Mongabay.co.id

Kapal Riset EcoXplorer Milik EcoNusa akan Segera Berlabuh di Papua

 

Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) sebagai NGO yang fokus pada isu lingkungan di Indonesia Timur, khususnya wilayah Papua dan Maluku meluncurkan kapal riset bernama EcoXplorer. Kapal kayu model pinisi, kapal khas Sulsel, ini rencana akan segera berlabuh menuju Papua dalam beberapa minggu mendatang.

Kapal EcoXplorer berwarna biru terang menjadi kapal yang menonjol diantara puluhan perahu kayu yang berjejer rapi di dermaga Bira yang berada di Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulsel, Senin (18/4/2022).

Menggunakan sebuah sampan kecil kami menuju kapal yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari dermaga. Sejumlah tukang terlihat sibuk merapikan aksesori kapal, ada pula yang sedang mengukir bagian depan kapal sehingga terlihat lebih artistik.

Di bagian atas kapal kondisi belum begitu rapi. Bau kayu tercium menyeruak memenuhi udara. Bahan-bahan dan alat pertukangan masih berserakan di mana-mana, beberapa kamar masih dalam tahap pembenahan, bahkan toilet pun belum bisa berfungsi. Beberapa kamar sudah bisa difungsikan untuk rebahan dengan pendingin menggunakan air conditioning (AC).

“Kita mau uji coba kapal hari ini,” ujar Bustar Maitar, pemilik kapal. Ia adalah Direktur Eksekutif EcoNusa, yang karena kepentingan pembangunan kapal ini harus bolak-balik Jakarta-Bulukumba dalam setahun terakhir. Ia bahkan punya vila sendiri di sekitar tempat pembuatan kapal, yang letaknya berhadapan dengan laut.

baca : Bentuk Kewang Muda, Misi EcoNusa Bentengi Hutan dan Laut Maluku

 

Kapal riset EcoXplorer milik EcoNusa akan segera berlabuh di Papua direncanakan beberapa minggu mendatang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pria yang pernah berkiprah di Greenpeace ini tampak puas dengan kondisi kapal, meskipun belum sepenuhnya selesai karena masih ada pembenahan di sana-sini. Tujuan uji coba hari itu adalah bagian dari upaya mengetahui kondisi kapal sebelum akhirnya bisa digunakan.

Selama 1 jam kemudian kami melaju ke laut sekitar dermaga. Kapal tampak melaju dengan baik. Bustar menggunakan speedboat mengikuti kapal dari belakang untuk mengamati jalannya kapal sekaligus pengambilan gambar dari jauh.

Kondisi cuaca yang mendukung siang itu membuat perjalanan itu terasa begitu singkat. Tak ada guncangan ombak yang berarti, perjalanan singkat itu sepertinya telah memenuhi ekspektasi pemilik dan pembuat kapal.

Sore hari di hari yang sama, puluhan warga sekitar berdatangan ke atas kapal. Selain uji coba, hari itu diselenggarakan acara selamatan peluncuran kapal yang disebut appasili.

Appasili sendiri adalah salah satu rangkaian upacara dalam proses pembuatan kapal/pinisi bertujuan untuk menolak bala, yang dalam pelaksanaannya telah mendapat pengaruh Islam, yaitu melalui pembacaan barazanji.

Pada ritual ini disajikan beragam bahan makanan tradisional seperti gogos, onde-onde, kue lapis, songkolo dan kaddo masingkulu. Selain itu ada ritual pemotongan kambing, yang kemudian disajikan sebagai makanan bersama di akhir ritual.

Penyajian beragam kue tersebut memiliki arti tersendiri, yaitu sebagai simbol rezeki yang dilambangkan dengan makanan yang manis, dan kue lapis agar rezeki yang datang berlapis. Makna lainnya adalah ikatan persatuan dan menyingkirkan mara bahaya.

Pada upacara ini, beberapa orang guru membacakan barazanji secara bergantian. Seorang guru di depan sebuah wajan yang berisi air dan seikat dedaunan membaca mantra dan dilanjutkan dengan penaburan air songkabala yang terisi dengan mantra atau doa-doa ke sekeliling kapal dengan menggunakan dedaunan yang terikat. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan buka puasa bersama dari tamu-tamu yang hadir, baik dari keluarga pembuat kapal maupun warga sekitar.

baca juga : Bersih Laut, Cara Kaka Slank, Ridho dan EcoNusa Menata Ekosistem di Maluku

 

Penyelenggaraan ritual appasili sebagai sebuah upacara tolak bala tradisi masyarakat Bugis-Makassar, yang telah dipengaruhi oleh tradisi Islam yaitu barazanji. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Setelah upacara appasili ini selanjutnya akan ada ritual yang disebut ammosi dan setelahnya adalah ritual peluncuran kapal.

