Mongabay.co.id

Melihat Cara Masyarakat Yensawai Barat Konservasi Pesisir

 

 

 

 

Rahab Saleo, menunjukkan keahlian pakai pisau. Bukan untuk memasak, melainkan menganyam daun tikar atau pandan berduri.

Daun tikar tumbuh liar di Yensawai Barat, Pulau Batanta, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat ini mudah ditemui di pinggiran pantai pulau yang berjarak dua jam perjalanan laut dari Sorong ini.

Sebelum anyam pandan, Mama Rahab, begitu biasa disapa, menyiapkan daun tikar sepanjang 120 cm, lebar empat cm. Daun itu dia potong masing-masing selebar satu cm dengan panjang sama.

Tepi daun tikar dia gosok dengan pisau untuk menghilangkan duri. Setelah itu daun dibakar agar layu, dalam bahasa lokal disebut lombo.

Setelah itu jempur daun tikar selama 2-3 hari agar warna pudar jadi keputihan. “Biasanya butuh dua menit untuk jadi anyaman,” katanya kepada Mongabay, penghujung Maret lalu.

Jari Rahab terlihat sibuk mencabik daun. Berkali-kali dia harus memindahkan genggaman, mulai dari pangkal pisau yang berkelir hijau, sampai lempengan pisau perak itu sendiri.

Lempengan pisau dia genggam karena Rahab pakai gagang pisau untuk meratakan gulungan daun tikar. Setelah rata, barulah berganti memegang gagang untuk merobek daun.

Daun-daun yang sudah dirobek ini kemudian dianyam. Tangan Rahab begitu cekatan menganyam bak mengepang rambut.

Sekitar dua menit, anyaman daun tikar Rahab rampung sebagian lalu lanjut hingga menyerupai bakul mini setinggi tujuh cm dan diameter tiga cm.

Yang menarik, anyaman ini bukan sekadar kerajinan tangan biasa. Di Yensawai Barat, bakul mini ini jadi wadah tanam lamun dan pepohonan di hutan mangrove, yang dalam bahasa lokal disebut andoi dan mangi-mangi.

Biasa orang pakai plastik polybag buat wadah atau pot. Masyarakat Yensawai memanfaatkan anyaman pandan ini untuk budidaya andoi dan mangi-mangi lebih ramah lingkungan. Anyaman berbentuk bakul mini, dalam bahasa lokal disebut kapowen.

Anyaman bukan barang baru bagi masyarakat Yensawai. Mereka gunakan anyaman serupa untuk bikin noken atau tas tradisional yang dipamerkan bagi orang yang berkunjung.

“Orang sini sudah terbiasa dengan anyaman-anyaman ini. Kita dorong kapowen sebagai wadah tanam yang kita sebut nursery bag,” kata Dadan Mulyana, peneliti senior Ekosistem Mangrove IPB University.

 

Rahab Saleo dan Kapowen yang sudah ditanami bibit mangrove Foto: Richaldo Y Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Eksperimen kapowen sebagai wadah tanam baru berjalan 8-12 bulan terakhir sejak Dadan dan tim Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB hadir mendampingi masyarakat Yensawai Timur dan Barat.

Tujuan penggunaan biomaterial dari sumber daya lokal ini sederhana, yakni menangkal isu sampah laut, mikro dan makro plastik yang bisa timbul kalau pakai polybag konvensional.

Kalau pakai polybag, kata Dadan, berpengaruh terhadap keberhasilan mangrove bertahan hidup setelah ditanam di pesisir. “Kalau polybag keberhasilan hidup hanya 30%, kapowen bisa sampai 90%,” kata Dadan.

Perbedaan itu karena kecenderungan plastik polymer polybag sukar terurai dalam waktu lama yang membuat pertumbuhan akar mangrove terganggu. Melepasnya secara manual pun akan berujung pada efek samping sama.

Sedangkan kapowen, bisa terurai dalam waktu empat bulan dan jadi pupuk organik yang berguna bagi pertumbuhan akar mangrove. Material lain seperti daun nanas bisa terurai dalam lima bulan dan anyaman bambu hingga sampai delapan bulan.

Bagi masyarakat Yensawai Barat, kapowen sebagai wadah tanam mangrove atau lamun pun menjadi sumber penghasilan tambahan. Dalam setiap kapowen yang diisi media tanam dan dipasang propagul, Rp10.000, harga polybag setengahnya, antara Rp5.000-Rp7.000.

“Masyarakat sejauh ini senang karena ada penghasilan tambahan buat mereka dari sini.” kata Dadan.

