Mongabay.co.id

Menjaga agar Hutan Pala Papua Tak Tercemar Pupuk Kimia

 

 

 

 

Sekitar 30 warga Kampung Kufuriyai, Manggera, Warmenu, dan Egerwara, sudah berkerumun di depan Balai Kampung Kufuriyai, Distrik Teluk Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, sore itu pertengahan Maret lalu. Dengan sigap Yuliance Zanggonau, meminta mereka segera masuk ke dalam balai.

Perempuan asli Papua itu terlihat sibuk. Sebagai Community Organizer Yayasan EcoNusa, dia bertanggung jawab berbagai kegiatan yang melibatkan warga. Kali ini, warga akan berlatih membuat pupuk organik dan perbanyakan tanaman pala dengan teknik sambung pucuk.

Warga dibagi jadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok bersama belajar membuat pupuk alami nitrogen, posphor, dan kalium. Pupuk ini dipilih selain jadi pupuk dasar tanaman, bahan-bahan pun bisa memanfaatkan yang ada di sekeliling tempat warga.

Antonius Arfa, pemuda Kampung Warmenu yang memberikan penjelasan mengenai manfaat pupuk NPK bagi tanaman. Dia menjelaskan kegunaan unsur nitrogen, posphor dan kalium bagi tanaman. Warga menyimak sambil duduk bersila di lantai.

“Nitrogen berguna untuk pertumbuhan tanaman. Daun jadi lebih hijau dan subur. Unsur Posphor membuat tanaman punya akar kuat. Posphor juga bisa membuat tanaman banyak bunga dan buah,” katanya.

“Sementara unsur Kalium berguna meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan penyakit.”

 

Baca juga: Mengenal Pala Papua

 

Demi tanah hutan

Kegiatan berlanjut ke rumah pupuk Kampung Kufuriyai. Lokasi tak jauh dari balai kampung. Anton menulis di lembar kertas yang disediakan di depan pintu masuk rumah pupuk. Rumah ini sengaja dibangun buat warga untuk memperkenalkan model pertanian berkelanjutan.

Menurut Anton, tidaklah sulit menemukan bahan untuk membuat pupuk alami. Bahan dasar pupuk berunsur nitrogen berasal dari tumbuhan kacang-kacangan, unsur posphor dari akar bambu dan pucuk bambu muda. Sedangkan, kalium dari sabut kelapa muda. Ketiganya dicampur air cucian beras, gula, ragi tape, terasi, bila perlu tambahkan bioaktivator.

Di dalam rumah pupuk, warga mempraktikkan pembuatan NPK alami. Beberapa warga mencacah tanaman kacang-kacangan menjadi serpihan kecil. Sebagian lain menumbuk rebung dan bonggol pisang. Setelah bahan-bahan itu menjadi halus lalu masukkan ke wadah berisi larutan air cucian beras, gula, dan air kelapa. Selanjutnya wadah tadi ditutup dan biarkan terjadi proses fermentasi.

“Setelah seminggu larutan bisa jadi pupuk. Caranya, semprot atau siram ke tanaman. Karena terbuat dari bahan alami pupuk cair ini baik bagi tanaman, manusia, maupun lingkungan.”

Di Rumah Pembibitan Kampung Kufuriyai, Alif Uru, pemuda asal Kampung Seraran membagi ilmu cara sambung pucuk tanaman pala. Caranya, pilih pucuk dahan atau ranting pohon pala yang sudah berbuah, lalu potong dengan sayatan membentuk huruf V. Selanjutnya, siapkan bibit pala yang sudah disayat batang bagian tengah. Keduanya lalu disambung dan diikat menggunakan tali plastik. Setelah itu tutup plastik untuk mencegah penguapan berlebih.

Yuliance Zanggonau dalam kesempatan berbeda kepada Mongabay mengatakan, antara lain kegiatan EcoNusa di empat kampung (Manggera, Kufuriyai, Warmenu, dan Egerwara) adalah meningkatkan pengembangan pala. Mulai dari cara budidaya sampai pemasaran.

