Mongabay.co.id

Studi: Hotspot Keragaman Hayati di Kalimantan dan Sumatera, Sebagian Besar Berada di Luar Wilayah Perlindungan Formal

 

Bioregion Sundaland mencakup Kalimantan, Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, dan berbagai pulau kecil di sekitarnya. Sundaland memiliki salah satu bagian terbesar dari tutupan hutan hujan primer secara global, dan beberapa hotspot keanekaragaman hayati yang paling penting di dunia.

Namun, Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan (termasuk wilayah Sarawak, Sabah dan Brunei) aktivitas manusianya menyebabkan tingkat ancaman terhadap keanekaragaman hayati, termasuk deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu, dan kebakaran untuk pembukaan lahan.

Antara 2002 dan 2019, Kalimantan dan Sumatera saja kehilangan bagian terbesar dari tutupan hutan primer di dunia, dengan masing-masing 15 persen dan 25 persen kehilangan tutupan hutan. Hasil prediksi peningkatan populasi manusia di wilayah tersebut akan memperburuk tekanan, mengurangi habitat primer sejumlah spesies endemik dan terancam punah, seperti orangutan (Pongo spp.), badak sumatera (Dicerorhinos sumatrensis), serta pelbagai spesies mamalia, burung, reptil dan spesies amfibi lainnya.

Sebuah makalah yang diterbitkan di Animal Conservation pada bulan Februari 2022 telah menemukan bahwa sebagian besar hotspot keanekaragaman hayati yang diprediksi di Kalimantan dan Sumatera berada di luar langkah-langkah perlindungan formal, dengan hanya 9,2 persen dan 18,2 persen dari kekayaan spesies yang dimodelkan terletak di dalam zona perlindungan di masing-masing pulau.

 

Kancil (Tragulus kanchil). Foto: Mike Prince/Wikimedia Commons (CC BY 2.0).

 

Pemodelan multivariat: Manajemen untuk seluruh komunitas

Penulis utama dari makalah tersebut, Luca Chiaverini dari Departemen Zoologi Universitas Oxford, mengatakan kepada Mongabay bahwa dalam mencapai temuan ini, tim peneliti memilih untuk fokus pada beberapa spesies dan kriteria habitat yang menunjukkan hubungan diantara spesies, antarspesies dan lingkungan hidup mereka.

“Dalam model [spesies tunggal], habitat yang cocok untuk setiap spesies dimodelkan secara individual menggunakan faktor habitat yang dianggap penting untuk satu spesies itu. Tidak untuk seluruh keanekaragaman hayati yang dijadikan sampel,” ungkap Chiaverini.

“Ini adalah perbedaan utama antara pendekatan kami dan sebagian besar model kekayaan spesies lainnya,” ungkapnya.

Dalam praktiknya, para peneliti menerapkan multispesies baru dan kriteria kesesuaian habitat untuk memprediksi hotspot keanekaragaman hayati di seluruh Kepulauan Sunda (Sundaland) di Kalimantan dan Sumatera.

Penelitian ini mendasarkan pada asumsi bahwa kelimpahan spesies umum di suatu daerah merupakan indikator kekayaan spesies yang lebih baik daripada hanya mengandalkan satu spesies langka atau terancam. Berbeda dengan teknik pemodelan prediktif konservasi, yang secara historis hanya mengandalkan satu spesies unggulan untuk mengadvokasi perlindungan suatu wilayah.

Tim peneliti juga mengevaluasi tingkat perlindungan keanekaragaman hayati yang telah dilakukan, juga menyoroti aspek-aspek utama di mana tindakan konservasi harus diperluas dan diprioritaskan.

Prediksi kekayaan spesies secara keseluruhan dibandingkan dengan peta spesies yang diakui secara internasional dari otoritas konservasi global, IUCN. Hasil penjajaran (overlay) wilayah menjumpai kawasan lindung yang ada di Kalimantan dan Sumatera berada di lokasi yang relatif buruk dan tidak cukup luas untuk melindungi hotspot keanekaragaman hayati utama.

 

Pemandangan udara fragmentasi hutan hujan di antara hamparan luas perkebunan sawit di Sabah, Borneo Malaysia. Foto: T. R. Shankar Raman/Wikimedia Commons (CC BY-SA 4.0).

 

Chiaverini mengatakan pendekatan pemodelan multispesies ini memiliki kapasitas untuk jadi panduan dalam mendefinisikan zona perlindungan baru, dan memberi rekomendasi area prioritas bagi spesies yang ditemukan, berdasarkan fitur ekologi yang berbeda.

“Studi ini bisa menjadi alat penting untuk memprioritaskan kawasan yang harus dilindungi di Kalimantan dan Sumatera berdasarkan keanekaragaman hayatinya,” kata Chiaverini.

Dalam survei digunakan perangkap kamera (camera trap) terbesar yang pernah dilakukan di Kalimantan dan Sumatera, tim peneliti menggunakan beberapa kriteria untuk menentukan hubungan 70 spesies dengan habitat sekitarnya dan bagaimana kelompok hewan berkumpul.