Di sela-sela kegiatan appasili, sejumlah warga tampak sibuk mengambil gambar di atas kapal, dan tampak terkagum-kagum dengan kondisi kapal yang terlihat mewah dan anggun. Terlontar pujian karena sebelumnya kondisi kapal yang tak layak dan kini terlihat jauh lebih besar dibanding sebelum direstorasi.

 

Kapal Riset, Distribusi Komoditi dan Wisata

Kapal pinisi EcoXplorer ini sendiri memiliki ukuran yang cukup besar yaitu 130 Gross Tonnage (GT), yang bisa memuat puluhan orang, berbahan kayu bitti yang memang diperuntukkan untuk perahu pinisi. Butuh setahun untuk menuntaskannya menggunakan jasa belasan tukang.

Menurut Bustar, kapal ini sebenarnya kapal pinisi bekas yang dulunya adalah kapal riset milik The Nature Conservancy (TNC)-World Wildlife Fund (WWF) yang beroperasi di Papua. Karena kondisinya yang tak layak lagi berlayar sehingga kapal ini kemudian dihibahkan ke EcoNusa yang selanjutnya melakukan restorasi.

“Sebagian besar kapal kami restorasi, nyaris yang tertinggal hanya bagian yang disebut lunas, yaitu rangka utama kapal,” ungkap Bustar.

Untuk upaya restorasi ini membutuhkan biaya yang tak sedikit. Apalagi kapal ini juga dilengkapi dengan peralatan modern dan bahan kayu kelas satu. Sebagai gambaran, biaya pembuatan pinisi bervariasi antara Rp4 miliar-Rp10 miliar, tergantung ukuran dan aksesoris di dalamnya.

Hal menarik dari kapal ini karena bisa memiliki beragam fungsi, mulai dari kapal riset, kapal angkut bahan komoditi pulau dan kapal wisata.

“Ini bisa digunakan banyak macam, bisa untuk riset, misalnya riset biota laut atau mangrove, bisa juga untuk transportasi kebutuhan pangan dan komoditi warga pulau. Misalnya kami mengangkut bahan pangan ke sebuah pulau, lalu baliknya membawa komoditi hasil pulau itu untuk dijual di luar.”

baca juga : Menjaga Benteng Terakhir Maluku dengan Tata Kelola Perikanan Berbasis Adat

 

Kapal riset EcoXplorer milik EcoNusa akan segera berlabuh di Papua direncanakan beberapa minggu mendatang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, kapal ini juga akan menjadi sebuah bisnis sosial, dalam hal ini difungsikan untuk kapal wisata, khususnya untuk wisatawan dari luar negeri dalam bentuk paket perjalanan 7 hari 6 malam.

“Tentunya harga yang kami tawarkan ke calon pengguna dari luar negeri akan lebih mahal dibanding untuk kebutuhan riset, edukasi dan sebagainya. Di situlah fungsi bisnis sosialnya. Selain untuk membiayai operasional kapal, pembayaran wisatawan asing juga akan menjadi semacam donasi untuk lingkungan dan pengembangan masyarakat yang ada di Papua dan sekitarnya,” jelas Bustar.

Untuk kepentingan riset sendiri, kapal ini akan disewakan ke lembaga-lembaga yang akan melakukan riset laut dan pesisir di Papua, meski dengan harga yang berbeda dengan harga bisnis.

Hasil keuntungan kapal dari bisnis ataupun riset ini nantinya akan digunakan untuk operasional dan perawatan kapal yang jumlahnya tak sedikit.

“Ada yang kritik kenapa harus dijadikan bisnis, namun kita harus bicara tentang keberlanjutan, bagaimana kemudian kapal ini bisa tetap bertahan dan ada biaya untuk itu.”

Bustar berharap akan ada banyak kegiatan lainnya diselenggarakan di atas kapal tersebut, termasuk kegiatan diskusi dan pelatihan-pelatihan. Apalagi saat ini Econusa telah membentuk jejaring NGO se-Indonesia Timur bernama JaringNusa yang beranggotakan puluhan NGO yang bekerja di isu laut dan pesisir.

 

Kapal EcoXplorer dengan kapasitas 130 GT ini akan difungsikan sebagai kapal riset, edukasi, distribusi komoditi dan wisata. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, yang turut serta dalam uji coba kapal ini, menyambut baik kehadiran kapal ini dan berharap bisa digunakan dengan baik oleh lembaga-lembaga yang concern di isu laut dan pesisir.

“Mudah-mudahan ada banyak kajian dan diskusi-diskusi penting yang bisa dilakukan di atas kapal ini, termasuk kajian-kajian pesisir seperti lamun, terumbu karang dan mangrove. Ada banyak ide yang bisa dikembangkan dan dilakukan setelah kapal ini benar-benar beroperasi,” katanya.

 

Exit mobile version