“Di situ EcoNusa masuk dengan program membantu masyarakat membuat pupuk organik. Selama ini, masyarakat menanam pala masih dengan cara alami, masih cara menggunakan unsur hara yang tersedia di alam,” kata alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang yang kembali ke Papua untuk mengabdikan diri.

Lewat Sekolah Transformasi Sosial yang diikuti perwakilan 12 kampung–yaitu Kampung Manggera, Kufuriyai, Egerwara, Warmenu, Sisir II, Marsi, Mai-mai, Kooy, Yarona, Edor, Guriasa, dan Seraran–, para pemuda dilatih menerapkan teknologi pertanian organik. Ada juga pelatihan pemanfaatan teknologi pengering serbaguna energi surya.

“Juga mengembangkan teknik sambung pucuk. Selama ini, masyarakat gunakan bibit dari biji pala. Pertumbuhan dari biji butuh waktu lama, 7-10 tahun. Untuk mempersingkat EcoNusa mendorong dengan sambung pucuk.”

 

Baca juga:   Jaga Mutu Pala Kaimana lewat Sasi

Kebun pala warga di Kampung Egerwara. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Cara ini, katanya, dapat membantu proses pertumbuhan pala lebih cepat dibanding dari biji. Masyarakat, katanya, bisa melihat sendiri perbedaan mana lebih baik dan cepat memberikan buah.

Arya Ahsani Takwim, Program Associate Pengelolaan Sumber Daya Alam mengatakan, EcoNusa mendorong, pala di Papua dengan produk organik. Banyak keuntungan kalau tanam pala organik, antara lain harga lebih baik di pasar internasional.

Selama ini, katanya, para petani pala mengeluhkan serangan jamur, dan hama penggerek batang. Tanaman pala juga alami rontok daun saat masih kuning atau belum tua.

“Berbasis hasil asesmen itu kami pelatihan kepada kader. Ada 24 kader kami latih dari 12 kampung intervensi EcoNusa pada 2021. Kader-kader ini nanti kembali ke kampung melatih masyarakat,” katanya.

Dia berharap, warga tak lagi beli pupuk, beli racun dari kota yang berbahan baku kimia. “Misinya ke depan pala organik. Kami latih mereka membuat pupuk dan pestisida dari bahan-bahan lokal, alami yang ada di sekitar.”

Saat ini, katanya, pemerintah dorong pengadaan pupuk subsidi. Dia khawatir kalau pupuk masuk kampung akan mengancam lingkungan. Padahal, masyarakat Papua sebelumnya tak mengenal pupuk kimia yang mengandung racun.

Sementara pelatihan teknik sambung pucuk pala agar masyarakat memperoleh bibit tanaman unggul yang cepat produksi. Kelemahan bantuan bibit pala selama ini adalah bibit kebanyakan pala jantan hingga tak berbuah.

“Kami bilang jangan lagi ada pengadaan bibit pala dari kota.”

Kalau bibit dari jauh, ada beberapa risiko, pertama, jauh. Di jalan bibit pala rentan mengalami gangguan. Misal, kena air laut hingga bibit sudah mati sebelum diserahkan. Kedua, biarkan petani yang mengusahakan bibit hingga memperoleh keuntungan ganda dari program bantuan bibit.

 

***

Di Kampung Warmenu, 17 Maret lalu, Esron Furima mengajak istri dan anaknya saat memperlihatkan cara memetik pala. Dia memanjat pohon pala sambil membawa galah bambu gunanya untuk menjangkau biji tua di ujung dahan.

Pohon pala di hutan setinggi 10-15 meter. Istrinya menunggu di bawah pohon sambil memunguti biji pala yang dipetik Esron.

Dia panen pala sendiri. Satu tempat selesai seminggu. Kalau satu dusun (kebun) bisa sampai satu bulan dan tergantung cuaca. Kalau hujan, pemetikan ditunda. Dia biasa menyelesaikan tahap pemetikan ini dari pukul 7.00-15.00.

