Mongabay.co.id

Gawat, Indonesia Hadapi Ancaman Kepunahan Burung Tertinggi di Dunia

 

Sebanyak 177 spesies burung di Indonesia masuk ke dalam kategori terancam punah, terdiri dari 96 spesies dalam kategori Rentan (Vulnerable/VU), 51 spesies dalam kategori Genting (Endangered/EN), dan 30 spesies dalam kategori kritis (Criticaly Endangered/CR), termasuk salah satunya adalah kakatua sumba (Cacatua citrinocristata) yang merupakan hasil pemecahan dari kakatua-kecil jambul-kuning yang berstatus kritis.

Hal ini berdasarkan data terbaru dari BirdLife International dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2022. Indonesia menjadi negara dengan jumlah spesies burung terancam punah terbanyak, mencapai 12 persen dari keseluruhan burung terancam punah di dunia.

Setiap tahunnya IUCN melakukan kajian ulang status keterancaman sejumlah spesies menanggapi perubahan tingkat ancaman, perubahan populasi, revisi taksonomi, maupun adanya data-data terbaru terkait spesies yang dikaji,” ungkap Achmad Ridha Junaid, Biodiversity Officer Burung Indonesia, kepada Mongabay, Jumat (29/4).

baca : Jumlah Jenis dan Risiko Kepunahan Burung di Indonesia Meningkat  

 

Hingga awal 2022, Indonesia kini didiami oleh sebanyak 1818 spesies burung. Sebanyak 177 spesies burung terancam punah. Foto: Burung Indonesia

 

Menurut Ridha, faktor utama penyebab keterancaman ini beragam mulai dari deforestasi, alihfungsi lahan hingga perburuan liar.

Sebenarnya antarspesies bisa berbeda penyebabnya, tapi yang paling umum terjadi adalah banyak spesies yang semakin terancam karena kehilangan habitat karena alihfungsi lahan. Di samping itu, perburuan juga semakin kelihatan berdampak signifikan pada pengurangan populasi burung di alam, utamanya untuk jenis-jenis burung kicau,” jelasnya.

Ridha memberi contoh kasus di Pulau Jawa di mana hutan dataran rendah yang tersisa hanya tinggal sedikit. Bahkan, alih guna lahan semakin mengarah ke wilayah dataran tinggi.

Ada penelitian yang terpublikasi pada tahun 2019 menyebutkan kalau hutan pegunungan Jawa bagian barat sudah berkurang 40 persen sejak tahun 1990. Pembukaan lahan untuk pertanian jadi salah satu faktor utamanya,” tambahnya.

Maleo senkawor (Macrocephalon maleo), puyuh sengayan (Rollulus rouloul), pergam hijau (Ducula aenea) merupakan tiga spesies yang mengalami peningkatan status keterancaman.

Dijelaskan Ridha, maleo senkawor mengerami telurnya dengan cara menimbun di dalam tanah. Namun, terdapat sekitar dua pertiga tempat peneluran maleo senkawor yang diketahui sudah tidak dikunjungi lagi oleh individu dewasa dan terjadi penurunan jumlah burung yang mengunjungi situs-situs peneluran yang masih aktif dalam tiga generasi terakhir. Hal tersebut mengindikasikan adanya penurunan populasi spesies ini.

Hutan dataran rendah yang terus berkurang di dalam area persebarannya, membuat maleo senkawor semakin terancam terhadap kepunahan, kini statusnya Kritis,” tambahnya.

baca juga : Maleo Senkawor, Burung Romantis yang Setia pada Pasangannya 

 

Maleo senkawor, burung endemik Sulawesi. Hanya ada di kawasan Wallacea. Foto: Burung Indonesia

 

Selain itu, populasi puyuh sengayan juga diperkirakan telah menurun 30 persen dalam tiga generasi terakhir yang diakibatkan hilangnya habitat dan aktivitas perburuan liar. Saat ini puyuh sengayan juga termasuk salah satu spesies terancam punah secara global dalam kategori rentan.

