Mongabay.co.id

Ade Saskia Ramadina, Perempuan Muda Penjaga Mangrove di Lantebung

Kawasan ekowisata mangrove Lantebung adalah salah satu kawasan pesisir di Makassar, Sulawesi Selatan, yang cukup populer dikunjungi pengunjung dari berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir.

Boleh dikata kawasan ini adalah mangrove terakhir yang ada di Makassar di tengah maraknya alihfungsi kawasan seiring pembangunan kota yang masif menyasar kawasan pesisir.

Menurut catatan tahun 2018, mangrove di Makassar tersisa sekitar 56,61 hektar yang tersebar dari pesisir selatan hingga utara, yang jumlahnya semakin berkurang akibat berbagai aktivitas penimbunan pribadi dan reklamasi.

Saraba, salah seorang warga yang banyak terlibat dalam upaya perlindungan ini telah diganjar penghargaan Kalpataru kategori Pengabdi pada tahun 2020 silam. Lantebung pun semakin dikenal saat itu, membuat upaya perlindungan kawasan menjadi semakin mudah.

Namun, menjaga dan merawat mangrove di Lantebung adalah sebuah kerja kolaboratif melibatkan banyak pihak. Pemerintah Kota Makassar dan provinsi Sulsel sendiri telah memberi dukungan dengan regulasi perlindungan dan berbagai program penanaman. Begitu pun pihak-pihak lain, baik itu dari pemerintah, swasta, LSM, mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat lainnya.

Pemkot Makassar juga telah menjanjikan untuk terus berperan aktif, membangun kemitraan dengan masyarakat, serta aktif mengajak pemangku kepentingan lainnya khususnya dunia usaha untuk berkolaborasi mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan hutan mangrove lestari, laboratorium mangrove, pusat pendidikan lingkungan, dan destinasi wisata unggulan.

baca : Kasus Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar Terus Diusut, Aktivis Harap Ada Sanksi Pidana 

Kawasan ekowisata Lantebung, yang merupakan ‘kawasan mangrove terakhir di Kota Makassar, banyak dikunjungi wisatawan di akhir pekan dan hai libur. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Di Lantebung sendiri, selain Saraba, gerak dinamis perlindungan kawasan banyak diinisiasi oleh generasi muda. Mereka adalah anak-anak muda yang lahir dan tumbuh di Lantebung. Salah satu yang cukup menonjol adalah Ade Saskia Ramadina.

Usia Ade Saskia tergolong masih muda. Perempuan kelahiran 9 November 2000 ini kini menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teknologi Nusantara Indonesia, jurusan Teknik Lingkungan, sejak 2020 silam.

Keterlibatannya dalam turut menjaga dan merawat mangrove dimulainya sejak masih SMA beberapa tahun silam, yang terus berlanjut hingga sekarang. Hampir di semua program penanaman mangrove di Lantebung ia ikut terlibat membantu, baik dalam hal penyediaan bibit, penanaman hingga memberi edukasi.

Kepedulian Ade untuk menjaga mangrove di kampung halamannya punya cerita tersendiri. Sebelum banyak terlibat, ia hanyalah gadis biasa yang banyak bermain dan tak peduli pada apa pun di lingkungan sekitar. Namun suatu hari ia bermimpi kampungnya dilanda banjir rob menenggelamkan semua rumah yang ada.

Mimpi ini menyadarkan saya bahwa harus berbuat sesuatu untuk kampung, mangrove harus tetap lestari dan dilindungi jika tidak ingin hancur seperti apa yang saya lihat dalam mimpi,” ungkapnya pada Mongabay, Kamis (21/4/2022) silam.

Kawasan Lantebung sendiri dulu pernah mengalami bencana banjir dan angin kencang yang cukup parah sekitar tahun 1990-an. Ketika itu kondisi mangrove memang rusak parah akibat aktivitas penebangan yang cukup masif dilakukan masyarakat, selain untuk bahan bangunan dan perahu juga untuk arang dan kayu bakar.

baca juga : Tanam Mangrove di Lantebung, Upaya Gojek Hijaukan Makassar 

Ade Saskia Ramadina (dua dari kiri) berpose bersama Gubernur Sulsel dan Runner Up II Duta Wisata Sulsel. Ia aktif dalam perlindungan mangrove melalui Ikatan Keluarga Lantebung (Ikal) dan Jaringan Ekowisata Mangrove Lantebung (Jekomala), dan Hutan Merdeka, sejak usia belia. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Sejak mendapat mimpi tersebut Ade bertekad untuk terlibat di setiap program penanaman mangrove, dan bahkan aktif mengajak teman-teman sebaya dan yang lebih muda.

Ia juga banyak belajar tentang mangrove dari berbagai sumber, baik itu melalui artikel-artikel yang diperolehnya di internet dan buku-buku, juga dari diskusi dengan aktivis mangrove dan berdasar pengalaman di lapangan.

Tidak hanya terlibat dalam aktivitas di tingkat lokal melalui lembaga Ikatan Keluarga Lantebung (Ikal) dan Jaringan Ekowisata Mangrove Lantebung (Jekomala), ia juga memperluas jejaringnya dengan terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pihak luar. Salah satunya adalah melalui komunitas yang disebut Hutan Merdeka.

