Mongabay.co.id

Wabah Penyakit Mulut dan Kuku Hewan Ternak Terus Meluas

 

 

 

 

 

Wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) terus meluas. Pemerintah menyatakan, belasan provinsi di Indonesia melaporkan ada kasus penyakit yang banyak menyerang hewan berkuku genap (baca: belah) ini.

Pemerintah membagi kawasan hewan ternak jadi empat bagian, yakni, daerah wabah, daerah tertular, daerah terduga, dan daerah bebas. Daerah wabah merupakan yang resmi ditetapkan kena wabah PMK dari Kementerian Pertanian.

Data Kementan, belasan provinsi terpapar PMK, seperti Aceh, Jawa Timur, Bangka Belitung, Banten, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Riau. Lalu, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat.

Di Jawa Timur, laporan yang diterima Dinas Peternakan (Disnak), wabah PMK menyebar di 14 kabupaten. “Sekarang ini kami kumpulkan perwakilan dari daerah-daerah,” kata Iswahyudi, Kepala Bidang Peternakan Dinas Peternakan Jatim, saat dihubungi Mongabay.

Sejauh ini, katanya, laporan PMK banyak menyerang pada ternak sapi. Hewan berkuku genap lain, seperti domba atau babi, belum ada laporan. Pernyataan itu bertolak belakang dengan data yang dihimpun Mongabay.

Di Kabupaten Lumajang, misal, berdasar data otoritas setempat, beberapa domba dan kambing mulai terjangkit PMK, meski belum ada kasus kematian. Kepala Bidang Peternakan pada Dinas Peternakan Lumajang, Rofiah mengonfirmasi hal itu.

Dihubungi melalui sambungan seluler, Rofiah mengatakan, kasus PMK di Lumajang meningkat tajam sejak pertama kali teridentifikasi pada 7-8 Mei lalu.

“Pada dua hari itu total ada 224 ternak sapi terkena PMK. Saat ini kasus PMK yang terdata mencapai 434 ekor, dua kali lipat dari Minggu lalu” terangnya, kepada Mongabay, Senin sore (16/5/22) sore.

Dari jumlah itu, sembilan di antaranya mati, lima sembuh, tiga dijual dan empat ekor potong paksa.

Menurut Rofiah, sapi yang terjangkit PMK, daging masih bisa dikonsumsi.

“Hanya ada beberapa bagian yang tak boleh seperti kepala, kaki dan jeroan,” katanya. Alasannya, virus yang menyerang hewan ternak berkuku genap ini banyak jadikan bagian tubuh itu sebagai inang.

 

Baca juga: Penyakit Mulut dan Kuku Hewan Mewabah, Pemerintah Kecolongan?

Petugas kesehatan hewan memeriksa sapi yang memiliki ciri klinis tertular PMK. (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sidoarjo).

 

Rofiah menyebut, selain sapi, beberapa ternak yang mulai terjangkit PMK seperti kambing (6), domba (9) serta kerbau (28). Mayoritas berasal dari kecamatan yang menjadi basis populasi, seperti Klakah, Pasirian, Senduro dan Kunir.

Untuk ternak mati, katanya, dia imbau agar dikubur, bukan dibuang atau dibakar. Sebab, dengan membuang ke media terbuka, justru berpotensi menyebabkan virus PMK menyebar kemana-mana.

“Jangan dibuang, apalagi ke sungai atau laut karena itu malah menyebar kemana-mana karena terbawa arus. Jadi, langsung dikubur” katanya.

Sedangkan kasus penyebaran di Madura, menurut Ali Makki, Kepala Bidang (Kabid) Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan (Disnak) Bangkalan, sudah ada sapi terduga PMK di Karantina Bangkalan.

“Pada 11 Mei, kami temukan 12 sapi terindikasi PMK. Kami sudah koordinasi, kami mengecek. Kami dari Disnak Bangkalan sudah koordinasikan ini ke Dispet provinsi. Provinsi sudah koordinasi dengan Karantina,” katanya.

Hasil penelusuran di anak kandang karantina, sapi terduga PMK itu sebagian datang dari Pasar Keppo, Galis, dan Pamekasan dan sebagian dari Jawa.

