Mongabay.co.id

Ini Lampu Perangkap Cahaya, Cara Pertanian Padi Ramah Lingkungan di Detusoko

 

Areal persawahan di Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, NTT saat malam tampak beda. Areal sawah bertingkat di lahan miring ini diterangi cahaya lampu berwarna biru.

Sebelumnya, pada 2021, areal sawah bertingkat di Watu Mesi ini dipenuhi lampu berwarna-warni saat malam hari. Terdapat 70 lampu berwarna merah, biru, ungu, orange dan hijau.

Saat menikmati kopi Detusoko di Kafe Lepa Lio, cahaya lampu berwarna biru membuat penasaran. Maklum saja, sawah bertingkat ini menjadi salah satu spot foto favorit wisatawan.

“Ini lampu perangkap serangga. Kalau malam hari lampu ini seakan menambah indah pemandangan di spot wisata ini,” kata Ferdinandus Watu, Kepala Desa Detusoko Barat saat berbincang bersama Mongabay di kafenya, awal April 2022.

Nando sapaannya menyebutkan, pemasangan lampu oleh Fakultas Pertanian Universitas Flores (Unflor) Ende ini selaras dengan program desanya sebagai desa ekowisata.

Apalagi produk beras merah dan beras hitam organik dari areal persawahan ini dipasarkan juga oleh BUMDes Ae Wula secara online di Kabupaten Ende dan Sikka.

baca : Gelombang Suara Gantikan Pestisida untuk Berantas Hama, Seperti Apa?

 

Lampu perangkap hama berwarna-warni yang dipasang di areal persawahan Watu Mesi di Desa Detusoko Barat, Kabupaten Ende, Flores, NTT. Foto : Nando Watu/Pemdes Detusoko Barat

 

Sedangkan Anggota Kelompok Tani Bunga Lomu, Alexius Puu Nay kepada Mongabay Indonesia, Selasa (19/4/2022) mengaku konsisten menerapkan pertanian organik tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Pada lahan seluas 0,5 ha miliknya, Alexius menanam padi lokal berumur 3 bulan hingga 5,5 bulan. Batang padi dibiarkan mengering dan hancur untuk dijadikan pupuk kompos, selain penggunaan pupuk kandang.

“Kami menerapkan pertanian organik, namun bisa saja air untuk irigasi tercemar bahan kimia kalau ada petani yang berada di areal ketinggian menggunakan pestisida kimia,”  ujarnya.

Alexius mengaku sekali panen bisa menghasilkan padi mencapai 300 hingga 400 kg. Ia pun tertarik dan terbantu dengan penerapan tekonologi lampu penangkap hama.

“Kami mengembangkan pertanian organik karena harga jual padinya bisa lebih mahal. Biaya pembelian pupuk dan pestisida kimia pun tidak ada lagi,” ujarnya.

 

Rentan Terkontaminsasi 

Areal persawahan Watu Mesi di Desa Detusoko Barat di lokasi pemasangan lampu perangkap hama (light trap) seluas 13 ha. Areal ini digarap kelompok tani Bunga Lomu berjumlah 18 orang.

Jenis padi lokal Are Banga Laka (beras merah) jadi produk unggulan mengingat harga jualnya mencapai Rp25 ribu/kilogram. Meskipun berlabel beras organik, namun rentan sekali terkontaminasi bahan kimia.

baca juga : Tanaman Ini Penjaga Sawah dari Hama, Murah dan Ramah Lingkungan

 

Areal persawahan Watu Mesi di Desa Detusoko Barat, Kabupaten Ende, Flores, NTT yang menerapkan teknologi lampu perangkap hama. Foto : Nando Watu/Pemdes Detusoko Barat

 

Lahan sawah kelompok ini berada di dataran rendah dan menggunakan air dari irigasi areal persawahan yang lebih tinggi yang rentan tercemar bahan kimiawi.

Data dari Fakultas Pertanian Unflor menyebutkan, rata-rata petani lokal di desa ini menggunakan 4 pestisida sintesis berbahan aktif fipronil, metomil, difenokonasol dan isopropyl amina glifosat.

“Penggunaan pestisida sintesis yang digunakan petani di desa ini pun tidak tepat sasaran. Pestisida tidak memberikan efek kepada hama yang menjadi target tetapi justru mematikan makluk hidup lain yang bukan menjadi target,” kata Sri Wahyuni.

Dekan Fakultas Pertanian Unflor ini saat ditemui Mongabay Indonesia di kampusnya, Selasa (12/4/2022) bertutur, pendekatan dengan Pemerintah Desa Detusoko Barat dan Kelompok Tani Bunga Lomu menyepakati penggunaan lampu light trap.

Sri katakan, penerapan teknologi lampu perangkap hama ini, menjadi salah satu rangkaian kegiatan Program Kemitraan bagi Masyarakat (PKM) yang didanai dari Kemendikbudristek.