Hal itu diamini Yusefin Dimara, 56, yang juga masuk dalam kelompok penganyam kapowen sama seperti Ribka. Dia menyebut selama ini daun pandan jadi kerajinan seperti noken dan bakul dalam ukuran besar.

“Ini kami jadikan nursery bag yang berguna buat rehabilitasi mangrove dan lamun,” katanya.

 

Peran masyarakat

Peran aktif masyarakat jadi kunci keberhasilan rehabilitasi ekosistem pesisir di Yensawai Barat dan Timur. Warga yang mengenalkan dan membuat wadah pandan (kapowen). Warga pula yang kenalkan cara tanam dengan korbon pancang.

Korbon pancang merupakan istilah dari bahasa lokal. Korbon berarti propagul (buah mangrove) dan pancang atau potongan kayu yang ditancapkan ke tanah. Jadi, katanya, korbon pancang merupakan metode penanaman mangrove dengan mengikatkan ke potongan kayu sebagai penahan.

Pada prinsipnya, metode ini dengan menyatukan lima propagul Rizophora mucronata dalam satu ikatan. Setelah itu, bundelan diikat pada pancang yang nanti ditancapkan ke lokasi rehabilitasi mangrove di sepanjang pesisir barat Pulau Batanta.

Dia bilang, harus jadi perhati adalah posisi propagul tharus vertikal dengan bagian akar di bawah. Dengan demikian, bobot bundelan akan lebih berat di bagian bawah, sehingga jika ada yang jatuh akan menancap ke permukaan dengan mantap.

 

Kelompok Rehabilitasi Mangrove masyarakat Yensawai Barat sedang mengukur pertumbuhan Mangrove. Foto: ICCTF/PKSPL IPB

 

Nantinya, bagian akar tumbuh dan mengikat permukaan. Propagul ini, kata Dadan, merupakan sumber protein atau bahan makanan bagi pertumbuhan tanaman yang kerap disebut bakau urap.

“Saya jamin di seluruh Indonesia hanya ada di sini,” seru Dadan.

Dia sudah berkeliling di Indonesia dan menjadi aktor penanaman mangrove, namun korbon pancang hanya dapat ditemui di Yensawai Barat.

Di Yensawai juga ada metode yang bisa diterapkan di lokasi lain: penanaman yang mulai dari buah. Padaal, biasa rehabilitasi mangrove selalu mengandalkan bibit atau sudah ada daun yang keluar dari buah.

Dengan penanaman dari buah ini, mangrove diyakini lebih adaptif dengan kondisi lingkungan, terutama di Batanta yang arusnya sangat kencang. “Kami sudah pernah coba pakai bibit dan buah. Keberhasilan bibit hanya 30%, buah bisa 95%,” kata Dadan.

Memulai rehabilitasi dengan menanam Rizophora mucronata pun termasuk hal yang nyeleneh. Tanaman ini biasa ada di baris ke dua dari zonasi mangrove. Yang paling depan biasa, api-api (Avicennia) dan Sonneratia alba.

Pemilihan Rizophora mucronata sebagai tanaman pertama ini lantaran karakteristik permukaan di lokasi penanaman yang dominan pasir. Hasil dari material pulau yang tertarik oleh ombak.

“Jadi, kalau kita tanam api-api di zona pertama tidak akan kuat. Karena gelombang ini (kuat) dan buahnya yang besar. Kalau Sonneratia alba lebih kecil lagi seperti biji cabai jadi tidak bisa langsung”.

Nantinya, jenis lain seperti api-api bisa tumbuh secara alami ketika sedimen terperangkap oleh Rizophora mucronata yang tumbuh baik. Sejauh ini, keberhasilan korbon pancang sudah terlihat dengan tinggi Rizophora mucronata mencapai 150 cm dari modal propagul yang hanya sepanjang 70cm.

Korbon pancang ditanam masyarakat Yensawai delapan meter dari bibir daratan. Saat ini, sekitar 200 meter di pesisir barat Pulau Batanta sudah ada pancang-pancang dengan gerombolan propagul. Jarak antar pancang bisa mencapai 50 cm.

Nantinya, jika memungkinkan, jarak antara mangrove dengan daratan akan dipangkas. Caranya dengan menanam jenis tanaman mangrove lain.

Kalau berdasarkan zonasi, setelah Rizophora mucronata ada Rizophora apiculata, ada kawanan Bruguiera gymnorrhiza sampai Xylocarpus granatum sebagaimana terdapat di pesisr selatan Pulau Batanta. “Nanti ketika sedimen terperangkap, maka bisa tumbuh juga secara alami,” kata Dadan.