Kondisi sapi di Karantina itu, katanya, mulut berbusa, pincang. Lidah, gusi dan kaki sudah melepuh.

Semisal peternak menemukan ciri itu, katanya, diharapkan segera melaporkan kepada pihak terkait agar bisa segera ditangani.

Kalau ternak dalam kondisi hamil, katanya, akan berpengaruh pada kehamilan, bahkan bisa mengarah risiko keguguran.

Indonesia, kata Ali, sebenarnya sudah bebas PMK sejak 1990-an. “Ujug-ujug muncul lagi. Dugaan kuat ada yang membawa.”

Dia mengimbau, masyarakat tak panik. Penyebaran PMK, katanya, memang tinggi tetapi angka kematian rendah. Untuk mengantisipasi terjangkit penyakit ternak, katanya, bisa lakukan vaksinasi ternak. “Dengan vaksin, antibodi ternak lebih kebal.”

 

Baca juga: Cara Peternak Atasi Penyakit Mulut dan Kuku, Jawa Timur Karantina Wilayah

Sapi-sapi disuntik di Sidoarjo untuk mencegah tertular PMK. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Ganggu rantai pasok?

Dengan merebak wabah foot and mouth desease (FMD) alias PMK bisa berdampak tak hanya rantai pasok daging terganggu, juga ekonomi secara umum.

Tri Satya Naipospos, epidemolog juga pakar veterinerologi, mengatakan, pada prinsipnya, PMK tak berdampak pada kesehatan manusia. Daging atau susu ternak terkonfirmasi PMK, tetap layak konsumsi.

Namun, katanya, bukan itu yang jadi soal tetapi dampak turunan dampak penyebaran penyakit ini. Penyebaran cepat dan morbiditas ternak mendorong ada pembatasan gerak peredaran ternak. Kalau situasi ini terus berlarut, rantai pasok daging dipastikan terganggu.

“Pasti akan terganggu karena pasar-pasar hewan ditutup, perendaran ternak ke antar daerah ditutup. Bayangkan saja, berapa banyak penjual sate yang tidak bisa jualan? Kerugian ekonomi pasti tidak sedikit,” kata Tata, sapaan akrabnya.

Bukan hanya para peternak yang berpotensi kehilangan pendapatan juga sirkulasi bisnis yang mandeg.

Tata dalam sebuah tulisan di blog pribadinya mengatakan, ada tiga komponen potensi kerugian dampak wabah PMK ini, yakni, kerugian yang harus ditanggung akibat biaya pemberantasan, kehilangan produksi, dan pembatasan perdagangan.

Biaya pemberantasan itu, katanya, meliputi biaya pemusnahan, pembelian disinfektan, sampai prosedur karantina. Kemudian, kerugian produksi sebagai akibat dari pendapatan hilang karena mati, retribusi pemotongan hewan turun, sampai industri makanan ternak atau susu.

Sulistiyanto, Sekretaris Umum Gabungan Koperasi Susu (GKSI) tak menampik hal itu. Dia bahkan tak bisa membayangkan berapa nilai kerugian akan diderita bila wabah ini tak bisa dikendalikan.

Untung saja, katanya, sampai dua pekan wabah PMK ini berlangsung, sektor persusuan belum begitu terdampak.

“Sejak awal, begitu mendapat kabar ada wabah ini, semua akses keluar masuk ternak kita kunci. Disinfektan rutin kami lakukan, termasuk menyebar pamlet-pamlet di simpul-simpul penampungan susu,” kata Sulis, Rabu (18/5/22).

Sulis bilang, di Jawa Timur, setidaknya terdapat 52 koperasi susu tergabung di GKSI dengan sekitar 300.000 sapi perah. Dari jumlah itu, produksi susu rerata mencapai 1.200 ton setiap hari hingga menempatkan sebagai yang terbesar di Indonesia.

“Dari susu saja sudah berapa nilai perputaran uang yang dihasilkan?”