Sedangkan untuk pergam hijau juga semakin mengkhawatirkan karena penurunan populasi yang disebabkan hilangnya tutupan hutan sehingga masuk dalam kategori mendekati terancam (Near Threatened/NT).

Sementara itu, cerek jawa (Charadrius javanicus) yang sebelumnya dianggap memiliki sebaran yang terbatas, kini mengalami penurunan status keterancaman. Sebelumnya, burung tersebut dianggap hanya menghuni pesisir Pulau Jawa dan Pulau Kangean.

Namun dengan penambahan bukti dan laporan dari lapangan, spesies ini ternyata terkonfirmasi menghuni habitat pesisir selatan Sumatera (Lampung), Sulawesi, Meno, Semau, dan Flores.

Dengan demikian spesies tersebut tidak mendekati ambang batas kategori Rentan. Kini cerek Jawa dimasukkan ke dalam kategori Risiko Rendah,” tambah Ridha.

Sedangkan Iwan Febrianto, pengamat burung pantai migran dari Yayasan Ekologi Satwa Alam Liar Indonesia (EKSAI) mengatakan pernah menjumpai burung cerek saat pengamatan di Lampung pada 2007.

Selain itu, burung ini juga bisa dijumpai di Bima, Sulawesi, dan Bali. Karena persebarannya yang luas itu, pria dengan nama beken Iwan Londo ini menyarankan sebaiknya nama burung cerek jawa diganti saja dengan burung cerek nusantara.

Mulanya burung cerek jawa ini jadi satu dengan burung trinil. Namun, karena ada perbedaan secara morfologi akhirnya dipisah. “Mungkin dulu juga tidak banyak pengamat burung sehingga dianggap (cerek jawa) endemik. Sekarang ini kan banyak pengamat bermunculan sehingga informasi tentang spesies burung terus berkembang,” kata Iwan, saat dihubungi, Jum’at (13/05/2022).

Meski persebarannya luas, namun ancaman terhadap keberadaan burung cerek jawa juga besar, salah satunya adalah alih fungsi lahan. Karena secara ekologi burung ini lebih menyukai daerah lahan basah, terutama daerah pertambakan dan pantai.

Sedangkan sarangnya, biasanya juga berada di tengah-tengah tambak yang kering. Untuk itu, Iwan berharap keberadaan burung yang sering berbaur dengan burung pantai lainnya ini tetap dijaga dan dilestarikan. Selain itu, di alam burung cerek jawa bisa menjadi bahan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

menarik dibaca : Mengenal Burung Cerek Jawa, Si Mungil Penghuni Pesisir Pantai 

 

Burung Cerek Jawa saat ditemui di kawasan tambak garam di Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Penambahan Spesies

Keanekaragaman burung di Indonesia sendiri terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Hingga awal 2022, Indonesia kini didiami oleh sebanyak 1818 spesies burung. Hal ini terjadi karena adanya penggabungan dan juga pemisahan spesies burung.

Menurut Ridha, sejak awal 2021 hingga awal 2022, ditemukan penambahan spesies burung sebanyak delapan spesies. Tiga di antaranya berasal dari deskripsi spesies baru, dua berasal dari catatan perjumpaan baru untuk Indonesia, dan tiga spesies lainnya merupakan penambahan yang disebabkan adanya revisi pada klasifikasi atau taksonomi burung.

Tiga spesies baru yang baru dideskripsikan antara lain sikatan kadayang (Cyornis kadayangensis), kacamata meratus (Zosterops meratusensis), dan burungbuah satin (Melanocharis citreola). Sikatan kadayang dan Kacamata Meratus merupakan dua spesies burung yang tersebar sangat terbatas di Pulau Kalimantan. Keduanya diperkirakan hanya hadir di Pegunungan Meratus di atas ketinggian 1.000 mdpl yang saat ini dikelilingi hutan tanaman sekunder atau bentang alam perkebunan pada elevasi yang lebih rendah.

Meskipun keduanya disebutkan hadir cukup melimpah secara lokal, namun kehilangan habitat yang berkelanjutan dan perburuan mengancam populasi mereka di alam. Maka dari itu, para peneliti yang mendeskripsikan kedua spesies tersebut mengusulkan agar keduanya dikategorikan sebagai spesies terancam punah dalam kategori Rentan,” kata Achmad Ridha Junaid.