Belajar dari Yensawai, metode korbon pancang ini bisa diterapkan di berbagai wilayah Indonesia. Sebagai langkah awal, masyarakat Yensawai Barat terbuka untuk jadi laboratorium pembelajaran.

 

 

Metode Korbon Pancang yang baru ditanam di Yensawai Barat. Fotot: ICCTF/PKSPL IPB)

 

***

Kampung Yensawai Barat dan Yensawai Timur berada di Pulau Batanta. Ia salah satu lokasi program coral reef rehabilitation and management program – Coral Triangle Initiative (Coremap-CTI). Ia dijalankan Indonesia Cliamte Change Trust Fund (ICCTF) di bawah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). PKSPL IPB mitra yang bertanggung jawab di sini.

Pemilihan Yensawai Barat dan Timur dan Barat ini dilandasi atas kebutuhan rehabilitasi ekosistem pesisir kampung ini. Kondisi hutan mangrove, lamun dan terumbu karang di wilayah ini rusak, mulai dari tebar jaring sembarangan hingga penggunaan bom untuk penangkapan ikan.

Pesisir barat Pulau Batanta pun rawan abrasi karena ombak sangat kuat. Disitu satu titik yang menghadap ke arah utara, air laut menembus pagar tembok yang membatasi wilayah makam warga kampung dengan pantai.

Sepuluh tahun lalu, Pemerintah Raja Ampat membangun tembok beton yang melintang dari dermaga di Yensawai Timur sampai pesisir barat Batanta.

Seiring waktu, tembok panjang lebih satu km itu di beberapa titik terlihat tidak berguna lantaran pertahan tertembus air laut. Padahal, tebal tembok beton itu mencapai 30 cm.

Air laut nan ganas turut menggerus material dari darat dan menimbun ekosistem padang lamun yang terletak sekitar 10 meter dari luar tembok. Akibatnya, banyak lamun tak bisa tumbuh maksimal.

Melihat alam tak tunduk terhadap cara ini, maka perlu pendekatan berbeda. Dadan katakan, dengan istilah mitigasi hijau, yang berfokus pada penanaman ekosistem pesisir dan melibatkan masyarakat.

Rehabilitasi mangrove jadi satu fokus di Kampung Yensawai Barat dan Timur, bersama dengan ekosistem pesisir lain, padang lamun dan terumbu karang.

Sejauh ini, 7.350 propagul mangrve, 1.521 rumpun bibit lamun dan 1.650 fragmen karang berhasil direhabilitasi masyarakat dan PKSPL IPB sejak satu tahun terakhir.

Constantinus Saleo, dari kelompok rehabilitasi terumbu karang Yensawai Barat menyebut, mitigasi hijau ini perlu untuk menahan laju abrasi. Sebelum rehabilitasi, dia hanya bisa melihat miris tembok beton buatan pemda tergerus ombak.

“Mangrove ini juga penting untuk ikan bertelur dan menyaring limbah dari darat supaya tidak sampai karang,” katanya pada Mongabay.

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, setidaknya 1,4 juta hektar mangrove di Papua. Jumlah ini hampir separuh dari seluruh ekosistem mangrove nasional yang berjumlah 3,31 juta hektar.

Selain menyaring limbah dari darat, mangrove juga bisa melindungi daratan dari naiknya permukaan air laut, angin kencang dan ombak besar. Sangat cocok untuk pulau kecil seperti Batanta.

Awalnya, masyarakat Batanta sulit berpartisipasi dalam rehabilitasi ekosistem pesisir. Hal itu berubah ketika mereka bisa melihat mangrove bisa tumbuh dari upaya ini.

Hal ini ditandai dengan banyaknya ikan datang ke perairan sekitar Batanta hingga warga mudah menangkap dan tak perlu mencari di tempat jauh.

“Sekarang, malah banyak orang menegur mereka yang bermain di tempat rehabilitasi mangrove, lamun atau karang. Karena kami mulai lihat manfaatnya,” kata Constan.

Masyarakat, berperan penting dalam pencatatan dan pembersihan ekosistem pesisir. Semua dilakukan bersama-sama dengan sebelumnya membuat kelompok kerja.

“Kami kerja berkelompok, monitoring pembersihan karang, pengukuran mangrove dan amun. Itu semua kami catat dan lapor ke PKSPL,” kata Constan.

Tony Wagney, Direktur ICCTF mengatakan, penting partisipasi masyarakat dalam program Coremap-CTI. Masyarakat, katanya, yang paling paham menjaga keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal.

“Masyarakat tahu apa yang mereka butuhkan, makanya implementasi kegiatan selalu berbasis masyarakat,” katanya.

 

Pesisir Batanta. Foto: Richaldo Y Hariandja/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version