Mongabay.co.id

Unik, Buah Kelapa Dapat Dijadikan Mahar Perkawinan

 

 

Sebagai negara tropis, bisa dipastikan hampir semua tempat di Indonesia memiliki pohon kelapa. Daging buah kelapa ini dapat dikeringkan, dimakan segar, atau diolah menjadi santan. Sementara airnya memiliki manfaat untuk kesehatan.

Menurut Hari Suroto, Peneliti Arkeologi dari BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], selain tersebar secara alami, tanaman kelapa juga disebarluaskan oleh orang-orang berbahasa Austronesia. Mereka adalah pelaut ulung.

Sekitar 3.000 tahun lalu, orang Austronesia berlayar dari Kepulauan Filipina, ke selatan menuju Sulawesi serta ke timur hingga Kaledonia baru di Pasifik Selatan. Mereka berlayar antar-pulau menggunakan perahu bercadik sambil mendirikan permukiman baru.

“Tanaman kelapa sangat berguna bagi mereka, berfungsi sebagai penanda permukiman baru di pulau yang mereka tempati. Selain itu, buah kelapa berfungsi sebagai bekal selama pelayaran, dagingnya dapat dimakan dan airnya untuk diminum,” kata Hari Suroto kepada Mongabay.

Pada masa lalu, sabut kelapa digunakan dalam pembuatan tali, tikar, keranjang, kuas, dan sapu. Batok kelapa berfungsi sebagai piring, gayung air, sendok dan gelas air minum. Saat ini, peralatan berbahan batok kelapa sulit ditemui dan jarang digunakan, sejak adanya peralatan yang terbuat dari plastik dan aluminium. Sehingga sabut dan batok kelapa hanya berfungsi sebagai bahan bakar saja.

Saat ini Indonesia merupakan penghasil kelapa terbesar di dunia disusul oleh Fhilipina dan India.

Baca: Maksimalkan Potensi Minyak Kelapa, Mengapa Tidak?

 

Pohon kelapa yang tidak hanya buahnya yang bisa dimanfaatkan, tetapi juga daun dan batangnya. Foto: Pixabay/Public Domain/Sellersmark1

 

Memanfaatan Kelapa

Hari mengatakan, ada salah satu pulau di Kawasan Teluk Cendrawasih, di lepas pantai Nabire, Papua, yang hampir keseluruhannya ditumbuhi pohon kelapa. Pulau tersebut bernama Pulau Kapotar, di Kepulauan Moora.

Nama lain pulau ini adalah Pulau Panjang dan wisatawan sering menyebutnya Pulau Mowirin. Pohon kelapa ini tumbuh alami di tepi pantai, dan sebagian sudah dibudidayakan secara intensif oleh warga.

Pulau Kapotar merupakan pulau tidak berpenghuni, perkampungan warga berada di Pulau Mambor yang terletak di sebelah selatan Pulau Kapotar. Warga Mambor hanya sesekali datang ke Pulau Kapotar, untuk mencari teripang saat air surut, membersihkan kebun atau memanen kelapa. Pohon kelapa di Pulau Kapotar pada umumnya tinggi-tinggi.

“Uniknya pada batang pohonnya tidak dibuat pijakan kaki untuk memanjat. Kelapa di Pulau Kapotar hanya diambil buahnya yang tua saja. Cara mengambilnya sangat unik, tidak perlu dipanjat. Pemilik kebun kelapa hanya mengumpulkan buah-buah kelapa tua yang jatuh,” ungkap Hari akhir pekan lalu.

Baca: Ternyata Kelapa Bisa Dibuat Kopyor Semua dalam Satu Pohon, Bagaimana Caranya?

 

Buah kelapa bermanfaat untuk kesehatan manusia. Foto: Pixabay/Public Domain/ID 4170730 

 

Buah kelapa Pulau Kapotar dikenal memiliki daging tebal, lebih keras dan kadar airnya tidak terlalu banyak. Oleh warga Mambor buahnya diolah menjadi minyak kelapa. Mereka tidak terpengaruh oleh isu minyak goreng yang langka di pasaran hingga saat ini.

