Mongabay.co.id

Merangkai Khazanah Gambut Secara Kolektif di Kalimantan Barat

 

 

Betanam di tanah sepok ni perlu banyak kapur. Tanah ni masam,” ujar Abdul Rahim [45], petani dari Desa Rasau Jaya, dengan dialek melayu.

Besar harapannya bisa bercocok tanam di lahan yang mayoritas gambut. Dia bersyukur gambut di lahannya tak terlalu dalam.

Istilah tanah sepok dari Bahasa Melayu, artinya tanah empuk. Pengetahuannya tentang pengolahan gambut didapat dari turun temurun. Dia generasi kedua yang tinggal di desa transmigran di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Hartoyo [51], petani sayur di Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang, baru bercocok tanam di kawasan itu lima tahun terakhir. Tadinya di lahan mineral.

“Pertama kali saya lihat, sebagian lahan ini merupakan rawa gambut pasang surut. Saya coba tanam padi, padahal tidak gali terlalu dalam, tak berhasil,” ujarnya.

Lahan itu merupakan kongsi dengan warga setempat. Pak Har, demikian disapa, mengelolanya  untuk tanaman pinang dan jambu kristal.

“Harganya juga bagus, panen lebih cepat,” katanya. Dia bahkan mempunyai kolam indikator untuk mengecek pH tanah, diisi ikan lele.

Jika lele terlihat lemas, artinya keasaman tanah naik, saatnya ditambah pupuk atau perlakuan untuk menurunkan keasaman. Pengetahuannya didapat dari mempelajari reaksi tanaman dan tumbuhan di gambut.

Baca: Ada Wiki Gambut Sumatera Selatan, Apa Tujuannya?

 

Lahan gambut yang harus arif dikelola. Foto: Dok. WikiGambut

 

Dalam Buku Kajian “Kelola Rakyat atas Ekosistem Rawa Gambut: Pelajaran Ragam Potret dan Argumen Tanding” terbitan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI] 2016, tergambar beberapa cara spesifik petani adat dalam mengelola gambut.

Walhi merekam, kegiatan berladang petani adat di gambut Kalimantan Barat untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi keluarga. Dalam bahasa komunitas setempat, disebut Bauma Tahutn. Kegiatan ini adalah cara bertani dengan sistem bera. Petani membiarkan atau meninggalkan lahan yang mereka gunakan untuk bercocok tanam selama beberapa tahun.

Fungsinya untuk mengembalikan unsur hara tanah, sehingga dapat menutrisi tanaman yang ada  saat lahan tersebut digunakan kembali. Konsepnya mengacu pertanian gilir balik. Lahan bekas ladang tidak langsung ditinggalkan, ditanami aneka jenis sayur dan tanaman keras seperti karet.

Hendrikus Adam, periset dalam buku kajian tersebut dari Walhi Kalbar, mengambil contoh di Desa Sungai Enau dan Desa Teluk Bakung, Kabupaten Kubu Raya.

“Sebenarnya, masyarakat adat menghindari perladangan dengan membuka gambut. Umumnya, berladang dilakukan di tanah mineral, itu pun skala kecil,” jelasnya.

Dua lokasi gambut tipis yang dipilih untuk cocok tanam, yaitu dataran rendah berair, biasanya untuk menanam padi. Dalam bahasa setempat, dikenal sebutan payak. Sedangkan hamparan lahan datar berair di perbukitan atau daerah pasang surut dikenal sebagai bancah.

“Proses berladang masyarakat di dua desa tersebut merupakan upaya mewariskan budaya kepada generasi selanjutnya,” jelasnya.

Metode berladang melibatkan komunitas, gotong-royong menggunakan pengetahuan tradisional, kebersamaan, dan langkah antisipatif kemungkinan buruk kebakaran lahan dengan kearifan lokal.

“Ada tetua adat yang memimpin prosesi setiap tahapan, dikenal Tuha Tahunt,” katanya.

Adam mengatakan, masyarakat lokal mempunyai cara khusus berladang yang mengutamakan prinsip-prinsip keberlanjutan. Terutama Suku Dayak, tradisi yang diwariskan turun temurun secara lisan.