 

baca juga : Burungbuah Satin, Spesies Baru dari Papua 

Satin Berrypecker atau burungbuah satin. Foto: Borja Milla/Sci News

 

Burungbuah satin merupakan spesies baru dengan persebaran sangat terbatas di Pulau Papua. Burung ini ditemukan dari sebuah ekspedisi ornitologi yang dilaksanakan pada 2014 dan 2017 di Papua Barat. Temuan dari ekspedisi tersebut menunjukkan, burungbuah yang terdapat di Pegunungan Kumawa dan Pegunungan Fakfak memiliki perbedaan morfologi dan genetik dengan spesies burungbuah lainnya yang tersebar di Papua.

Burung tersebut diperkirakan hanya ada pada kedua hutan pegunungan tersebut ditetapkan sebagai spesies tersendiri,” ujarnya.

Sementara itu, penambahan dua spesies baru adalah kancilan ekor-hitam (Pachycephala melanura) dan tepus-permata mahkota (Ptilorrhoa geislerorum). Kedua burung ini memiliki persebaran utama di luar batas Indonesia, namun dari catatan hasil pengamatan terbaru membuktikan bahwa keduanya juga tersebar di tanah air.

Kancilan ekor-hitam memiliki persebaran utama di Australia dan Papua Nugini, kehadirannya di Indonesia terkonfirmasi melalui catatan pengamatan yang dikumpulkan melalui platform Sains Warga (e-Bird) dengan lokasi pengamatan berada di wilayah Pulau Komolom, Papua Barat. Sedangkan untuk tepus-permata mahkota sebelumnya diketahui tersebar terbatas di wilayah Papua Nugini, ternyata tersebar juga sekitar 900 km lebih jauh ke arah barat yaitu di Pulau Yapen, Papua.

Populasi tepus-permata mahkota di Pulau Yapen diperkirakan terisolasi dari populasi lainnya, sehingga perlu ada penelitian lebih lanjut untuk memastikan kemungkinan divergensi populasinya sebagai subspesies baru tersendiri,” ujarnya.

perlu dibaca : Atlas Burung Indonesia, Buah Keresahan Melihat Nasib Burung di Alam 

 

Kakatua sumba (Cacatua sulpurea citrinocristata) merupakan satu dari tiga spesies yang menambah dalam daftar spesies burung di Indonesia tahun 2022 setelah mendapatkan predikat sebagai spesies penuh. Foto: Burung Indonesia.

 

Adanya revisi pada taksonomi burung, khususnya pemecahan taksonomi, juga turut andil dalam penambahan jumlah spesies burung di Indonesia pada tahun ini. Kangkok ranting (Cuculus optatus), sikatan tanajampea (Cyornis djampeanus), dan kakatua sumba (Cacatua sulpurea citrinocristata) merupakan tiga spesies yang menambah dalam daftar spesies burung di Indonesia tahun ini setelah mendapatkan predikat sebagai spesies penuh.

Kangkok ranting dan sikatan tanajampea mendapatkan predikat spesies setelah adanya informasi baru yang membuktikan jika kedua taksa tersebut memiliki perbedaan karakteristik morfologi dan vokalisasi dengan taksa kangkok himalaya (Cuculus saturatus) dan sikatan bakau (Cyornis rufigastra) yang berkerabat dekat. Sementara itu, perbedaan karakteristik morfologi menjadi landasan utama pemecahan spesies kakatua sumba dari kakatua-kecil jambul-kuning (Cacatua sulpurea).

Ukuran paruh yang lebih besar, sayap dan ekor yang lebih panjang, bulu penutup telinga yang sebagian besar berwarna jingga pucat, dan jambul panjang berwarna jingga. Kemudian, paruh individu remaja kakatua Sumba lebih gelap dibanding remaja taksa kakatua-kecil jambul-kuning lainnya, sehingga memperkuat dasar pemecahan kakatua sumba sebagai spesies tersendiri,” tambahnya.

 

Exit mobile version