- Sebagian kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang sudah menjadi kebun sawit. Kawasan konservasi yang seharusnya ‘rumah’ beragam tumbuhan maupun pepohonan ini malah berisi tanaman sawit ‘rapi’ berjejer.
- Eva Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit Sulawesi Tengah, menemukan, PT KLS memperluas perkebunan sawit 562,08 hektar di SM Bakiriang. Perusahaan, mengorganisir warga hingga terkesan masyarakat yang merambat kawasan konservasi.
- Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengaku pada 2017, menemukan ada perambahan untuk perkebunan sawit seluas 1.005 hektar di SM Bakiriang. Mereka juga menemukan ada 68 keluarga penggarap sawit plasma seluas 250 hektar untuk diserahkan kepada PT KLS.
- Temuan Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) setelah terbit Inpres soal penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan perkebunan sawit, terjadi ekspansi perkebunan sawit di Suaka Margasatwa Bakiriang. Temuan Komui, terhitung 1 Januari 2019 sampai 30 September 2021, sekitar 1.077 hektar.
Tanaman sawit menjulang setinggi sekitar 10-15 meter di kiri kanan jalan kala menelusuri Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Banggai, Sulawesi Tengah, April lalu. Dalam satu batang, rumpun buah terlihat jarang. Ada yang berbuah, ada yang tidak. Inilah pemandangan kebun sawit di dalam Suaka Margasatwa Bakiriang.
Kawasan konservasi yang seharusnya ‘rumah’ beragam tumbuhan maupun pepohonan ini malah berisi tanaman sawit ‘rapi’ berjejer. Suaka Margasatwa Bakiriang bak berubah jadi ‘hutan’ sawit.
“Dahulu, hutan disini sangat lebat, banyak pepohonan. Sekarang, tinggal kenangan, sudah jadi sawit,” kata Ismail Nurdin, petani Desa Sinorang, awal April lalu.
Ismail cerita, dulu dia salah satu petani yang pernah membuka kebun sawit di kawasan konservasi itu. Pada 2002, dia bersama 25 petani lain membuat kelompok untuk buka lahan sekitar 50 hektar kawasan hutan ini.
Setiap orang, bertugas membuka dua hektar, satu hektar jadi kebun plasma, dan satu hektar kebun inti– nantinya diserahkan ke perusahaan sawit, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS).
Setelah kebun berhasil dibuka, KLS akan memberikan modal dan bibit kepada mereka. Kemudian, petani diarahkan mendapatkan surat keterangan kepemilikan tanah (SKPT) dari pemerintah desa.
Alih-alih mendapatkan SKPT, Ismail dan rekan yang lain malah dibohongi Ketua Kelompok Petani mereka. Kebun yang dibuka di kawasan konservasi itu diberikan langsung kepada KLS tanpa penyelesaian sesuai pembicaraan awal.
“Kita tidak dapat apa-apa, kebun yang susah payah kita buka tak menjadi milik kita. Hanya ketua kelompok yang senang, mereka yang menikmati hasil jerih payah kita. Perusahaan yang mengambil alih semua lahan yang kita buka saat itu,” kata Ismail. Hingga kini, kakek 72 tahun ini tak punya kebun.
Baca juga: Konflik dengan Warga Belum Usai, Kasus Sawit di SM Bakiriang Selesai Lewat Kesepakatan Restorasi?
Serupa dialami Merid Saido, rekan Ismail. Kekecewaan 20 tahun lalu itu belum hilang. Meski begitu, dia tak pernah protes. Dia bingung juga harus bagaimana.
Dengan kehidupan serba terbatas tanpa lahan tani, Merid dan Ismail memilih tetap tinggal di Suaka Margasatwa Bakiriang bersama keluarga mereka.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah pernah meminta mereka keluar karena berada di kawasan konservasi. Mereka bertahan.
Warga menilai, perusahaan saja bisa tetap beroperasi di kawasan konservasi, mengapa mereka yang tak memiliki apa-apa tak boleh. Ada juga warga sekitar membuka lahan untuk tanam jagung, singkong, kakao dan lain-lain.