Perangkap kamera dipasang di 15 lokasi pengambilan sampel di Kalimantan — lima di provinsi Kalimantan Tengah dan Timur di Indonesia dan 10 di negara bagian Sabah, Malaysia — dan di tujuh lokasi di Sumatera. Kelimpahan spesies kemudian dibandingkan dengan berbagai kriteria untuk menilai kesesuaian habitat untuk setiap spesies.

Dampak lingkungan yang disebabkan dari kehidupan manusia pada area hotspot potensial juga diperhitungkan, termasuk faktor kepadatan penduduk, penggunaan lahan dan hilangnya hutan, dan mengetahui apakah area tersebut telah dikategorikan untuk area perlindungan.

Pendekatan multivariat secara keseluruhan memperhitungkan efek gabungan dari faktor lanskap, antropogenik, topografi dan spasial pada keberadaan spesies yang berbeda secara simultan di lokasi sampel.

 

Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di Sabah, Borneo Malaysia. Foto: T. R. Shankar Raman/Wikimedia Commons (CC BY-SA 4.0).

 

Hasil penelitian atas perlindungan keanekaragaman hayati dan spesies payung

Kalimantan Utara, khususnya negara bagian Sabah, Malaysia, provinsi Kalimantan Utara dan Timur di Indonesia, dan Brunei, diperkirakan memiliki kekayaan spesies tertinggi di Kalimantan.

Di Sumatera, wilayah pegunungan bagian barat menyajikan tingkat kekayaan spesies tertinggi. Sebuah studi terpisah yang dikutip dalam makalah dan diterbitkan pada tahun 2009 juga menemukan wilayah yang sama ini menjadi hotspot penting untuk kekayaan spesies botani.

Namun secara kritis, Sabah ditemukan memiliki tingkat kekayaan spesies tertinggi di luar kawasan lindung, dengan lebih dari 5.500 kilometer persegi lahan tak terlindungi yang diidentifikasi sebagai hotspot keanekaragaman hayati.

 

Peta menunjukkan prediksi kekayaan spesies di Kalimantan (kanan) dan Sumatera (kiri) yang diklasifikasikan ke dalam wilayah prioritas rendah, sedang dan tinggi berdasarkan distribusi kekayaan spesies. Peta juga menyoroti hotspot keanekaragaman hayati utama yang berada di luar sistem kawasan lindung saat ini. Area yang dilindungi dilapisi dengan tanda hash hitam. Area hitam mewakili wilayah yang paling berbeda dari lokasi sampel, yang dikeluarkan dari prediksi. Angka mewakili kode titik api utama yang tidak terlindungi yang disajikan dalam penelitian ini. Gambar milik Chiaverini et al. (2022) (CC BY-NC-ND 4.0).

 

Dalam konteks multivariat, analisis menunjukkan bahwa keberadaan kancil (Tragulus kanchil) dan kucing macan tutul sunda (Prionailurus javanensis) merupakan indikator terbaik keanekaragaman hayati di Kalimantan dan Sumatera. Selain itu, yang mengejutkan tim peneliti, spesies tikus adalah indikator terbaik kedua di kedua pulau tersebut.

Pada akhirnya, tim peneliti mengatakan, mamalia karnivora dapat digunakan sebagai spesies payung untuk membantu dpengembangan rencana pengelolaan holistik. Saat membuat keputusan konservasi, spesies payung dipilih karena secara tidak langsung melindungi banyak spesies lain yang ditemukan di habitat dan komunitas ekologi sekitarnya.

Mongabay berbicara dengan George Olah, dosen kehormatan di Australian National University’s Fenner School of Environment and Society, tentang penerapan studi di Sundaland dan potensi manfaat yang dapat diperoleh dari temuan makalah tersebut.

“Para konservasionis sering menggunakan citra dari  satu spesies unggulan untuk melobi perlindungan habitat. Tetapi dengan pemahaman kita yang semakin baik tentang interaksi dalam komunitas biologis, saya sepenuhnya setuju dengan para penulis bahwa kita memerlukan perubahan paradigma ke pendekatan konservasi beberapa spesies (atau beberapa spesies unggulan),” sebut Olah.

“Ketika dana dan waktu pemerintah untuk perlindungan habitat sangat terbatas, saya merasa penting untuk menggunakan studi pemodelan seperti ini untuk menyoroti hotspot keanekaragaman hayati yang paling membutuhkan konservasi,” tambahnya.

 

Referensi:

Chiaverini, L., Macdonald, D. W., Bothwell, H. M., Hearn, A. J., Cheyne, S. M., Haidir, I., … Cushman, S. A. (2022). Multi-scale, multivariate community models improve designation of biodiversity hotspots in the Sunda Islands. Animal Conservation. doi:10.1111/acv.12771

Raes, N., Roos, M. C., Slik, J. W. F., van Loon, E. E., & ter Steege, H. (2009). Botanical richness and endemicity patterns of Borneo derived from species distribution models. Ecography, 32, 180-192. doi:10.1111/j.1600-0587.2009.05800.x

Foto Utama: Macan dahan. Foto: Mike Prince/Wikimedia Commons (CC BY 2.0).

 

***

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Akita A. Verselita. Sumber asli berasal dari artikel: Study: Most biodiversity hotspots lack formal protection in Borneo and Sumatra

 

Exit mobile version