Senada diungkapkan Rifky Hidayat, Ketua Asosisasi Pedagang Daging Kota Pasuruan. Sampai saat ini, katanya, wabah PMK yang sudah dua pekan lebih berlangsung belum berdampak terhadap rantai pasok daging. Meski begitu, katanya, bukan tak mungkin ketidakstabilan pasokan itu terjadi bila wabah ini tak kunjung teratasi.

 

Babi juga berisiko terkena PMK walo gejala berbeda dengan sapi tetapi penyebaran lewat babi lebih cepat. Foto : Yamin Lewar

 

Beda gejala

Tata yang juga Ketua II Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) menyebut, resistensi PMK melekat pada semua hewan berkuku belah. “Dengan kata lain, semua hewan di kelompok ruminasia punya resistensi sama untuk tertular, tanpa terkecuali,” katanya. Bahkan, pada satwa liar pun, seperti rusa, juga rawan terpapar.

Hanya, katanya, masing-masing hewan memiliki gejala klinis alias tingkat keparahan berbeda. Pada babi, misal, kendati memiliki kesembuhan lebih cepat, dalam waktu sama, potensi penyebaran justru lebih besar.

“Gejala klinis bisa saja lebih cepat hilang, tapi di dalam tubuh masih ada virus, tersimpan di kerongkongan. Jadi, dari kerongkongan itu, babi bisa menghembuskan virus yang lebih kuat penyebarannya dibanding hewan lain.”

Tata bilang, di antara kelompok ruminasia, sapi merupakan hewan yang mengalami gejala klinis paling parah. Hal itu berbeda dengan domba, kambing, atau unta. Dengan sifat tanpa gejala, katanya, justru harus diwaspadai karena bisa jadi media penyebar penyakit.

“Satwa liar pun punya resistensi sama, hanya keparahan yang berbeda. Karena itu, sapi menjadi indikator pertama wabah ini,” kata Tata.

Sekalipun tingkat mortalitas rendah, namun, pada sapi muda, sebaran PMK tetap berpotensi menyebabkan kematian tinggi.

Tata yang banyak riset seputar PMK mengatakan, ada tujuh varian virus PMK yang secara immunologi berbeda satu dengan yang lain yakni, O, A, C, Asia 1, Southern African Territory (SAT)-1, SAT-2 dan SAT-3. “Setiap serotipe memiliki suatu spektrum subtipe-subtipe berbeda secara antigenik disebabkan tingkat mutasi yang tinggi.”

Di antara ketujuh varian itu, katanya, O, A, dan C merupakan serotipe yang berpotensi menjangkiti Indonesia. Varian ini memiliki tingkat penyebaran paling luas di dunia, meliputi Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan.

Tata juga ingin meluruskan informasi tak jelas terkait wabah PMK ini terutama berkaitan dengan kemanan mengkonsumsi hewan yang terjangkit.

Dia tegaskan, wabah ini tak berimplikasi apapun pada manusia karena tak bersifat zoonosis.

Karena itu, semua bagian tubuh dari hewan terjangkit, tetap aman konsumsi. “Sepanjang literatur yang saya baca dan pedoman teknis di banyak negara, karena ada 100 lebih negara bebas PMK, jelas dinyatakan bahwa daging, susu, save to eat.”

 

Sapi-sapi terduga PMK di Karantina di bangkalan. Foto: Dinas Peternakan Bangkalan.

 

Kalau kemudian beredar kalau kepala, kaki dan jeroan hewan terjangkit tak bisa dimakan, katanya, tidak benar. “Saya akan tanya soal ini. Tidak benar larangan makan cingur. Nggak betul. Semua petunjuk itu harus berdasarkan ilmiah. Tak ada larangan memakan itu karena bukan zoonosis,” kata Tata.

Indonesia, katanya, bukanlah satu-satunya negara di dunia yang mengalami kejadian berulang atas wabah PMK ini. Beberapa negara yang mengalami kejadian serupa antara lain, Taiwan pertama kali mengalami PMK pada 1913, baru berakhir 1930. Pada 1997, wabah ini kembali muncul.

