Mongabay.co.id

Hari Keanekaragaman Hayati Internasional: Babirusa dan Ancaman Kepunahan yang Nyata

 

 

Sejak tahun 2000, Hari Keanekaragaman Hayati Internasional atau The International Day for Biological Diversity diperingati setiap tanggal 22 Mei.

Indonesia merupakan negara yang memiliki keaneragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Namun, kekayaan tersebut baru sebatas wilayah teresterial. Jika digabungkan dengan lautan, Indonesia berada di peringkat pertama dunia.

Perayaan keanekaragaman hayati kali ini mengambil tema “Building a shared future for all life” atau Bersama Membangun Masa Depan untuk Semua Kehidupan. Di Gorontalo, acara digelar dengan membahas satwa unik, endemik, dan juga ikonik Pulau Sulawesi, yaitu babirusa dan ancaman habitatnya.

Nama yang cukup unik karena menggabungkan dua nama hewan. Megafauna terestrial ini dapat juga ditemukan di Pulau Buru [Maluku] dan Kepulauan Sula [Maluku Utara].

“Satwa ini dapat dijumpai di hutan-hutan Gorontalo seperti Hutan Suaka Margasatwa Nantu, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, hingga hutan di bagian barat Gorontalo seperti di Kabupaten Pohuwato,” ungkap Debby Mano, Koordinator SIEJ Gorontalo dan juga Perkumpulan BIOTA [Biodiversitas Gorontalo].

Baca: Kisah Sepasang Suami Istri di Togean Bersahabat dengan Babirusa

 

Babirusa yang secara genetik lebih dekat kekerabatannya dengan babi ketimbang rusa. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Hanom Bashari, Biodiversity Specialist, menjelaskan untuk populasi babirusa saat ini belum ada penelitian atau literatur yang pasti menyebutkan angkanya. Namun, berdasarkan IUCN, populasinya tidak lebih dari 10 ribu ekor untuk seluruh Pulau Sulawesi.

Lokasi terbaik babirusa berada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, bentang alam blok Popayato-Paguat, dan Suaka Margasatwa Nantu yang hutannya masih terjaga.

“Babirusa Sulawesi biasanya berkelompok. Anaknya satu sampai dua ekor, tidak banyak seperti babi hutan. Mereka bisa hidup sampai 20 tahun-an,” jelas Hanom, Minggu [22/05/2022].

Habitat babirusa, kata Hanom, hampir seluruh hutan primer dataran rendah Sulawesi. Baik itu lembah, area datar, atau tepi sungai. Kadang di tepi hutan sekunder. Hewan ini memiliki habitat khusus yakni area rawa atau tergenang air dan juga sumber mata air bergaram [salt lick].

“Perburuan dan perdagangan masih menjadi ancaman utama. Berkurangnya hutan-hutan primer di Sulawesi akibat pembalakan dan konversi menjadi lahan budidaya juga harus diwaspadai,” ungkapnya.

Baca: Mengapa Satwa Endemik Sulawesi Ini Bernama Babirusa?

 

Babirusa yang terpantau keberadaannya di Pulau Buru, Maluku, melalui pemasangan kamera jebak sejak April hingga Juni 2021. Foto: Dok. KLHK/BKSDA Maluku

 

Bagus Tri Nugroho, Kepala SPTN 1 Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW],  menjelaskan bahwa babirusa merupakan satu dari empat satwa prioritas utama yang dilindungi di kawasan TNBNW. Pihaknya sudah melakukan pengendalian perburuan dan perdagangan ilegal babirusa.

Program lainnya adalah pengelolaan habitat, pembangunan sistem pangkalan data, peningkatan peran lembaga konservasi, komunikasi dan penyadartahuan publik, pengembangan kerja sama dan kemitraan, serta pendanaan berkelanjutan.

“Kami setiap tahun melakukan pemantauan rutin, baik anoa, babirusa, maupun maleo dengan cara transek, point count, dan pemasangan camera trap,” ungkapnya.

Sejak 2019, pihaknya sudah melacak lokasi yang aman untuk pemantauan babirusa.