Di SM Bakiriang juga ada sejumlah sarana dan prasarana atau fasilitas umum seperti sekolah dasar, pemukiman, rumah ibadah.
Merid bilang, negara harus adil melihat persoalan di SM Bakiriang, tak bisa langsung menyalahkan masyarakat.
“Kalau kita diminta pemerintah tidak tinggal di kawasan konservasi sini, terlebih dahulu usir dulu perusahaan sawit yang sudah lama membuka di dalam kawasan ini agar adil,” katanya tegas.
Baca juga: Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Perparah Krisis Iklim
Penetapan SM Bakiriang
Kawasan SM Bakiriang pertama ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Raja Banggai No. 4/1936 seluas 3.500 hektar terletak di Komplek Hutan Pegunungan Batui. Ia memanjang ke selatan sampai ke pantai muara Sungai Bakiriang.
Kawasan hutan ini diapit dua kampung besar yaitu Moilong dan Sinorang, yang dulu masuk Kecamatan Batui.
Dalam catatan BKSDA Sulteng, pada 30 Agustus 1989, Gubernur Tingkat I Sulawesi Tengah melalui Surat Keputusan Gubernur No. SK. 188.44/3932/DINHUT/89, merekomendasikan luasan SM Bakiriang jadi 3.900 hektar. Rekomendasi itu terakomodir dalam struktur tata ruang provinsi (STRP) Sulawesi Tengah yang disahkan gubernur berdasarkan Keputusan Nomor 522.1/1029/1996.
Pada 1998, Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 398/Kpts-II/1998 tertanggal 21 April 1998 tentang penunjukan areal hutan Bakiriang terletak di Kabupaten Banggai, jadi Suaka Margasatwa Bakiriang seluas 12.500 hektar.
Pada 2010, BKSDA Sulteng mengeluarkan surat dengan Nomor: S.930/IV.BKSDA.K-26/2010 dengan menyatakan Suaka Margasatwa Bakiriang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi seperti burung maleo dan anoa, dan juga memiliki tipe ekosistem hujan hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan sekunder.
Kemudian, 8 Mei 2014, Menteri Kehutanan kembali mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 3.675 soal Suaka Margasatwa Bakiriang dari 12.500 hektar turun jadi 12.309,80 hektar. Ada 191 hektar hilang karena perambahan dan alih fungsi ke perkebunan sawit.
Berawal dari izin hutan produksi
Suaka Margasatwa Bakiriang pelan-pelan terdegradasi dan jadi korban ekspansi perusahaan sawit berawal dari izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Berkat Hutan Pusaka (BHP). Izin konsesi itu bernomor SK 146/Kpts-II/1996 seluas 13.400 hektar yang terbit 1 April 1996.
Awalnya, BHP merupakan perusahaan patungan antara PT KLS, pemilik 60% saham dan PT Inhutani. KLS mengakuisisi saham Inhutani, dan jadi pemilik tunggal.
Data dari Yayasan Kompas Peduli Hutan menyebutkan, pada tahun sama, pembukaan lahan mulai dilakukan dengan dana pinjaman dari pemerintah untuk menanam sengon dan akasia, sebesar Rp11 miliar. Kenyataan lapangan berbeda, pengolahan HTI itu berubah jadi kebun sawit.
Izin HTI ini diduga jadi alat untuk pembersihan lahan (land clearing) pada hutan alam yang tepat di atas hak guna usaha (HGU) Nomor 15/HGU/1991 tertanggal 2 Oktober 1991 seluas 6.010 hektar.
Anehnya, pada 2005, terbit juga izin lokasi pada area itu dengan luasan sama seperti HGU oleh Bupati Sudarto. Saat itu, keluar surat dengan nomor SK 503/10.52/BPN tentang perpanjangan izin lokasi kepada KLS untuk keperluan usaha perluasan perkebunan sawit di Desa Sinorang.
