuk membuat bibit sendiri,” katanya.
Padahal, upaya restorasi ini tentu memerlukan energi, baik dari segi penyadaran, pemberdayaan, dan pembiayaan.
“Ini memang bukan upaya mudah dan singkat.”
Keseriusan pemerintah, katanya, sangat diperlukan, terutama dalam penyediaan bibit dan pendampingan kepada masyarakat yang sudah terlanjur mengelola di dalam kawasan.
Dia khawatir, bila pemerintah pasif dalam program ini, masyarakat akan terus merambah ke dalam kawasan dan tetap melakukan penebangan liar maupun perburuan satwa.
Padahal, katanya, dalam skema KTHK, masyarakat yang sudah menandatangani perjanjian kerjasama wajib melakukan pemulihan kawasan dengan menanami tanaman hutan, menjaga hutan dari illegal logging dan perburuan satwa.
Sembari mereka melakukan upaya itu, juga butuh dukungan, setidaknya dapat bertani palawija untuk menopang ekonominya.
Setelah tiga tahun berjalan, kata Yashut, kini sudah ada donor yang tertarik mendukung program ini. “Saya berharap dukungan pemerintah maupun donor demi kelangsungan program ini. Karena upaya pemulihan ini tidak cukup hanya setahun dua tahun melihat luas kawasan yang sudah sempat rusak.”
Mengutip data TNGL, kata Yashut, luas taman nasional di Aceh Tenggara yang rusak mencapai 20.000 hektar. Luas lahan akan dipulihkan melalui skema KTHK baru 1.000 hektar.
“Saat ini, kita baru mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat untuk memulihkan 1.000 hektar, masih sangat kecil dan total kerusakan yang terjadi. Mudah-mudahan dapat disusul di kecamatan lain hingga upaya restorasi dalam kawasan ini makin cepat,” katanya.
Badarun, Iskandar dan warga desa anggota KTHK memang pernah mendapat bantuan bibit durian dan telah menanam di lahan kelola mereka. Namun, anggota KTHK, kata Iskandar, berharap ada bantuan penyediaan bibit dan pendampingan sembari menunggu durian yang mereka tanam berbuah.
“Waktu sawit masih ada, masih ada penghasilan setiap kali panen, biasa sekali dua minggu bisa panen satu ton, bisa dapat Rp3 juta. Sekarang, sudah tidak ada lagi setelah ditumbang semua.”
Setelah penghasilan dari sawit tak ada lagi, beberapa bulan terakhir Iskandar pergi ke Aceh Selatan bekerja di ladang orang. “Bersihkan kebun orang, cari ongkosan, kadang saya ribut dengan istri, tapi saya yang tahu dengan anjuran pemerintah, tapi beginilah jadinya…”
Meskipun begitu, Iskandar tak menyesal ikut anjuran pemerintah menumbangkan tanaman-tanaman sawit demi pemulihan kawasan.
“Namun pemerintah juga beri perhatikan. Kalau memang sudah terlanjur ditanam, jangan habis ditumbang dibiarkan begitu saja… hingga warga lain tidak mau menumbang sawitnya.”
*Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center – Southeast Asia Rainforest Journalism Fund. Tonggo Simangunsong adalah jurnalis lepas, bermukim di Medan