Mongabay.co.id

Hari Bumi 2022: Krisis Iklim dan Buruknya Tata Ruang, Ancaman bagi Laut dan Pesisir

 

Krisis iklim sudah semakin nyata yang ditandai dengan pemanasan global, kenaikan permukaan laut, anomali cuaca dan bencana alam yang semakin sering terjadi. Dampak krisis iklim akan semakin terasa terjadi di laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Mata pencaharian nelayan pun mulai terganggu.

“Pesisir dan pulau kecil adalah daerah yang paling rentan terdampak pemanasan global, ini sering dilupakan. Pesisir dan pulau-pulau kecil terdampak nyata, banyak riset sudah terjadi kenaikan permukaan air laut, 10-30 tahun ke depan. Lalu ada banyak kasus pemutihan karang, anomali iklim, abrasi dan lain-lain,” ungkap Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dalam diskusi peringatan Hari Bumi 2022 yang diselenggarakan oleh Jaring Nusa di Makassar, Jumat (22/4/2022).

Dampak lain yang dirasakan langsung oleh nelayan adalah musim penangkapan ikan mulai berubah yang berpengaruh pada kalander musim nelayan, sehingga tidak lagi bersifat tahunan namun harus diperbarui dalam 3-6 bulan.

“Banyak nelayan susah prediksi kapan bisa menangkap cumi-cumi, atau ikan-ikan pelagis. Kalau dulu masih ada alternatif wilayah penangkapan, sekarang tidak ada lagi. Belum lagi ancaman pulau tenggelam, dan hilangnya sumber ekonomi dan ketahanan pangan. Krisis nelayan ke depan akan semakin nyata, apalagi terdapat 3,8 juta orang bergantung hidup di laut,” jelas Nirwan.

Dalam konteks Sulsel, dampak krisis iklim juga sangat dirasakan karena wilayah laut dan pesisirnya yang juga sangat luas dan sangat dominan.

“Sulsel juga adalah produsen ikan dengan produksi 3,9 juta ton, dan merupakan provinsi dengan tingkat konsumsi ikan tertinggi di Indonesia. Kita sangat erat kaitannya dengan laut pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga seharusnya menjadi perhatian besar,” tambahnya.

Menurut Nirwan, selain karena faktor alam krisis iklim juga diperparah dengan berbagai kebijakan dan pembangunan di wilayah, seperti proyek reklamasi dan pembangunan pergudangan di wilayah-wilayah pesisir.

baca : Hari Bumi 2022: Kolaborasi Berbagai Pihak Mengurangi Sampah Plastik

 

Diskusi peringatan Hari Bumi 2022 yang diselenggarakan oleh Jaring Nusa di Makassar, Jumat (22/4/2022), membahas dampak perubahan iklim terhadap laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Inkonsistensi Kebijakan Tata Ruang

Menurut Slamet Riadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi Sulsel, masifnya industri nikel dan kebijakan tata ruang yang keliru memperparah dampak dari krisis iklim yang terjadi.

Ia mencontohkan apa yang terjadi wilayah Luwu Timur di mana aktivitas penambangan nikel yang masif tidak hanya berdampak pada rusaknya hutan tetapi juga mencemari sungai dan laut, sehingga mengganggu mata pencaharian utama masyarakat pesisir.

“Lebih parah lagi bahwa kondisi ini menghilangkan budaya masyarakat pesisir. Ketika saya ke sana terlihat bahwa yang namanya perkampungan nelayan tidak lagi terlihat sebagai perkampungan nelayan. Tak ada aktivitas melaut atau memperbaiki perahu di sore hari. Ini menunjukkan adanya persoalan yang penting menyangkut hilangnya identitas nelayan,” jelasnya.

Hal yang sama juga terjadi di wilayah Makassar dengan adanya reklamasi dan pembangunan di wilayah pesisir.

“Reklamasi dan aktivitas tambang pasir laut memorak-porandakan kehidupan masyarakat di Pulau Kodingareng, Makassar. Tidak hanya dampak sosial, tetapi juga ekosistemnya. Terjadi abrasi, terumbu karang rusak dan adanya perubahan arus laut.”

Menurut Slamet, akar masalah dari berbagai persoalan ini adalah adanya inkonsistensi kebijakan tata ruang, di mana ruang kelola atau wilayah tangkap digunakan sebagai wilayah tambang untuk reklamasi. Belum lagi alih fungsi kawasan di mana hutan pesisir dan laut semakin masif.