Kondisi ini menciptakan kebingungan secara administrasi. Pasalnya, administrasi penguasaan lahan itu berada pada izin HGU yang terbit dahulu pada 1991, sedangkan izin lokasi kemudian terbit pada 2005. Alhasil, kebun sawit terus sampai masuk SM Bakiriang.
Eva Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit Sulawesi Tengah, menemukan KLS memperluas perkebunan sawit 562,08 hektar di SM Bakiriang.
Perusahaan, katanya, mengorganisir warga hingga terkesan masyarakat yang merambat kawasan konservasi.
Pada 2017, Eva pernah mengirimkan surat pengaduan dan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menindak penerobosan SM Bakiriang oleh dua perusahaan, yakni KLS dan BHP.
Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi Wilayah II langsung turun mengecek penerobosan SM Bakiriang yang dilaporkan itu.
Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengaku pada 2017, menemukan ada perambahan untuk perkebunan sawit seluar 1.005 hektar di SM Bakiriang.
Mereka juga menemukan ada 68 keluarga penggarap sawit plasma seluas 250 hektar untuk diserahkan ke KLS.
Dengan temuan itu, kata Subagyo, Oktober 2019, KLS bersama BKSDA Sulteng membuat kesepakatan perjanjian untuk rehabilitasi atau restorasi dalam kawasan konservasi yang sudah bersawit itu.
KLS bersedia memfasilitasi lapangan pekerjaan untuk petani plasma dan relokasi.
KLS juga membuat kesepakatan dengan BKSDA Sulteng, yaitu soal perambahan akan selesai dengan non litigasi atau di luar jalur hukum. KLS siap dapat sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Subagyo bilang, BKSDA Sulteng memfasilitasi penyelesaian kesepakatan itu.
“Namun, saya belum mengetahui apakah masalah itu sudah diselesaikan BKSDA Sulawesi Tengah atau belum. Penyelesaian masalah itu oleh mereka. Saya juga belum mendapatkan informasi terbaru soal itu,” kata Subagyo, 10 April lalu.
Temuan deforestasi
Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) evaluasi pakai Citra Satelit Sentinel dengan membuat data time series hasil tumpang susun izin perkebunan sawit KLS, dengan peta kawasan hutan, database eksisting sawit 2020 dan data-data spasial pendukung lain.
Mereka menemukan, sejak 2000-2020, deforestasi bruto dampak land clearing untuk perluasan perkebunan sawit mencapai 19.972 hektar.
Komiu juga mencatat detail deforestasi berdasarkan jenis kawasan hutan oleh PT. Berkat Hutan Pusaka (kini KLS) di beberapa wilayah yang sudah ditebang atau dikonversi jadi sawit. Yakni, area penggunaan lain (APL) 11.403,50 hektar, hutan produksi 3.468,18 hektar. Kemudian, hutan produksi terbatas (HPT) 1.209,39 hektar, dan hutan lindung 112,83 hektar.
Suaka Margasatwa Bakiriang, pun tak luput dari deforestasi karena berubah jadi kebun sawit sekitar 3.532,46 hektar. Sekitar 1.077 hektar dari jumlah itu, merupakan pembukaan baru dari 2019-2021. Sekitar 931 hektar eksisting sawit, serta 1.524 hektar belum teridentifikasi pasti, tetapi diduga bisa jadi sawit muda.
Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Komiu mengatakan, data evaluasi dengan Citra Satelit Sentinel ini pada Januari 2020 dan diverifikasi di lokasi pada Februari 2022.
Dia bilang, sawit dalam kawasan konservasi itu sudah sangat lama. Bahkan, BKSDA Sulawesi Tengah tahu, namun sampai kini tak jelas penyelesaian kasusnya.
Parahnya lagi, pasca terbit Inpres soal penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan perkebunan sawit atau biasa populer dengan sebutan Inpres Moratorium Sawit ini, katanya, KLS masih ekspansi perkebunan sawit di Suaka Margasatwa Bakiriang. Temuan Komui, ini terhitung sejak 1 Januari 2019 sampai 30 September 2021 sekitar 1.077 hektar.