“Sangat penting memperbanyak riset pertanian tradisional guna menjaga tradisi tersebut,” tambahnya.

Baca juga: Insentif Imbal Jasa Lingkungan bagi Para Perawat Hutan di Kalbar

 

Kondisi lahan gambut di Desa Pelang, Kalimantan Barat, setelah terbakar hebat pada 2019. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

WikiGambut

Keinginan Adam, mewakili periset sekaligus pendamping masyarakat, sepertinya menjadi pemikiran banyak pihak. World Agroforestry [ICRAF] Indonesia mengagas mengumpulkan pengetahuan mengenai gambut di Indonesia.

Pada 2018 lalu, ICRAF bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah membangun wiki mengenai gambut. Sebagaimana sebuah wiki, koleksi dokumen hiperteks yang menghimpun konten tertentu, memperbolehkan pengguna menambah atau menyunting konten tersebut secara kolaboratif berbasis website.

Tahun ini, ICRAF bersama Pemerintah Kalimantan Barat membuat hal yang sama. Dalam acara #BincangGambut: WikiGambut sebagai Sistem Manajemen Pengetahuan, pada Maret 2022, para pihak bertemu untuk memperkenalkan konsep dan pendekatan WikiGambut.

WikiGambut memuat berbagai informasi seputar gambut, mulai sejarah, budaya, biodiversitas hingga pengelolaannya, yang dihimpun dalam https://pahlawangambut.id/berbagi/.

WikiGambut berupaya mengumpulkan, mengkompilasi, dan mensintesa pengetahuan serta informasi yang ada dalam satu sistem pengelolaan pengetahuan [Knowledge Management System].

Forum komunikasi #BincangGambut menjadi awal pembentukan Komunitas WikiGambut Kalimantan Barat [WikiGambut Kalbar]. Komunitas ini terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat, pemangku kepentingan, peneliti maupun penulis dalam upaya menciptakan lingkungan kritis tentang gambut. Pengembangan WikiGambut didukung program Peat IMPACTS melalui #PahlawanGambut.

Sebelumnya, ICRAF menghimpun beragam riset mengenai gambut, dilakukan dalam program Peneliti Muda Gambut [PMG]. Pada 2021 lalu, sebanyak 55 peneliti muda melakukan riset di Kabupaten Kubu Raya.

Nurhayatun Nafsiyah, salah satu peneliti, mengatakan, hampir dua bulan melakukan riset banyak hal baru yang dia dapatkan.

Berdasarkan observasi Nafsiyah dan tim, Desa Muara Baru, Betuah, dan Tanjung Beringin, telah mengelola lahan gambut dengan baik. Terutama, untuk budidaya karet, sawit, jahe, dan nanas. Pembukaan lahan di desa-desa tersebut dilakukan secara tradisional.

Dalam penelitian tersebut, mereka mendapati para petani belum terhubung dengan pasar lebih luas. Rekomendasinya adalah peningkatan kesejahteraan petani di lahan gambut harus dilakukan.

“Pengetahuan ini masuk Wikigambut dan bisa diakses masyarakat luas,” jelas Koordinator ICRAF Wilayah Kalbar, Happy Indrawan.

 

Lahan gambut harus benar dan bijak pengelolaannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Program #pahlawangambut merupakan upaya menemukan pahlawan-pahlawan gambut tingkat desa yang selama ini berjuang mengelola gambut secara ekonomi maupun ekosistem.

“Masyarakat desa memiliki pengetahuan lokal untuk mencegah kebakaran lahan dan lain-lain,” terangnya.

Kabupaten Kubu Raya dipilih sebagai lokasi penelitian karena sebagian wilayahnya merupakan gambut. Luas gambutnya 342.984 ha atau sekitar 60% dari total wilayah.

Rinciannya, gambut dangkal [171.376 ha], gambut sedang [38.984 ha], gambut dalam [49.621], dan gambut sangat dalam [83.013 ha]. Selain itu, Kubu Raya juga menjadi area kedua yang sering terjadi kebakaran lahan.

 

Exit mobile version