Mongabay.co.id

Konservasi Gajah Sumatera dan Keterlibatan Masyarakat Sekitar

 

 

“Tindakan konservasi yang efektif harus dimulai, jika tidak hewan luar biasa ini akan punah dalam waktu dekat di kehidupan kita.” Dr. Carlos Drews, Director Program Spesies Global WWF

Tahun 2011, International Union for Conservation of Nature [IUCN] memasukkan gajah sumatera dalam kategori Kritis atau Critically Endangered [CR]. Menurut WWF Indonesia, populasi gajah sumatera telah turun sekitar 35 persen dalam dua dekade terakhir, dari sekitar 2.652 individu menjadi 1.724 individu.

Ada dua penyebab utama yang mendorong gajah sumatera menuju ambang kepunahan. Pertama, hilangnya habitat akibat hutan dikonversi menjadi permukiman manusia, area pertanian, dan perkebunan, yang sering menyebabkan populasinya terfragmentasi sehingga menyebabkan terjadi konflik dengan manuasia, berujung kematian. Kedua, gajah sumatera masih menjadi target perburuan, gadingnya.

Tindakan efektif apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan mamalia besar ini?

 

Tim Elephant Rescue Unit [ERU] di Taman Nasional Way Kambas. Foto: Roderick T.J. Buiskool

 

Gajah sumatera hidup di hutan dataran rendah dan perbukitan di bawah ketinggian 300 m. Namun, Pulau Sumatera telah kehilangan hampir 70 persen dari hutan dataran rendahnya, karena merupakan daerah ideal untuk pertanian dan perkebunan.

Salah satu prasyarat untuk memastikan konservasi gajah sumatera berjalan baik adalah habitat dengan sumber daya yang cukup untuk menampung populasi gajah. Juga, jaminan areal tersebut dilindungi guna memastikan keberlanjutan konservasi.

Selain itu, keterlibatan masyarakat lokal sangatlah penting. Meski ada kawasan lindung, namun kenyataannya, selama ada gajah sumatera di sekitar permukiman manusia, maka potensi konflik manusia dengan gajah atau Human-Elephant Conflict [HEC] tetap ada.

Terutama, potensi perusakan lahan perkebunan. Meskipun dengan habitat yang layak, gajah sumatera masih akan keluar dari kawasan lindung untuk mencari makan, karena tanaman seperti singkong dan jagung yang ditanam di sepanjang tepi hutan merupakan sumber makanan yang mudah, dengan nilai gizi tinggi.

 

Lahan pertanian masyarakat yang berada di sekitar TN Way Kambas. Foto: Roderick T.J. Buiskool

 

Implementasi mitigasi di sekitar Way Kambas

Satu hotspot HEC berada di sekitar Taman Nasional Way Kambas [TNWK], Provinsi Lampung. Luasnya 1.300 kilometer persegi meliputi hutan dataran rendah dan hutan rawa air tawar [non-gambut].

Taman nasional ini memiliki 50 spesies mamalia yang sebagian besar terancam punah, termasuk badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], tapir [Tapirus indicus] dan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].

TNWK telah lama dianggap sebagai kawasan prioritas tinggi untuk konservasi gajah, dan berdasarkan survei tahun 2005, populasinya diperkirakan berjumlah 180 individu.

Masyarakat lokal yang tinggal dekat habitat gajah cenderung menanggung beban HEC, seperti yang sering terjadi di perbatasan taman nasional dengan lahan pertanian. Konflik tersebut dapat menyebabkan hilangnya hasil panen, kerusakan rumah, dan properti lainnya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tahun 1999, HEC di Way Kambas terjadi sepanjang tahun, yang mengakibatkan petani di desa-desa yang berbatasan dengan taman nasional mendapat tekanan. Tentunya, berdampak pada kehidupan dan mata pencaharian mereka.

Tantangan untuk petani yang ditimbulkan HEC berimplikasi pada upaya konservasi, karena HEC sering memicu respon dari masyarakat, yang berpotensi mengakibatkan terbunuhnya gajah sumatera.

 

Para ranger yang tetap berpatroli, meski malam sekalipun di sekitar TN Way Kambas. Foto: Roderick T.J. Buiskool.

 

Dalam 10 tahun terakhir, sebanyak 22 ekor gajah mati di kawasan [TNWK], diduga akibat perburuan liar karena bangkainya ditemukan tanpa gading dan gigi [Kompas, 2021].

Saat ini, beberapa tindakan mitigasi HEC di sekitar TNWK fokus pada pemisahan fisik, atau mengurangi masalah dengan menjinakkan gajah, memindahkan gajah yang cenderung menyebabkan masalah, atau memberi kompensasi kepada petani.

Namun, untuk memastikan konservasi berjalan jangka Panjang sekaligus mengurangi dampak negatifnya, masyarakat lokal di sekitar TNWK harus dilibatkan dan juga didukung sebagai aktor konservasi untuk memitigasi HEC.

Setiap strategi mitigasi yang diterapkan, memerlukan keterlibatan masyarakat lokal, tentunya dengan dukungan pemerintah, khususnya melalui [BKSDA], polisi kehutanan, dan lembaga swadaya masyarakat [LSM] konservasi.

 

Kondisi hutan primer Sumatera yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sumber: Margono et al., [2012]

 

Dukungan berkelanjutan

Seringkali pertanyaan berkaitan strategi mitigasi HEC berfokus pada jenis instrumen, misalnya pagar listrik, parit, dan penjagaan tanaman. Langkah-langkah ini adalah ‘alat’ mitigasi HEC, yang dapat disediakan oleh pemerintah bersama LSM konservasi.

Untuk memastikan instrumen ini berhasil, perlu dipastikan dapat diimplementasikan dan dirawat jangka panjang. Penting bagi lembaga pemerintah pelaksana atau LSM, untuk terus memberikan dukungan kepada masyarakat setempat dengan bantuan teknis dan keuangan berkelanjutan serta pengawasan untuk pelaksanaannya.

Pada akhirnya, pilihan strategi mitigasi dan instrumen yang tepat harus sesuai dengan konteks lokal, seperti pertimbangan geografi, sumber daya, aksesibilitas, ukuran wilayah, budaya dan pengetahuan masyarakat lokal.

 

Patroli pengamanan di TN Way Kambas dilakukan untuk mengurangi kegiatan ilegal yang berdampak buruk pada kehidupan gajah sumatera. Foto: Roderick T.J. Buiskool.

 

Langkah maju

Selain penyediaan habitat yang layak, keterlibatan masyarakat lokal dalam hal konservasi gajah sumatera sangat penting guna menentukan keberhasilan strategi mitigasi HEC.

Hal yang perlu dibenahi adalah kesadaran masyarakat lokal bahwa mereka berperan penting dalam mempertahankan strategi mitigasi HEC berkelanjutan.

Tetapi untuk melaksanakannya, perlu jaminan bahwa petani lokal dan masyarakat yang tinggal di kawasan taman nasional mendapat dukungan dan bimbingan berkelanjutan dari lembaga pemerintah dan LSM konservasi.

Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat dan konservasi gajah sumatera dapat dicapai.

 

* Roderick T.J. Buiskoolmeraih gelar Master of Arts dalam kajian Globalisasi dan Pembangunan Internasional di Maastricht University, Belanda. Memiliki pengalaman kerja dengan berbagai organisasi internasional termasuk UNFPA dan UNDP, serta LSM konservasi di Indonesia. Topik kajian minat berupa hubungan politik, ekonomi, dan sosial yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan konservasi alam. Tulisan ini opini penulis.

 

Referensi:

 

Exit mobile version