Padahal, kata Gifvents, sebelum terbit inpres sudah ada sawit eksisting di kawasan konservasi ini dan diduga punya KLS seluas 931 hektar.
Meski begitu, katanya, sawit di dalam kawasan konservasi perlu verifikasi langsung ke petani. Karena petani mengaku sawit milik mereka. Anehnya, pola tanam petani sama dengan pola tanam perusahaan.
“Harus diverifikasi langsung ke petani, apakah sawit yang ada di dalam konservasi itu kebun plasma atau bukan. Misal, pembukaan lahan itu atas perintah dari perusahaan atau tidak. Biasanya, ada perjanjian antara petani dan perusahaan. Itu yang harus dicari tahu,” katanya.
Pada 1 April 2022, Mongabay mendatangi kantor KLS di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Soho, Kota Luwuk, Banggai, untuk menanyakan seputar masalah ini. Perusahaan menyerahkan agar meminta penjelasan kepada BKSDA Sulteng.
Sejak April hingga Mei 2022, Mongabay berusaha menghubungi Hasmuni Hasmar, Kepala BKSDA Sulawesi Tengah. Namun, Hasmuni tak merespon panggilan telepon, maupun pesan WhatsApp. Dia baca pesan itu tetapi tak menanggapi hingga kini. Beberapa pegawai BKSDA Sulteng juga menolak ketika dimintai keterangan.
Penyangga lingkungan
Bakiriang, kata Gifvents, merupakan kawasan hutan yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan di Kecamatan Batui, Batui Selatan, Moilong, dan Toili.
Di sni, ada beberapa sungai jadi sumber air minum dan irigasi pertanian masyarakat. Sungai Sinorang, yang terbesar dan berhulu di Pegunungan Batui. Ada juga Sungai Toili dan Tumpu, yang mengalir pada bagian timur Pegunungan Batui.
Di daerah pantai, ada Sungai Bakiriang, berhulu di Perbukitan Bakiriang dan bagian dari pegunungan batu kapur atau gamping.
Catatan BKSDA Sulteng, sungai-sungai ini sebagai sumber pengairan bagi sawah dan kebun penduduk sekitar.
Menurut Gifvents, kalau deforestasi terjadi di sekitar kawasan dan Bakiriang, akan berdampak besar terhadap lingkungan hidup.
Dini Hardiani Has, Magister Konservasi Biodiversitas Tropika Institute Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, Bakiriang salah satu kawasan penyangga utama pangan masyarakat sekitar. Kawasan itu, katanya, memiliki biodiversitas tinggi hingga harus dilindungi.
Ketika kawasan itu terdegradasi, katanya, sangat mengkhawairkan. Penetapan kawasan sebagai suaka margasatwa, katanya, antara lain guna melindungi satwa dari kepunahan. Di sana ada satwa langka dilindungi seperti burung maleo (Macrocephalon).
Perusakan Bakiriang jadi kebun sawit, katanya, juga akan memutus rantai makanan dalam kawasan itu. Konflik satwa dan manusia pun rawan terjadi.
“Satwa masuk ke pemukiman mencari makanan, dan berpotensi konflik dengan manusia,” kata kata dosen Konservasi Hutan di Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo ini 14 April lalu.
Sumber air di wilayah itu pun, katanya, bisa terancam. Untuk itu, katanya, harus ada langkah kongret dan kesadaran tinggi menjaga kelestarian kawasan konservasi ini.
Atas perambahan yang terjadi, katanya, perusahaan harus membayar ganti rugi karena sudah merusak keragaman hayati dalam kawasan itu.
Uang ganti rugi, katanya, bisa untuk membuat konservasi insitu sebagai tempat atau konservasi sumber daya genetik pada populasi alami tumbuhan ataupun satwa.
“Apalagi dalam kawasan konservasi ada maleo dan anoa yang masuk kategori terancam punah. Uang ganti rugi itu bisa dibuat penangkaran itu.”
*Artikel ini atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund–Pulitzer Center.
********