Mongabay.co.id

Menikmati 15 Jenis Salak di Desa Sibetan

 

Keanekaragaman hayati buah lokal ada di Desa Sibetan, Kabupaten Karangasem, Bali. Ada 15 jenis salak yang ditanam di desa dengan tetap menjaga habitat pohon besar seperti kelapa, buah, enau, dan lainnya.

Jaringan Ekowisata Desa (JED) mengajak tur virtual pada 29 April 2022 di Dusun Dukuh. Salah satu area di Sibetan yang menjaga cerita sejarah yang lekat dengan kehadiran pohon salak tertua serta aneka pohon penjaga mata air yang dilindungi.

Made Sujana memulai dari balai banjar. Sebuah peta terpasang di tembok menunjukkan titik-titik lokasi yang akan dikunjungi, hasil pemetaan kolektif warga. Desa ini bergabung dalam gerakan JED pada 1999. Desa dengan bentang alam dan pertanian khas, yakni berbagai salak varietas lokal Bali.

Kawasan yang sudah ditetapkan sebagai world cultural heritage adalah Catur Angga Batukaru Subak Jatiluwih yang memiliki lanskap terasering persawahan dengan sistem irigasi tradisional subak.

Sujana menyuguhkan welcome drink dua gelas jus salak. Sayangnya tidak bisa disesap karena tur online. Ia kemudian mengajak mencoba buah salak di atas meja. Sujana menunjukkan cara membuka buah salak, tutorial penting bagi yang beru pertama kali melihat buah salak dan ketakuan dengan duri-duri kecil di seluruh permukaan buah.

Ia memencet ujung buah, lalu mengupas kulitnya dengan mudah. Jika sudah terbiasa makan salak, warga setempat memiliki cara lain membuka, yakni dengan menekan buah dengan kedua belah telapak tangan.

baca : Rumbia, Buah yang Dijuluki Salak Hutan Aceh

 

Pemandu menunjukkan varian salak di Desa Sibetan, Karangasem, Bali. Foto : screenshoot virtual tour

 

Sujana memulai mengenalkan tur dengan menunjuk peta trekking, dimulai dari dari balai banjar lalu menuju Pura Batur, yang diyakini sebagai tempat suci dan jejak leluhur penemu tanaman salak di desa ini.

Warga menyebutnya Jro Dukuh Sakti, diyakini sebagai orang pertama yang merintis kebun salak. Karena itu dusun ini disebut Banjar/Dusun Dukuh. Ada batu besar di depan pura yang diyakini tempat meditasinya.

Kemudian ada juga tanaman peninggalan leluhur yang sampai sekarang dilestarikan seperti wani, jeruk, dan enau (punyan jaka).

Sujana menyusuri kebun salak dengan pagar-pagar bambu. Jika berkunjung ke desa ini, sebagian besar area adalah peta lahan salak yang tanamannya hampir sejajar dengan tinggi manusia.

Warga yang tergabung dalam koperasi pengelola ekowisata sudah mempersiapkan demplot kebun untuk wisata paket kebun. Salah satunya paket kebun Pak Karsa. Di sini ada sebagian varian salak yang dibagi dua kelompok besar yakni salak gula pasir dan salak Bali.

Sujana juga menunjukkan bagian pohon salak yang bisa jadi sayur disebut empol atau anakan salak. Ia memotong satu tangkai pelepah salak kemudian mencari bagian dalamnya yang lebih lunak. Bentuknya mirip umbi kecombrang.

Dalam tur ini juga ditunjukkan sarana akomodasi di rumah warga. “Jika menginap di guest house, bisa berinteraksi langsung dengan warga,” katanya.

baca juga : Buah Merah, Tanaman Prasejarah dari Tanah Papua

 

Seorang petani salak di Desa Sibetan, Karangasem, Bali. Foto : Anton Muhajir/Balebengong.id

 

Salak gula pasir makin banyak dibudidayakan karena dagingnya putih, rasanya paling manis, termasuk buah yang masih kecil. Ada juga salak nenas, permukaan kulitnya sama tapi setelah dipetik dan dibuka ada aroma nenas.

Kemudian ada jenis salak putih. Jenis ini lebih mudah diidentifikasi, terlihat di permukaan kulit luarnya lebih cerah kekuningan.

Ada juga salak kelapa yang bisa dicek dari permukaan pelepahnya tidak banyak berduri seperti salak lainnya. Salak beringin, pohonnya tidak bisa tinggi, ukurannya kurang dari setengah pohon salak lainnya.

Sementara itu salak merah (getih) bisa diketahui dari daging buahnya yang berwarna kemerahan. Jenis lain adalah salak beringin, salak boni, nangka, gondok, cengkeh, injin, dan beberapa jenis yang belum bisa dipastikan varietas berbeda karena perlu penelitian lebih lanjut.

Untuk memudahkan, belasan jenis salak ini dibedakan dari aroma dan rasa,daging buahnya, kulit buahnya, dan fisik pohon. Dari segi aroma yakni salak nenas, nangka, gondok (beraroma bunga gondok), dan salak cengkeh.