“Lalu ada juga faktor penegakan hukum yang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah yang paling parah terjadi pada izin lingkungan. Kami beberapa kali membaca Amdal yang isinya sangat tidak bermakna. Inilah persoalan-persoalan yang terjadi di Sulsel dalam beberapa tahun terakhir.”

baca juga : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Meski kondisi laut tak menentu dan penghasilan berkurang, sebagian nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, masih melaut dan berharap kehidupan bisa lebih baik di masa mendatang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Peran Generasi Muda

Menurut Nurul Habaib Al Mukarramah, aktivis dari Green Youth Movement, menghadapi krisis iklim tersebut peran generasi muda sangat penting dan secara positif minat generasi muda saat ini terhadap isu lingkungan sangat besar tidak seperti banyak anggapan selama ini.

“Argumen bahwa generasi muda tidak paham dengan krisis iklim itu tidak relevan lagi, apalagi jika melihat hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada 2021 lalu bahwa, di antara populasi Generasi Z usia 17-26 tahun, dan Generasi Milenial usia 27-35 tahun, isu krisis iklim menjadi concern utama bagi mereka.”

Menurutnya, dengan fenomena tersebut seharusnya menjadi peluang agar upaya edukasi terus dilakukan, termasuk mengajak mereka untuk terlibat dalam aksi-aksi nyata yang berkontribusi mengurangi dampak krisis iklim.

Nurul yang sempat mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Conference of the Parties (COP) 26, pada 31 Oktober – 12 November 2021 di Glasgow Skotlandia ini, menjelaskan bagaimana generasi muda di Glasgow sangat terlibat dalam mengampanyekan bahwa krisis iklim nyata dan suatu hal mendesak dan melakukan aksi.

“Mereka edukasi dan membangun keresahan bahwa krisis iklim ini harus jadi concern pemerintah. Poinnya, buatlah edukasi krisis iklim itu menjadi inklusif ke semua orang, sehingga terbangun keresahan bahwa krisis iklim ini adalah isu yang mendesak, dari sini akan muncul gerakan anak muda untuk mengatasi krisis iklim ini.”

Green Youth Movement sendiri selama ini tidak hanya aktif dalam edukasi dan advokasi, namun juga melakukan riset di pulau-pulau. Salah satunya dilakukan di Pulau Sarapo Lompo, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep).

“Dari hasil riset kami terlihat bahwa perhatian pemerintah sangat kurang, tata kelola sampah yang kurang bagus, dan pemerintah tidak memberi atensi khusus untuk sampah sehingga mereka buang sampah di laut. Pengeboman ikan juga masih sering terjadi, lalu periode memancing yang tidak seperti dulu, cuaca yang tidak bisa diprediksi sehingga mereka harus melaut jauh, ini tanpa kita sadari itu adalah dampak perubahan iklim.”

baca juga : Generasi Muda Harus Melek Isu Perubahan Iklim

 

Generasi muda yang terlibat dalam aksi perduli iklim ‘monster sampah’ di Makassar beberapa waktu lalu. Generasi muda yang paham dan perduli akan perubahan iklim dinilai akan lebih sukses dalam karier di masa yang akan datang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sikap dan Deklarasi Iklim Jaring Nusa

Pada kesempatan ini, YKL Indonesia yang juga bagian dari Jaring Nusa turut memberikan pernyataan sikap dan deklarasi terhadap kondisi pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, antara lain perlunya memastikan dan mendorong keterlibatan aktif masyarakat pesisir dan pulau kecil di kawasan timur Indonesia (KTI) dalam semua perencanaan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan pulau kecil agar hak, akses dan kontrol mereka terhadap sumberdaya pesisir dan pulau kecil tetap terjamin.

“Selain itu fakta-fakta kerentanan pesisir dan pulau kecil di KTI terhadap perubahan iklim, pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam membutuhkan penguatan bagi komunitas agar lebih tangguh untuk memitigasi dan mengadaptasinya,” ungkap Nirwan.

Hal lainnya, agar cara lokal dan tradisional yang selama ini dijalankan masyarakat pesisir dan pulau kecil dalam mengadaptasi perubahan lingkungan, sosial dan ekonomi penting untuk diinventarisir dan diperkuat kembali untuk meningkatkan ketahanan atau resiliensi-nya serta agar dapat menjadi bahan belajar masyarakat lainnya.

“Lalu, kebijakan dan strategi nasional yang menjamin keberlanjutan dan memperkuat resiliensi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, dampak pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam perlu segera didorong dan diperkuat,” tambahnya.

Selain itu, komunitas, organisasi rakyat, organisasi masyarakat sipil perlu untuk saling belajar, saling memperkuat dan berbuat bersama agar tercipta ketahanan dan resiliensi terhadap perubahan-perubahan yang terus mengancam pesisir dan pulau kecil kita.

“Terakhir bahwa jejaring untuk saling menguatkan ketahanan masyarakat pesisir dan pulau kecil sangat penting dibangun dan diperkuat,” ujar Nirwan.

 

Seorang nelayan sedang menebarkan jaring untuk menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Exit mobile version