Site ini membantu memprediksi populasi babirusa di TNBNW dengan model pendekatan parameter okupansi.”

Selain Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, kawasan yang juga menjadi habitat babirusa adalah Suaka Margasatwa Nantu yang secara administrasi terletak di Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo, dan Kabupaten Gorontalo Utara.

Pada tahun 1999 Suaka Margasatwa Nantu ditetapkan dengan luas 31.215 Ha, kemudian diperluas pada tahun 2010 menjadi 51.507,33 Ha berdasarkan SK Menhut No.325/Menhut-II/2010.

Baca: Apakah Babirusa dan Rusa Memiliki Hubungan Kekerabatan Secara Genetik?

 

Taring babirusa. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Nelson Pomalingo, Bupati Kabupaten Gorontalo, mengakui keberadaan Hutan Nantu sangat penting untuk babirusa. Meski begitu, bukan berarti bebas ancaman. Sebut saja Hutan Produksi Terbatas [HPT] Boliyohuto yang mulai dirambah dan dikhawatirkan berdampak pada ekosistem Hutan Nantu.

“Untuk mempertahankannya, kami mengusulkan perubahan HPT Boliyohuto menjadi Taman Hutan Rakyat [Tahura]. Lokasi HPT berbatasan dengan Nantu,” paparnya.

Dia menjelaskan, kawasan tahura dapat berfungsi sebagai zona penyangga [buffer zone] Hutan Nantu. Usulan perubahan kawasan tersebut sudah melalui kajian dan penelitian, serta telah diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Di tingkat nasional sudah ada tim yang melakukan penilaian dan hasilnya sangat layak menjadi tahura,” ujar Nelson.

Baca juga: Tidak Hanya di Sulawesi, Babirusa Ditemukan juga di Pulau Ini

 

Meidy bersama Coco, babirusa togean liar yang telah menjadi sahabat mereka di Pulau Malenge, Togean. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Morfologi Babirusa

Saat ini terdapat tiga spesies babirusa yang masih hidup dan satu spesies yang hanya ditemukan dalam bentuk fosil. Tiga spesies itu adalah; Babirusa sulawesi [Babyrousa celebensis], Babirusa berbulu lebat atau hairy babirusa [Babyrousa babyrussa] yang terdapat di Kepulauan Sula dan Pulau Buru, serta Babirusa togean atau Togean Babirusa [Babyrousa togeanensis]. Satu spesies yang sudah punah adalah Babirusa Bolabatu [Babyrousa bolabatuensis] yang ditemukan dalam bentuk fosil di semenanjung selatan Sulawesi.  

Secara morfologi, setiap spesies babirusa telah dideskripsikan oleh Abdul Haris Mustari, dosen pada Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor [IPB], dalam bukunya “Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi” tahun 2020.

Babirusa Sulawesi yang persebarannya di daratan utama Sulawesi memiliki ciri bertubuh pendek dan rambut jarang.

Babirusa berbulu lebat yang terdapat di Kepulauan Sula dan Pulau Buru, sebagaimana namanya memiliki rambut pada tubuh panjang dan tebal.

Sedangkan babirusa togean yang berada di Pulau Malenge, Talatako, Togean, dan Batudaka, mempunyai ciri rambut pada tubuh pendek dan jarang dibandingkan Babyrousa babyrussa.

Babirusa jantan memiliki dua taring besar [panjangnya mencapai 300 mm] yang menembus kulit moncong lalu mencuat bengkok ke belakang sampai di depan mata. Sedangkan pada betina taring lebih pendek atau bahkan tidak tumbuh mencuat keluar seperti jantan.

Babirusa jantan dapat dikenali juga dari keberadaan skrotum yang cukup besar. Sedangkan babirusa betina memiliki vulva.

Berdasarkan Badan Konservasi Dunia IUCN [International Union for the Conservation of Nature] babirusa berstatus Rentan [Vulnerable/VU]. Di dalam negeri, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/2018, babirusa merupakan jenis satwa liar dilindungi.

 

Exit mobile version