Minyak kelapa ini mereka manfaatkan untuk menggoreng ikan atau menumis sayuran. Ikan atau sayur dimasak tanpa bumbu, hanya dengan minyak kelapa buatan sendiri. Proses memasaknya menggunakan kayu bakar, perpaduan yang menghasilkan masakan enak.

“Kuliner khas dari Pulau Mambor menggunakan pisang tanduk dan keladi dimasak santan.”

Bagi masyarakat pulau ini, minyak kelapa sudah menjadi bumbu tumisan dengan aroma harum dan gurih, walau tanpa garam. Kuliner berbahan kelapa lainnya yaitu pisang tongkat langit bakar, dimakan dengan kelapa tua mentah, tanpa diparut. Perpaduan rasa pisang yang manis dan gurihnya kelapa tua.

“Untuk melestarikan tanaman kelapa di Pulau Kapotar, perlu dilakukan perbanyakan bibit dari pohon induk terpilih, lalu ditanam di wilayah lainnya di Papua,” ujar Hari.

Baca: Tanpa Minyak Sawit, Kita Terus Masak dan Mandi

 

Warga Mambor mengolah kelapa tua di Pulau Kapotar, Nabire, Papua. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Kelapa sebagai mahar perkawinan

Menariknya, di beberapa tempat di Indonesia, kelapa memiliki arti penting dalam sosial budaya masyarakatnya. Bagi masyarakat Wawoni, di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, kelapa dijadikan sebagai mahar perkawinan adat yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita sesuai dengan keputusan hukum adat yang berlaku. Lalu dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur sistem perkawinan adat masyarakat Wawoni.

Kelapa dijadikan sebagai mahar perkawinan karena, pertama, berkaitan erat dengan ketersediaan sumber daya alam serta falsafah dalam membangun rumah tangga pada masyarakat Wawoni. Kedua, pohon kelapa yang boleh dijadikan mahar dalam perkawinan yaitu pohon kelapa yang sudah berbuah dengan klasifikasi tertentu.

Selain di Wawoni, bagi masyarakat Gorontalo, kelapa juga menjadi salah satu syarat utama dalam melakukan pesta perkawinan adat. Ketika mempelai pria melamar mempelai wanita, maka wajib memberikan tumula atau tunas kelapa. Tunas kelapa dimaknai sebagai biisalawa, atau pembicaraan awal.

Tunas disimbolkan sebagai awal, karena tunas dalam bahasa Gorontalo adalah tumula yang dimaknai sebagai awal mula. Artinya dalam ritual tersebut tunas kelapa dipadankan dengan pembicaraan awal, kesepakatan, atau ikrar, yang telah disampaikan dihadapan khalayak dan sanak keluarga sehubungan dengan pelaksanaan prosesi akad nikah pada hari pernikahan.

 

Buah kelapa di Pulau Kapotar yang hanya diambil buah tuanya saja. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Di daerah lainnya, yakni di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, kelapa juga dijadikan sebagai mahar perkawinan dan memiliki status sosial. Di daerah ini kelapa memiliki fungsi yang cukup bernilai. Pandangan hidup bagi orang-orang dalam masyarakat Selayar pada umumnya, bahwa kelapa yang paling kurang 80 pohon sebagai mahar bagi golongan pattola  [bangsawan], merupakan suatu ciri kebangsawanan di pihak perempuan dan pihak laki-laki dalam suatu hubungan perkawinan.

Menurut paham masyarakat ini, apabila seseorang tidak mempunyai pohon kelapa yang didapatkan sebagai warisan dari leluhurnya, dapat dikatakan bahwa leluhurnya bukanlah golongan pattola atau bangsawan dan sekaligus bukan golongan yang dapat dijadikan pemimpin masyarakat, penguasa atau menjadi pemerintah di dalam kampung.

“Disamping itu dapat pula dikatakan bahwa seluruh kehidupan masyarakat tergantung pada keadaan kelapa karena hampir seluruh perekonomian mereka ditentukan oleh kelapa baik dari segi pertanian maupun dari segi perdagangan,” ungkap Lenrawati dan Nurul Adliyah Purnamasari, peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan.

 

Exit mobile version