Mongabay.co.id

Nelayan Minta Presiden Cabut Izin Tambang Pasir di Laut Rupat

 

 

 

 

 

Penolakan nelayan Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, terhadap penambangan pasir laut berlanjut. Mereka menyurati Presiden Joko Widodo agar memerintahan Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Logomas Utama. Surat serupa juga dilayangkan ke kementerian terkait.

Ada tujuh alasan nelayan dalam surat bertulis tangan itu, antara lain, mata pencarian terganggu, penghasilan menurun, dan wilayah tambang merupakan tempat nelayan cari nafkah serta Pulau Babi dan Beting Aceh abrasi. Beting Kuali juga sudah tenggelam, nelayan kesulitan dapat kepiting, bawal dan udang bahkan merusak terumbu karang.

Surat ditandatangani lima ketua kelompok nelayan dan ratusan anggota. Mereka ini dari Kelompok Kerapu, Ranjungan, Cumi-cumi, Simpur Jaya dan Andesta Camar Laut dari Desa Suka Damai dan Titi Akar. Mereka terdampak langsung aktivitas penyedotan pasir laut itu.

“Harapan kami, presiden dan menteri secepatnya izin Logomas dicabut. Agar nelayan merasa tenang mencari ikan, udang dan lainnya,” kata Eriyanto, Ketua Kelompok Nelayan Kerapu, Suka Damai.

Sebelum ada Logomas, hasil tangkap nelayan memuaskan, cukup untuk makan sehari-hari dan kebutuhan keluarga lain. Berbeda ketika perusahaan menyedot pasir sejak September tahun lalu, penghasilan nelayan turun drastis. Perbandingannya, tiap hari biasa dapat 10-20 kg, berkurang jadi 1-2 kg. Bahkan pernah tak dapat sama sekali.

Kondisi itu diamini Akhun, anggota Kelompok Nelayan Andesta Camar Laut, Titi Akar. “Bukan asal nuduh. Setahu saya, sebelum ada penambangan pasir, hasil melaut cukup biaya rumah tangga. Sejak ada tambang sangat berkurang,” katanya dalam konferensi pers yang ditaja Walhi Riau, 18 April lalu.

Akhun cerita, ketika penyedotan pasir laut sempat berjalan, ada nelayan tak dapat kepiting sama sekali, setelah tiga malam melaut. Kondisi ini, katanya, sangat mengganggu kehidupan nelayan.

Keadaan pelan-pelan berubah, setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel kapal Logomas meski belum pulih total.

 

Baca juga: Nelayan Tak Mau Ada Tambang Pasir di Perairan Rupat

Nelayan Rupat bersiap melaut, Mereka meminta, tak ada operasi tambang pasir di laut Rupat,. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Seperti Eriyanto, Akhun meminta, izin Logomas segera dicabut karena di sana tempat dia cari nafkah dan satu-satunya sumber pencarian. “Keluarga sempat terancam. Jangankan kasih makan istri dan anak, utang minyak dan kapal sama tauke bisa tak terbayar kalau melaut hasilnya kosong. Perhatikan. Bantu kami nelayan kecil ini.”

Parid Ridwanuddin, Manager Kampanye Pesisir dan Laut, Walhi Nasional, mendukung penuh nelayan Rupat. Menurut dia, penting mendesak penghentian seluruh izin penambangan pasir di perairan Rupat secara permanen demi keadilan antar generasi.

“Seluruh pulau kecil harus dilindungi dari industri ekstraktif. Kalau tidak, kita akan kehilangan banyak pulau sebagai indentitas dan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan,” katanya.

 

***

Presiden Joko Widodo, awal tahun ini, mengumumkan pencabutan 2.078 izin perusahaan pertambangan mineral dan batubara.

Pemerintah hendak memperbaiki tata kelola sumber daya alam guna pemerataan, transparan dan untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan maupun kerusakan alam.

“Seharusnya izin Logomas bisa dicabut,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau.

Logomas pertamakali dapat izin kuasa pertambangan pada 1999, tetapi tak pernah beroperasi. Ketika kewenangan pertambangan ke daerah, perusahaan milik Alogo Sianipar ini mengurus penyesuaian izin pada 2015. Perusahaan ini baru benar-benar menyedot pasir laut di perairan Rupat, September 2021.

Masalahnya, penyesuaian izin saat itu tak memperhatikan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Logomas yang sudah tak berlaku, terhitung 2002. Ditambah lagi, perusahaan ini tak pernah beraktivitas selama 18 tahun, setelah izin KP berubah jadi IUP.

Boy menilai, pemerintah daerah tak partisipatif karena tidak akomodir kepentingan dan suara masyarakat, ketika menerbitkan penyesuaian izin Logomas.

Azlaini Agus, Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) menduga, Logomas lama tak beroperasi karena dampak kebijakan moratorium, seperti yang pernah dikeluarkan Gubernur Riau Saleh Djasit (1998-2003).

“Saya pikir keputusan gubernur itu belum dicabut sampai sekarang.”

Ditinjau dari aspek yuridis, penyesuaian IUP operasi produksi Logomas 2017, bertentangan dengan UU 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil soal setiap orang dilarang menambang pasir. Bahkan, kata Parid, pelaku dapat dipidana.

Alasan lain izin Logomas layak dicabut, kata Azlaini, karena melanggar UU Pertahanan. Rupat merupakan pulau kecil terluar. Perairannya merupakan titik batas wilayah Indonesia-Malaysia. Penambangan pasir mengancam sejumlah beting di sekitar. Bila penambangan lanjut, seluruh gundukan pasir bakal rontok.

