Mongabay.co.id

Hutan Marajai, Rumah Buah Khas Kalimantan

 

 

 

 

 

Langkah kaki Mohammad Hanif Wicaksono, bergerak cepat memasuki hutan Marajai. Pepohonan begitu rimbun. Sesekali dia menjelaskan soal pohon-pohon buah khas Kalimantan yang ada di punggung Pegunungan Meratus itu.

Dengan mengendarai motor trail, pria kelahiran 18 Agustus 1983 itu mengajak saya ke Marajai, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, desa surga buah lokal dan langka di Kalimantan Selatan. Daerah ini diusulkan jadi Desa Plasma Nutfah Nusantara.

Silulung, pohon buah langka khas Kalimantan, antara lain yang ada di hutan itu. Ada juga maritam (Nephelium ramboutan-ake), mumbunau (Aglaia laxiflora), babuku (Dimocarpus longan subspecies malesianus), luying (Scutinanthe brunnea) dan trako (Durio graveolens).

Hanif berupaya melestarikan pohon-pohon langka ini dengan menanam dan mengarsipkan. Dia berhasil memfoto, mencatat dan menggali informasi tentang nama-nama buah lokal dan endemik khas Kalimantan ini dalam bukunya, ‘Potret Buah Nusantara Masa Kini (2016)’.

 

Buah khas Kalimantan di kebun M Hanif. Foto: M rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

Tercatat lebih 170 buah langka berhasil dia dokumentasikan dan terangkum juga dalam buku “Buah Hutan Kalimantan Selatan dalam seri 1-6. Dokumentasi ini mengangkat lebih detail dan spesifik buah-buahan yang dia temui di Kalimantan Selatan.

Identifikasi buah-buah langka dia lakukan secara mandiri. Awalnya, dia alami kesulitan mengidentifikasi nama dan kelompok buah-buahan endemik khas Kalimantan ini.

Buah-buah langka itu, Hanif temukan di beberapa kabupaten seperti Balangan, Kandangan, Tabalong, Hulu Sungai Tengah (HST) dan lain-lain. Namun, keberagaman buah itu lebih banyak dia dapatkan di Desa Marajai.

“Di hutan ini saja, ada 30 jenis buah di satu titik. Belum lagi di kawasan hutan sekitar.”

 

Bermacam buah khas Kalimantan ini ada di hutan Marajai. Foto: pplh.ulm.ac.id

 

Merawat tunas Meratus

Hanif bersama istri pindah dari Jawa Timur, ke Kabupaten Kandangan, Kalimantan Selatan, pasca mertuanya meninggal dunia. Dia berhenti jadi guru SMP di Batu, Jawa Timur, pindah ke kampung halaman sang istri.

Di kampung istri, Hanif punya kebiasaan baru yakni masuk-keluar hutan karena tertarik untuk mencari buah lokal khas Kalimantan.

Akhirnya di tempat baru itu, dia jadi pegawai negeri yang bertugas sebagai penyuluh keluarga berencana di BKKBN Balangan.

Pada 2014, dia bertugas ke Marajai, Kecamatan Halong, desa dengan penduduk 197 keluarga atau 578 jiwa.

“Di tempat ini, saya malah menemukan banyak buah langka yang belum pernah saya temui,” katanya.

Saking jatuh hati dengan buah langka Kalimantan ini, dia pun menyulap halaman rumahnya di Kandangan jadi kebun tanaman buah-buah khas Kalimantan. Dia bentuk Tunas Meratus pada 2012 dengan fokus kegiatan mengumpulkan, mendokumentasikan, memperkenalkan, membibitkan dan membudidayakan tanaman buah endemik Kalimantan.

Jenis-jenis yang sudah dia tanam itu antara lain, landur, kumbayau, gitaan, binjai madu, dara, jari, kulidang, silulung, putaran, dan tandui. Lalu, maritam, mahrawin, karatungan, mantaula, sindawak, kalih, dan lahung.

Ada juga berbagai spesies durian kekayaan Marajai, kata Hanif, seperti lahung (durian kulit merah/Durio dulcis), mahrawin (durian berduri panjang/Durio oxleyanus), mantaula (lai-durian daging kuning/Durio kutejensis), dan paling langka bahkan dianggap nyaris hilang di Kalsel, trako (durian daging merah tua/Durio graveolens).