Sedangkan menurut tekstur dan warna dagingnya, ada salak merah, boni, dan injin (porong). Dari bentuk pohonnya adalah salak beringin yang lebih pendek dan salak muani (laki-laki) yang tak bisa berbuah. “Agak jarang ada di kebun. Belum banyak ditanam. Lebih banyak salak gula pasir,” urai Sujana.

baca juga : Petani Jeruk dan Kopi Kintamani Menyemangati Diri di Tengah Pandemi

 

Panen salak di Desa Sibetan, Karangasem, Bali. Foto : screenshoot virtual tour

 

Warga menanam berbagai jenis salak dalam satu kebun, kalau lahan kurang dari setengah hektar dicampur. Hanya pemilik lahan yang tahu perbedaan jenisnya. Salak Bali dalam satu tandan ada putik dan serbuk sarinya, karena itu masyarakat sulit mengawinkan karena tidak ada perbedaan pohon jantan dan betina.

Berbeda dengan salak pondoh yang bentuk jantan dan betina berbeda, sehingga bisa dikawinkan oleh manusia. Sujana menyebut bisa saja dikawinkan dengan teknologi modern. Namun sejauh ini salak-salak jenis lokal Bali yang dibudidayakan di desanya tidak memerlukan campur tangan manusia.

Ika, salah satu peserta tur virtual penasaran dengan cara membuah sayur dari pelepah salak. Sedangkan Agung Alit bertanya dari mana asal mula salak gula pasir di Sibetan.

Menurut Sujana, salak jenis itu sudah sejak dulu ada tapi dikenal dengan nama lokal salak nguda (salak muda) karena walau masih kecil rasanya manis. Setelah hasil panen laris, jenis yang dikenal dengan gula pasir itu lalu dikembangkan terus sampai sekarang. Menurutnya sekitar 30% wilayah Dukuh berisi salak gula pasir.

Ikhwal salak gula pasir ini pun punya kisah unik, warga ditunjukkan oleh binatang yakni tupai, yang makan salak-salak kecil. “Kenapa masih muda sudah dimakan tupai?” heran Sujana. Akhirnya warga mencoba dan ternyata memang rasanya manis.

Sejak 2014 warga makin antusias, semua jenis tanaman salak pun masih ada dan ingin mengembangkan varian lain. Namun, saat panen raya buahnya terlalu banyak, diikuti musim hujan sehingga pecah kulit. Warga berusaha mengolah jadi dodol, keripik,dan sari buah. Saat panen raya pada Januari-Maret, harga turun karena buah melimpah namun permintaan tetap.

 

Menu olahan salak. Foto : screenshoot virtual tour

 

Salak ditanam organik, tanpa sentuhan kimia sintetik. Tanah digemburkan dengan pupuk kompos dan kandang, bahkan salak di kawasan ini sudah dapat sertifikat organik.

Walau kebun salak di rumah warga terlihat homogen, namun tata ruang desa memastikan kawasan lebih tinggi sebagai tanaman besar peneduh seperti kelapa, enau, manggis, wani, duku, kaliasem, dan melinjo. Tanaman ini menjaga sumber air. Salah satunya mata air Moding yang dikelola PDAM untuk didistribusikan ke warga. Ada juga Pura Beji, sumber air yang menjadi sumber tirta atau air suci untuk persembahyangan. Sementara kebun salak berada di area lebih rendah.

Titik akhir tur desa salak di Sibetan adalah Bukit Pemukuran yang berada di ketinggian dengan laskap hamparan kebun warga dan laut. Dari sini bisa melihat gugusan kepulauan Nusa Penida dan pesisir Karangasem.

Area rehat ini adalah titik makan siang. Sujana dan warga lain pun menyiapkan aneka olahan pangan lokal seperti umbi talas togog, ungu, ketela rambat, dan lainnya pengganti beras. Lauk pauk di antaranya sate lilit ayam kampung, sate tusuk, sate tahu, tumis pakis, sayur empol salak, tempe, urab sayur kelapa, dan opor ayam. Sambel dari olahan salak misal salak dengan bawang, acar salak, dan kerupuk salak.

Warga Dukuh berusaha menjaga ekologinya dengan menumbuhkan cerita rakyat serta menjaga tanaman peninggalan leluhurnya, Dukuh Sakti. Misalnya jaka atau enau istimewa. Jika enau biasa, setelah tumbuh bunga dan buah, lama kelamaan mati. Tapi enau peninggalan leluhur ini setelah tumbuh bunga dan buah, akan tumbuh daun muda, lalu hidup terus menerus. Karena itu pohon ini disakralkan sebagai tanaman pendukung upacara. Selain jadi penyangga tanah dari longsor dan konservasi air.

Agung Alit, pegiat kerajinan fair trade bertanya, apakah desa salak ini mau difokuskan jadi obyek pariwisata atau pertanian untuk penjualan salak dan olahannya? Sujana mengatakan ingin tetap pertanian salak dan sejumlah olahan. “Pariwisata hanya alternatif, kalau ingin melihat monggo. Tidak akan mengubah jadi obyek wisata tapi tetap pertanian. Kalau mau datang, kami jual cerita dan hasil produk kami,” tuturnya.

Sekitar 12 desa tergabung dalam JED yang difasilitasi Yayasan Wisnu di Bali. Pengunjung juga bisa memesan tur di JED, kemudian dikelola tiap kelompok pemandu wisata desa.

 

Exit mobile version