Saat ini, sederetan beting depan Pulau Rupat perlahan mulai rusak, seperti Beting Aceh, Belakang Parang dan Beting Kuali. Pasang Tinggi sudah tenggelam, baru kelihatan ketika surut. Kondisi ini juga yang mendorong KKP investigasi.

“Secara geopolitik, batas Malaysia maju sedangkan Indonesia mundur. Pantai Rupat pun akan rontok. Itu sebabnya Menkopolhukam juga mengutus tim saat penyegelan kapal Logomas,” ucap Azlaini, mantan Wakil Ketua Ombudsman RI.

Ihwal hasil investigasi tim yang diutus KKP di areal penambangan Logomas, Humas Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, KKP, Kholis, 19 April lalu, mengatakan, surat permintaan konfirmasi yang diajukan Mongabay perlu dijawab lintas eselon I KKP dan mesti berkoordinasi terlebih dahulu.

Azlaini juga menyoal izin Logomas dari aspek sosiologis. Keberadaan perusahaan itu ditolak masyarakat karena sama sekali tak berkeadilan bagi nelayan, terutama dari sisi ekonomi, sosial maupun budaya.

Dia khawatir, kalau penambangan tak setop, lambat laun nelayan berhenti melaut dan beralih jadi kuli.

Peralihan profesi itu, berangsur-angsur mendorong nelayan yang mayoritas Suku Akit ini, akan meninggalkan kampung halaman. Bisa jadi, suatu hari kelak, orang Akit sulit ditemukan di Rupat Utara yang mestinya dilindungi.

“Mereka akan kehilangan harkat dan martabat sebagai nelayan merdeka dan menjadi kuli dibawah kendali majikan. Jadi, kuat sekali dasar presiden mencabut izin Logomas,” kata Azlaini.

 

Baca juga: Pulau Rupat Terancam, Terbebani Izin Ekstraktif di Darat dan Laut

Hasil tangkapan nelayan mulai membaik setelah KKP menyetop pertambangan pasir di perairan Rupat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Daya rusak, ancaman krisis iklim

Parid memaparkan, bisnis keruk di wilayah pesisir, pulau kecil termasuk laut Indonesia sangat banyak. Walhi catat, sampai November 2021, ada 1.405 IUP di pesisir dengan total luas hampir 3 juta hektar. Ditambah 324 IUP di laut atau perairan total 687.000 hektar lebih.

Tambang itu berdampak pada 35.000 lebih nelayan Indonesia. Dalam jangka panjang, pemberian IUP justru mendorong penurunan jumlah nelayan sangat signifikan.

Catatan Walhi, ada 330.000 nelayan hilang dalam periode 2011-2021. Pada 2010 masih terdata 2,16 juta nelayan. Pada 2019, tersisa 1,83 juta orang.

Penurunan siginifikan terjadi pada rentang 2018-2019. “Ini semacam akumulasi kerusakan atau krisis di wilayah pesisir dan pulau kecil, yang terdampak dengan kehidupan nelayan,” jelas Parid.

Riset Walhi dan Greenpeace 2020, menemukan sejumlah dampak tambang pasir laut bagi nelayan Indonesia. Antara lain, penurun pendapatan ekonomi dan perubahan arus laut.

Parid ambil contoh kasus tambang pasir laut Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan. Banyak perahu nelayan tenggelam, masyarakat takut terjadi abrasi dan terumbu karang rusak.

“Walau hasil investigasi Pulau Rupat belum keluar, sudah banyak pengalaman dari tempat lain. Tidak ada dampak positif apapun dari tambang pasir laut, bagi kehidupan nelayan dan keseimbangan ekologi perairan di sekitar pulau kecil.”

Tambang pasir laut juga berdampak terhadap perempuan nelayan. Mereka punya posisi dan kontribusi penting sebelum maupun setelah produksi perikanan. Di tempat lain, karena ada tambang pasir laut, suami mereka kehilangan penghasilan, di rumah tangga terjadi hubungan tidak harmonis dan berujung perceraian.

Perempuan Kodingareng harus gadaikan emas. Di Pulau Wamonii—penambangan nikel—beban kerja perempuan meningkat menjadi 17 jam dalam sehari supaya keluarga tak kolaps. Banyak juga nelayan alih profesi dan terpaksa meninggalkan keluarga. Anak-anak mereka sampai putus sekolah karena tangkapan laut terus berkurang.

“Perempuan juga berhenti berjualan karena tidak punya modal. Dampak ekonomi sangat terasa sekali karena kerusakan ekosistem di perairan pulau kecil,” kata Parid.

Pulau-pulau kecil punya kerentanan dari krisis iklim karena air laut makin naik. Merujuk Keputusan Presiden 6/2017, Pulau Rupat masuk kategori pulau kecil terluar yang punya kerentanan sangat tinggi.

Parid juga memaparkan riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, 2016. Ada 83 pulau terutama pulau kecil terluar termasuk Rupat, akan tenggelam karena rentan akibat krisis ikllim. Ada 55 pulau kecil terluar akan terdampak gempa bumi. Sementara itu, 254 desa pesisir di Riau juga turut terancam tenggelam.

“Artinya, penambangan pasir laut di Rupat akan memperparah atau mempercepat kerentanan ini. Pulau kecil harus diselamatkan dari industri ekstraktif.”

 

Nelayan Rupat tak mau ada tambang pasir di perairan tempat mereka tangkap ikan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

**********

Exit mobile version