Mongabay.co.id

Menyoal Aturan Uji Tuntas Uni Eropa bagi Petani Sawit Mandiri

 

 

 

 

“Aturan apa lagi ini ba,” tanya Niko, anggota Serikat Petani Sawit (SPKS) Sekadau, Kalimantan Barat. Hari itu beberapa perwakilan SPKS Sekadau dan Sanggau sedang diskusi grup terfokus mengenai proposal peraturan Uji Tuntas Uni Eropa (European Union Due Diligence Regulation), 11 Mei lalu.

Awalnya, para petani ini belum tahu apa kaitan mereka dengan rancangan Undang-undang baru bangsa Eropa itu. Kaoem Telapak, organisasi yang menginisiasi diskusi mendudukkan persoalan. Salah satunya, aturan kepemilikan lahan perorangan setelah tahun 2020 lebih 1,5 hektar akan masuk sebagai deforestasi.

“Mati kita,” kata Niko lagi, setelah diskusi makin mengerucut. Kabupaten Sekadau dan Sanggau, merupakan dua daerah kantong sawit di Kalimantan Barat. Sanggau merupakan kabupaten pertama yang jadi daerah penghasil sawit dengan masuknya PT Perkebunan Nasional XIII.

“Sebanyak 18% nilai ekspor CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) ke negara-negara Eropa itu berasal dari Kalimantan Barat,” kata Andre Barahamin, senior Kampanye Hutan Kaoem Telapak.

Walaupun nilai ekspor CPO Indonesia masih lebih banyak ke Tiongkok dan India, tetapi Uni Eropa merupakan pangsa pasar besar dan potensial.

Andre menilai, sosialisasi proposal aturan uji tuntas Uni Eropa ini belum dilakukan Pemerintah Indonesia secara maksimal. Untuk itu, perlu pendampingan khusus kepada petani mandiri agar ketika aturan ini berlaku, tak jadi sandungan. “Rata-rata pejabat provinsi, apalagi kabupaten, ketika ditanya tidak tahu jelas mengenai aturan ini. Padahal, proposal ini sudah keluar sejak November 2019 oleh Komisi Eropa.”

Proposal untuk Peraturan Parlemen Eropa dan Dewan Eropa ini tentang penyediaan barang di pasar dan ekspor dari Uni Eropa untuk komoditas dan produk tertentu yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan.

Ada enam produk masuk dalam proposal peraturan itu adalah daging sapi, sawit, kedelai, kakao, kopi dan kayu. Dari enam komoditi ini, Indonesia merupakan pengekspor empat komoditi antara lain, sawit, kopi, kakao dan kayu. “Proposal ini, istilahnya sudah revisi tahap akhir dalam pembahasan di Parlemen Eropa. Bisa jadi selesai tahun ini. Maka, sosialisasi harus gencar.”

 

Dokumen: Proposal baru Uni Eropa

Kebun sawit petani mandiri di Sekadau. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Di daerah, Kaoem Telapak menggandeng SPKS menghimpun suara-suara ini dan segera diperdengarkan kepada Parlemen Eropa.

“Saya harap aturan ini tidak diskriminatif. Kalau hanya 1,5 hektar mana mungkin kami bisa hidup,” kata Muhamdi, petani sawit dari Paguyuban Jawa di Sekadau.

Harga sawit cukup bagus belakangan ini, menyebabkan masyarakat memanfaatkan lahan mereka untuk tanam sawit.

Sebelum ada diskusi, Hamdi tak tahu ada rencana aturan baru Uni Eropa. Bahkan, baru kali ini dia mendapat penjelaskan makna kata ‘uji tuntas’. “Yang jadi isu di masyarakat saat ini, panen kami berlimpah, kok harga minyak goreng malah naik?”

Menurut Hamdi, kriteria Uni Eropa agar gunakan produk-produk berasal dari pengelolaan berkelanjutan merupakan hal baik. Kalau tetap berlaku, pemerintah dan para pihak perlu kerja keras mendorong petani sawit mandiri meningkatkan produksi.

“Dukung petani agar pengolahan lahan, pengelolaan perkebunan serta bibit yang digunakan menggunakan standar unggul.”

Pemerintah dan para pihak, katanya, harus memberikan pendampingan guna meningkatkan sumber daya manusia petani mandiri. Termasuk, mendorong petani mandiri mudah mendapatkan sertifikasi hingga produk berstandar ramah lingkungan.

Seperianus Seka, petani mandiri lain mengatakan, petani sulit meningkatkan kualitas tanpa intervensi pemerintah. Sudah ada pupuk subsidi pun, kenyataan di lapangan masih sulit. “Pupuk non subsidi sangat mahal. Rata-rata (sawit) tak dipupuk warga,” katanya. Petani mandiri, perlu perhatian serius pemerintah.