Begitu juga dengan Jepang. Setelah dinyatakan bebas pada 1908, Negari Sakura ini kembali mengonfirmasi wabah PMK pada 2000, 2002 dan 2010. Sedangkan Korea Selatan, mengalami kejadian serupa pada 2000, 2010 dan 2011.

PMK bukanlah satu-satunya penyakit menular pada hewan yang perlu diwaspadai. Menurut Tata, hingga 2019, ada 117 penyakit hewan yang masuk dalam daftar penyakit OIE (OIE listed diseases).

Dari jumlah itu, 88 merupakan penyakit hewan darat dan 29 penyakit hewan akuatik.

Salah satu panyakit yang juga perlu diwaspadai adalah African Swine Fever (ASF), yang baru-baru ini juga muncul di Sumatera Utara. Sama dengan PMK, penyakit yang banyak menyerang babi ini memiliki tingkat penyebaran sangat cepat.

Guna menghindari penyebaran lebih luas, perlu prosedur perlakuan begitu ketat termasuk pada hewan mati. “Harus didisposal, dikubur, yang dalam, di tempat yang tidak ada air supaya tak menyebar,” katanya.

Belum lama ini, di perairan Madura ada belasan sapi mati dan ditenggelamkan. Tata meyayangkan keputusan otoritas di Madura ini. “Kalau sampai sapi-sapi itu mati karena penyakit tertentu, justru berpotensi menyebarkan virus kemana-mana.”

 

Antisipasi PMK

Teguh Boediyana, Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), meminta, pemerintah serius menindaklanjuti wabah ini.

Dia mendesak lima hal. Pertama, pemerintah (Kementerian Pertanian) dan instansi terkait perlu segera mengambil langkah konkret memutus atau menghambat proses penularan PMK.

Kedua, Presiden Joko Widodo perlu mengambil langkah cepat membentuk satuan tugas mengatasi masalah ini. Juga penyediaan dana tanggap darurat untuk penanganan penyebaran PMK termasuk ketersediaan vaksin dan pemberian kompensasi bagi peternak rakyat terdampak PMK.

 

Kambing di Sidoarjo juga lumpuh terkena PMK. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Ketiga, meminta pemerintah segera mengantisipasi implikasi PMK terhadap hambatan ekspor Indonesia. Negara dengan status bebas PMK akan melarang masuk berbagai produk dari Indonesia.

Keempat, meninjau kembali berbagai peraturan dan kebijakan yang menekan PMK di Indonesia. Menurut dia, perlu mempertimbangkan kembali kebijakan maximum security atas masuknya produk hewan atau hewan ke Indonesia.

Kelima, pemerintah lakukan penelusuran asal terjadi dan masuknya PMK ke Indonesia dan berikan sanksi bagi yang bertanggung jawab atas masuknya PMK.

Moh. Ihsan Zain, Moh Ihsan Zain, mahasiswa pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, gejala umum pada hewan ternak terkena PMK , seperti demam tinggi, produksi air liur berlebih, tak nafsu makan, dan penurunan produksi (berat badan, susu). Juga, akan terlihat luka pada bagian hidung, mulut, lidah, ataupun dekat kuku kaki.

Dia merekomendasikan beberapa langkah pencegahan PMK ini. Pertama, membatasi dan pengawasan ketat lalu lintas hewan. Kedua, pemotongan pada hewan yang terinfeksi maupun yang terduga kontak dengan hewan yang terkena PMK.

Ketiga, menjaga sanitasi lingkungan seperti kandang, peralatan kandang, baju, dan lain-lain. Keempat, karantina hewan yang terlanjur akan melintas. Keenam, vaksin massal pada hewan yang masih sehat.

Adapun pengobatan pada hewan yang terkena, dapat dilakukan dengan cara, pertama, hewan yang terserang penyakit harus dipisahkan dari hewan sehat.

Kedua, pemotongan dan pembuangan jaringan tubuh hewan yang terinfeksi. Ketiga, obati kaki terinfeksi dengan chloramphenicol atau larutan cupri sulfat 5%.

 

Petugas Dinas Peternakan Bangkan, melihat sapi terduga PMK yang sudah dikarantina. Foto: Dinas Peternakan Bangkalan

 

********

 

Exit mobile version