Selama ini, sebenarnya Marajai sudah dikenal sebagai sentra durian terbesar di Balangan, dengan jenis durian umum (Durio zibethenus). Ada yang langka, seperti Durio oxleyanus dan Durio graveolens. “Karena, saya cuma menemukan di Balangan dan Tabalong saja.”

 

Mohammad Hanif Wicaksono di antara buah silulung. Foto: Mohammad Hanif Wicaksono

 

Nyaris terlupakan

Hanif melihat, Desa Marajai punya potensi buah lokal yang besar. Ia bisa jadi jadi sumber kehidupan dan mata pencarian bagi warga.

Marajai begitu kaya buah lokal, tak berlebihan kalau akan dinobatkan jadi Desa Plasma Nutfah Nusantara.

Di desa ini antara lain ada manja (Xanthophyllum amoenum), kuranji (Dialium indum l.), pelajau (Pentaspadon motleyi), kapul (Baccaurea macrocarpa), kalangkala (Litsea garciae), gitaan/tampirik (Willughbeia angustifolia). Ada kumbayau (Dacroydes rostrata), maritam, bumbunau (Aglaia laxiflora), dan banyak lagi.

Menyadari keragaman dari buah itu, kala itu, Hanif bersama masyarakat sekitar dan pemerintah daerah menggelar Festival Buah Khas Kalimantan Selatan di Marajai. Dua kali perhelatan pada 2019-2020, sukses membuat masyarakat Kalimantan Selatan, maupun turis dari luar seperti Tiongkok China dan Jepang datang ke Marajai.

Dia pun mendapatkan penghargaan “Semangat Astra Terpadu (Satu) Indonesia Awards 2018 atas upaya melestarikan buah-buah lokal ini. Pada 2019, Hanif pun menerima penghargaan anugerah lingkungan hidup tertinggi di Indonesia, Kalpataru bidang Pengabdi Lingkungan.

 

Buah silulung, salah satu buah khas Kalimantan dari Hutan Marajai. Foto: Mohammad Hanif Wicaksono

 

Adi Swtiawan, Kepala Desa Marajai, mengatakan, warga Marajai senang dan kaget potensi buah lokal mereka jadi sorotan publik.

Awalnya, dia tak menyadari betapa kaya flora khas Kalimantan di desanya, termasuk ada trako, buah yang nyaris punah.

“Padahal, menjabat sebagai kepala desa sejak 2002. Saya baru menyadari setelah dikenalkan oleh Pak Hanif soal buah lokal itu.”

Kalau warga, katanya, sudah tahu sejak lama dan buah-buah lokal itu memang jadi sumber pangan mereka.

“Berkat Pak Hanif, akhirnya dikenal banyak orang. Beliau mengeksplor buah lokal itu hingga mengenalkan pelbagai jenisnya.”

Demi kelestarian kekayaan flora daerah ini, dia mendorong desa ini sebagai Desa Plasma Nutfah Nusantara. Dia khawatir, kalau tak serius menjaganya, buah-buah lokal ini akan punah.

Adi berharap, pemerintah daerah mewujudkan kawasan itu jadi sentral buah lokal yang nyaman dikunjungi orang.

Dia pun mengajak dan mengkampanyekan warga untuk terus menanam di halaman rumah, bahkan pengembangan buah lokal khas Kalimantan itu hingga daerah lain. “Upaya itu agar keberadaan buah lokal yang sudah langka ini tidak punah.”

Sri Naida, lulusan Botani, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan, sudah saatnya ada upaya serius melestarikan buah-buah lokal ini.

Bahkan dia usulkan ada aturan menanam dalam menunjang pelestarian alam di Kalsel ini. Dia contohkan, pada upacara pernikahan penganten wajib menanam minimal 10 tanaman langka, lalu menjaganya. Atau upacara-upacara di pemerintahan, misal, setiap aparat naik jabatan wajib menanam 25 jenis tanaman langka.

“Ini bagian dari uji integritas, dan siapa yang menanam kebaikan maka akan menuai pahala dan kebahagiaan. Siapa yang menanam pohon, dia akan menjaga alam raya dan manusia sebagai pewaris pohon kehidupan bestari.”

 

Buah silulung yang sudah matang jatuh ke tanah. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

*********

Exit mobile version