Uni Eropa, seharusnya bisa melihat lebih dekat dari praktik-praktik baik masyarakat petani dalam penggunaan lahan. “Petani mandiri dari Suku Dayak biasa menggunakan lahan memang sudah tak lagi berhutan. Lahan turun temurun dari moyang untuk berladang,” katanya.

Aturan ini, katanya, patut mendapatkan perhatian, mengingat imbas akan cukup besar bagi petani mandiri ketika berlaku.

Bernadus Mohtar, Ketua SPKS Sekadau, mengatakan, aturan batas tanam akan memberatkan petani mandiri. “Di Sekadau, mayoritas penduduk adalah petani sawit, mencapai 13.000 keluarga. Luas lahan petani mandiri di Sekadau 37.000 hektar. Ini kan cukup banyak, belum lagi petani plasma, petani kemitraan,” katanya.

Petani mandiri, katanya, mulai bergabung dalam serikat atau organisasi. Tergabungnya para petani mandiri dalam serikat atau organisasi, merupakan upaya positif petani memenuhi kriteria dalam pengelolaan perkebunan berkelanjutan. “Melalui organisasi, petani-petani didekatkan dengan informasi, dibantu sertifikasi serta mempunyai posisi tawar dengan korporasi.”

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyatakan, permasalahan mendasar saat ini adalah ada perbedaan persepsi mengenai indikator deforestasi antara Indonesia dan negara lain.

“Untuk masalah ini, Indonesia harus mau merujuk pada indikator-indikator yang ditetapkan oleh ahli-ahli dunia mengenai deforestasi.”

Selain itu, katanya, aturan Uni Eropa soal pembatasan lahan ini pun akan bertentangan dengan aturan di Indonesia. Pada Permentan No 98/2013 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan menyebutkan, petani mandiri dapat mengelola lahan maksimal 25 hektar. Lebih dari itu harus di bawah perusahaan, berbadan hukum.

Problem lain di Indonesia, katanya, ada sawit di dalam kawasan hutan. “Mau moratorium atau apapun juga, kalau masalah ini masih ada tentu produk akan bermasalah,” kata Surambo.

Berdasarkan hasil analisis tutupan sawit oleh Yayasan Auriga Nusantara dan Yayasan Keragaman Hayati 2018, diketahui, sekitar 3,47 juta hektar kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Dari jumlah itu, sekitar 1,3 juta hektar diduga milik petani mandiri. Pada beberapa kasus, keberadaan masyarakat lebih dahulu ada dibanding penetapan status kawasan hutannya.

Kondisi ini, katanya, mencerminkan petani kecil mandiri di Indonesia kurang mendapatkan dukungan regulasi dan dukungan pendampingan. Tak heran, katanya, produktivitas petani sawit mandiri rendah. Bahkan, kalau aturan uji tuntas Uni Eropa berlaku, produk sawit petani mandiri dianggap menyebabkan kerusakan ekologis terhadap gambut dan bentang alam hutan.

 

Dokumen: Sikap Bersama CSO Indonesia

Petani sawit mandiri di Sekadau. Mereka was-was kalau sampai aturan baru Uni Eropa berlaku, berimbas ke mereka. Niatan dalam proposal itu baik, agar produk-produk berkelanjutan. Untuk itu, perlu peran pemerintah dan para pihak agar memberikan perhatian dan pendampingan pada petani mandiri. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Catatan organisasi masyarakat sipil

Sekitar 35 organisasi masyarakat sipil di Indonesia membuat pernyataan bersama terkait proposal peraturan Uji Tuntas Uni Eropa ini pada 12 April lalu. Dalam pernyataan, lembaga-lembaga ini menyambut baik komitmen Uni Eropa untuk menggunakan produk-produk yang tak terindikasi hasil deforestasi atau menyebabkan degradasi hutan.

Namun, mereka menilai, tidak cukup hanya dengan membersihkan rantai pasokan komoditas dan produk ke dalam pasar Uni Eropa semata.

“Inisiatif unilateral ini gagal mempertimbangkan pemberian insentif dan dukungan pada upaya pengurangan dan pencegahan deforestasi, serta reformasi pola produksi komoditas oleh negara-negara produsen yang masih terus berupaya menangani akar penyebab deforestasi,” sebut pernyataan ini.

Pendekatan sepihak ini, alih-alih meningkatkan investasi dalam perlindungan hutan dan menghentikan deforestasi, justru dapat melemahkan inisiatif negara-negara produsen untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan di masing-masing negaranya. Baik reformasi kebijakan dan komitmen-komitmen wajib kepada pelaku usaha sektor swasta yang memproduksi komoditas-komoditas yang dinilai mengandung risiko-deforestasi dan degradasi hutan.

Regulasi ini, juga abai konsekuensi langsung yang muncul terhadap petani swadaya (independent smallholders) dalam bentuk pengucilan dari mata rantai pasokan yang membawa dampak ekonomis terhadap mata pencaharian mereka.