Biji pala dikumpulkan dan dibelah. Fuli berwarna merah dipisah. Daging buah dtinggal di kebun. Sebenarnya, daging buah pala bisa jadi manisan dan sirup dan lain-lain.

Buah pala yang belum tua benar berwarna kuning dengan sedikit bintik hitam, yang sudah tua warna mulai kecoklatan dengan pola bintik lebih kentara.

 

Warga belajar teknik sambung pucuk pala. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kadang buah pala terbelah sendiri hingga biji pala dengan fuli berwarna merah terlihat. Untuk memastikan pala siap petik, petani antara lain memperhatikan buah pala jatuh dan terbelah.

Esron bilang, proses pengeringan biji pala dengan menjemur di matahari memakan waktu satu sampai dua minggu. Alternatif lain, dengan teknik pengeringan tradisional Papua yang disebut asar. Selain biji pala, masyarakat juga mengasar kopra, bahkan daging hewan buruan. Caranya, letakkan biji pala di bilah papan atau bambu yang dipanaskan di atas kayu bakar atau bara api.

Dalam kajian EcoNusa di Kampung Egerwara yang berpenduduk 30 keluarga ini potensi pala mencapai 42,51 ton per tahun dengan kerapatan tanaman 179 pohon per hektar. Dari pengelolaan dan pemanfaatan pala selama ini, pekebun di Egerwara memperoleh pendapatan rata-rata Rp67,8 juta per tahun.

Seperti Esron, sekali panen pada musim terbaik bisa mendapatkan 3-4 karung (karung bekas gula kapasitas 50 kg). Tahun lalu, biji pala kering Rp40.000 per kilogram, fuli kering Rp200.000 per kilogram. Dia bisa mendapatkan Rp2 juta-Rp4 juta per karung.

 

Dampak perubahan iklim?

Persoalan petani pala di Arguni Bawah adalah waktu panen tak menentu. Kini, pala tak buah serempak. Akibatnya, dalam satu pohon ada pala sudah tua dan sebagian masih muda.

James Furima, mantan Kepala Kampung Egerwara mengatakan, dulu bisa perkirakan panen pala, kini sulit. Dulu, tiap kali panen hasil bagus karena bisa mendapatkan buah pala tua.

Dia merasakan perubahan panen itu sekitar empat tahun terakhir. Panen besar pala biasa terjadi pada April, saat musim angin barat dan September saat angin timur. Jumlah panen pada September, banyak dibanding bulan April.

“Sudah empat tahun panen buah tak karuan. Ada sudah tua, ada masih muda. Kami hanya menjaga supaya buah tidak jatuh banyak.”

Meski pala jatuh kebanyakan sudah tua, namun kualitas rendah karena kerap berlubang dimakan serangga. Buah pala jatuh kebanyakan dibiarkan dan jadi santapan burung kasuari.

“Perubahan iklim memukul petani pala Kaimana. Panen jadi tidak tepat waktu. Kalau tepat waktu secara kuantitas panen pasti banyak. Sekarang, panen mereka sedikit-sedikit dan dijual di kota. Akhirnya, lebih banyak biaya transportasi dibandingkan yang mereka dapat ketika pulang,” kata Arya.

Selain harga rendah karena petani mencampur biji pala muda dengan yang tua, kandungan jamur aflatoksin juga tinggi. Hal ini karena proses pengeringan belum memperhatikan metode untuk menghasilkan pala kualitas terbaik.

Arya berpendapat teknik asar justru mengurangi kualitas pala karena bisa mengubah tekstur biji, dan asap yang keluar mempengaruhi aroma.

“Yang benar setelah biji pala dipisahkan kemudian jemur di panas matahari. Kami memperkenalkan rumah pengering, namanya Solar Dome Multiporpuse. Bentuknya seperti kubah untuk menampung panas sinar matahari, sampai 80 derajat celcius.

 

Ilustrasi. Buah pala yang telah dipanen. Foto: INOBU

 

********

Exit mobile version