 

Kurangi Penggunaan Pestisida

Bulan Maret 2021, penerapan teknologi light trap mulai dilaksanakan di areal persawahan Watu Mesi. Sebanyak 70 lampu 5 warna yang dirakit sendiri. Bola lampu dimasukan ke dalam botol plastik air mineral bekas dengan tiang dari pipa paralon.

Lampu disambungkan ke panel surya berbentuk segi empat di bagian atas botol yang dilengkapi tombol on off. Tahun 2022, botol diganti neon dan pipa paralon diganti baja ringan dan semen agar tiang tetap kokoh saat diterjang angin.

Bagian bawah lampu dipasangi baskom plastik yang ditaruh air sabun. Air ini harus diganti 2-3 hari sekali. Saat musim panas airnya cepat menguap sehingga harus sering dikontrol.

“Lampu ini bisa dirakit sendiri. Harga jualnya pun murah sekali sekitar Rp150 ribu per buahnya,” tuturnya.

baca juga : Hama Tikus Serang Tanaman Pangan di Sikka. Apa Penyebabnya?

 

Penyerahan lampu perangkap hama oleh Dekan Fakultas Pertanian Universitas Flores, Ende, Sri Wahyuni (kiri) kepada Kades Detusoko Barat Ferdinandus Watu. Foto : Nando Watu/Pemdes Detusoko Barat

 

Sri menjelaskan, harusnya dibuat Demplot (Demontration Plot) seluas sehektar. Namun lahan kelompok tani seluas 13 ha akhirnya dipasangi semua. Sebuah light trap kapasitasnya 20×20 meter sehingga butuh 70 lampu.

Penerapannya saat tanaman padi berumur sebulan. Hasil kajian Fakultas Pertanian Unflor,penggunaan light trap mampu mengurangi pemakaian pestisida sintesis untuk sekali musim tanam.

“Penggunaan lampu perangkap hama ini dalam satu musim tanam dapat menurunkan penggunaan pestisida sintesis 83,86 persen. Bila dikonversikan ke dalam jumlah uang maka petani berhemat Rp1,3 juta dalam satu musim tanam,” ujarnya.

Sri sebutkan penggunaan pestisida sintesis pun berdampak terhadap kesehatan manusia. Selain itu, harga jual produk pertanian organik pun lebih mahal daripada non organik.

 

Digunakan Musim Tertentu

Dari 5 warna lampu yang dipergunakan, berdasarkan pendataan yang dilakukan didapati lampu warna hijau menangkap 1 % hama, merah 4%, orange 5%, biru 41% dan ungu 49%.

Cahaya ungu merupakan panjang gelombang tampak yang paling pendek dari cahaya tampak namun panjang gelombang ini paling baik ditangkap oleh jenis reptil, burung dan serangga (Suhartati, 2017).

Hasil tangkapan juga dipengaruhi oleh jenis vegetasi, cuaca, dan cahaya bulan, dimana suhu yang hangat, lembab dan tanpa cahaya bulan dapat menghasilkan tangkapan yang lebih tinggi (Sheikh et al., 2016).

“Makanya kami memilih menggunakan lampu warna ungu dan biru. Tahun 2022 hanya dipakai 15 lampu saja di lahan tersebut dengan menaikan kapasitas daya lampunya,” ucap Sri.

Hama yang paling banyak tertangkap terdiri dari wereng coklat (Nilaparvata lugens) disusul penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata), penggerak batang padi bergaris (Chilo suppressalis) dan penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas).

Disusul penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens), pelipat daun (Cnaphallocrosis medinalis) serta Walang sangit (Leptocorisa oratorius). Selama sebulan, wereng coklat yang terperangkap sebanyak 269 ekor sementara terendah walang sangit 17 ekor dari total tangkapan sebanyak 881 ekor.

menarik dibaca : Burung Kirik-Kirik Laut, Si Unik Cantik Pembasmi Hama Padi

 

Hama serangga yang terperangkap dalam wadah di lampu light trap yang dipasang di areal persawahan Watu Mesi di Desa Detusoko Barat, Kabupaten Ende, Flores, NTT. Foto : Sri Wahyuni/Fakultas Pertanian Universitas Flores

 

Sri mengatakan, penerapan light trap sangat cocok dijadikan sebagai metode monitoring awal dalam tahap pemantauan fluktuasi populasi hama di lapangan.

“Data hasil monitoring yang diperoleh akan memudahkan dalam mengambil keputusan guna menetapkan tindakan pengendalian hama selanjutnya,” terangnya.

Alexius katakana sebelum memakai light trap serangan hama masih lumayan banyak terutama saat musim hujan. Setelah penggunaan lampu ini, petani mengetahui jenis hama yang banyak menyerang tanaman padi.

Meski begitu, Sri mengakui ada kelemahan juga dalam tekonologi ini, yaitu lima jenis predator yang bukan merupakan serangga sasaran ikut terperangkap.

Dia menyarankan agar pemasangan light trap tidak dilakukan sepanjang waktu melainkan pada fase-fase kritis tanaman padi saja sehingga dalam mengendalikan hama tanaman padi, tetap menggunakan teknik pengendalian hama terpadu.

 

Exit mobile version