Hutan Merdeka sendiri awalnya adalah sebuah program kampanye dan penanaman mangrove yang diinisiasi oleh Yayasan Lindungi Hutan pada 2019 lalu. Aktivitasnya meliputi perkemahan anak muda, diskusi dan penanaman mangrove. Ratusan anak muda dari berbagai daerah ikut terlibat dalam kegiatan ini. Ade sendiri ditunjuk sebagai ketua panitia kegiatan saat itu.

Melihat besarnya antusiasme generasi muda terhadap kegiatan ini, tahun berikutnya, Ade kembali menginisiasi Hutan Merdeka 2, yang kini dilakukan secara mandiri tanpa dukungan dari Yayasan Lindungi Hutan namun hasil donasi dari sejumlah sponsor.

Tema perkemahan pada saat itu adalah ‘Selamatkan Mangrove Terakhir Kota Makassar’ dipilih punya maksud tersendiri, yaitu terkait kasus pengrusakan mangrove di kawasan itu pada April 2020.

Kita bikin kegiatan ini untuk mengajak teman-teman bersama menjaga mangrove ini, karena masih banyak yang tidak tahu persis kasus ini, bahkan dari warga Lantebung sendiri.”

baca juga : Kolaborasi Jaga Iklim, Puluhan Komunitas Makassar Tanam Mangrove di Lantebung 

Ade Saskia banyak terlibat dalam upaya penanaman mangrove di Lantebung yang dilakukan berbagai pihak, membantu dalam hal menyiapkan bibit, penanaman, dan edukasi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Ade bersama-sama teman-temannya aktif mengawal kasus ini, baik dengan mengikuti persidangan juga melalui kampanye di media sosial, diskusi-diskusi dan memberikan update perkembangan kasus ke berbagai pihak.

Selain Hutan Merdeka, Ade juga menginisiasi pembangunan Rumah Sampah untuk menampung sampah, khususnya sampah plastik yang masih banyak ditemukan di daerah tersebut dan berpotensi mencemari pesisir dan laut sekitar.

Ada rumah sampah yang bisa memberi manfaat ekonomi bagi warga sekaligus sebuah edukasi bagaimana melindungi daerah kami dari limbah-limbah plastik.”

Upaya lain yang dilakukan Ade adalah menghidupkan literasi baca di kalangan generasi muda. Ia aktif mengumpulkan donasi buku dan membuat lapak baca, baik itu di sekitar Lantebung maupun di berbagai kegiatan-kegiatan kepemudaan.

Untuk mengasah kemampuan organisasi, ia aktif mengikuti sejumlah diskusi dan kegiatan-kegiatan pelatihan, termasuk di mangrove.id. Ia berharap dapat mengembangkan sejumlah komunitas yang diampunya, serta melibatkan lebih banyak anak muda yang ada di sekitar lingkungannya.

Ia juga menggalang teman-temannya untuk bisa memiliki rumah pembibitan tersendiri, yang bisa memberikan keuntungan ekonomi sebagai modal untuk berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Terkait Hutan Merdeka yang diampunya, ia berharap kegiatan ini bisa dilakukan kembali tahun ini.

Semoga bisa dilaksanakan pada Agustus atau Oktober tahun ini. Momentum hari kemerdekaan atau hari sumpah pemuda,” katanya.

perlu dibaca : Mangrove Terjaga, Kesejahteraan Nelayan Meningkat di Lantebung 

Lantebung adalah kawasan wisata mangrove di Makassar yang banyak dikunjungi warga di akhir pekan. Kawasan ini menjadi lokasi penanaman mangrove berbagai pihak, termasuk Pemprov, Pemkot, TNI, BUMN, mahasiswa, komunitas , dll. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Tantangan Menjaga Kawasan

Kawasan mangrove Lantebung sendiri meskipun kini lebih terjaga namun belum sepenuhnya bebas dari ancaman pengrusakan. Kasus pengrusakan yang terjadi pada 2020 lalu meski telah diproses secara hukum namun tidak serta merta mengurangi ancaman akibat pembangunan pesisir yang masif.

Daerah yang dulu menjadi masalah kini ditutup akses untuk warga dan bahkan ada pembangunan pesantren di dalamnya. Setiap masuk ke sana ada yang jaga, ditanya macam-macam apa tujuan ke sana, padahal itu kawasan publik. Bahkan sudah ada pembangunan jalan cor ke lokasi tempat pengrusakan terjadi,” jelasnya.

Ancaman lainnya adalah rencana pembangunan rel kereta api yang lintasannya berada di kawasan mangrove. Apalagi dalam RTRW Makassar kawasan tersebut dimasukkan dalam kawasan reklamasi untuk pengembangan energi.

Ade sendiri belum mengetahui secara pasti bagaimana perkembangan pembangunan rel tersebut, namun jika dilanjutkan dengan skema semula akan sangat mengganggu mangrove yang ada di sana.

Tantangan lainnya adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk turut menjaga mangrove, tidak hanya di generasi tua namun juga anak mudanya. Apalagi di tengah kesibukan mereka untuk bekerja ataupun sekolah.

Tantangan lain terkait pengembangan Jekomala sebagai lembaga pengelola kawasan wisata, masih banyak yang harus dibenahi, mulai dari kesadaran dan motivasi, pengembangan kapasitas, dan transparansi pengelolaan,” tambahnya.

Exit mobile version