“Meski demikian, kami menyadari, regulasi ini merupakan jalan masuk untuk terus mendorong perubahan positif di negara-negara produsen dalam hal produksi komoditas legal, lestari dan tidak merusak hutan.”

Lembaga-lembaga ini mengusulkan definisi petani swadaya (independent smallholders) adalah mereka yang memiliki luasan kebun maksimal 10 hektar yang dikerjakan sendiri, dan bertempat tinggal di sekitar perkebunan.

Dalam pernyataan bersama juga mengajukan sejumlah catatan yakni; terkait deforestasi, selain diartikan sebagai alih fungsi kawasan, juga harus sebagai “hilangnya tutupan hutan’–termasuk ekosistem savana, stepa dan gambut–dan fungsi ekologisnya, baik oleh manusia ataupun yang lain.”

Selain itu, hutan juga harus dimaknai sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan alami setidaknya lima tahun dengan luas minimal 0,5 hektar yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Untuk kategori degradasi hutan, kalau akan masuk dalam peraturan ini harus dielaborasi lebih lanjut dengan kriteria, indikator dan metode pengukuran jelas, Dengan begitu tak memarginalkan petani swadaya, masyarakat adat dan komunitas lokal.

Mereka memandang, pemenuhan legalitas mengacu pada peraturan perundang-undangan negara produsen dapat menghasilkan kesenjangan dalam tingkat dan standar pemenuhan. Mengingat perbedaan sistem dan standar pemenuhan legalitas tiap negara.

 

Uni Eropa sedang bikin aturan baru soal uji tuntas terhadap beberapa komoditas, salah satu sawit, dalam kaian dengan deforestasi dan degradsi hutan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, perlu ada kriteria dan pemenuhan indikator terkait legalitas, terutama untuk memastikan penghormatan HAM, yang semestinya mengacu pada instrumen-instrumen internasional.

Mereka juga usulkan, hasil penilaian risiko negara tak menjadi alasan untuk menyederhanakan uji tuntas bagi komoditas yang ditempatkan di pasar Uni Eropa untuk pertama kalinya. Status risiko rendah bagi suatu negara, katanya, tak menjamin persyaratan legalitas terpenuhi, bebas deforestasi dan degradasi hutan terhadap pelaku produksi.

Bagi petani swadaya di negara-negara produsen, harus ada safeguards dan insentif pasar langsung dalam bentuk dukungan pendanaan, akses pasar, harga dan transfer teknologi untuk membantu mereka memenuhi standar uji tuntas.

Selain itu, perlu kejelasan mengenai definisi petani swadaya dan panduan teknis pemenuhan informasi yang diperlukan dalam uji tuntas. Perlu juga tengat waktu yang mencukupi untuk menjamin kesiapan dan kapasitas petani swadaya dalam memenuhi persyaratan uji tuntas sebelum aturan berlaku.

Mengingat peranan lembaga-lembaga finansial dalam pendanaan bisnis komoditas berisiko deforestasi ini, maka peraturan uji tuntas juga harus berlaku terhadap lembaga-lembaga finansial di Uni Eropa yang mendanai perusahaan produsen komoditas yang diekspor ke sana.

Selain itu, bagi usaha kecil menengah (SMEs) di Uni Eropa, wajib menerapkan uji tuntas hingga tidak menjadi celah dimanfaatkan pelaku produksi komoditi berisiko.

Mereka juga menekankan, pelaksanaan aturan uji tuntas ini, perlu ada transparansi informasi dan mekanisme komplain yang memberi ruang partisipasi dan mudah terakses publik.

Untuk kayu, Indonesia merupakan negara pemegang lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (Fleght). Hingga kini, masih aktif dalam kesepakatan FLEGT-VPA (Voluntary Partnership Agreement) dengan Uni Eropa.

Jadi, harus ada peta-jalan bersama untuk memastikan masa depan FLEGT-VPA hingga dampak positif reformasi tata kelola bisa dipertahankan dan diperkuat guna mencapai produksi kayu tak hanya legal juga lestari di tiap rantai pasok.

Uni Eropa dan Indonesia, harus bersama-sama mengeksplorasi klausul terkait Kemitraan Hutan dalam usulan peraturan ini dalam konteks FLEGT-VPA.

Khusus sektor sawit, perlu ada tindakan afirmatif bagi petani swadaya dalam bentuk jaminan rantai pasok langsung minimal 30% dari kuota pembelian perusahaan dari Uni Eropa melalui skema kerjasama kemitraan yang adil.

Petani swadaya Indonesia, berkomitmen menyediakan data mandiri dalam memenuhi persyaratan ketertelusuran. Petani swadaya Indonesia selama ini sudah menjalankan berbagai upaya untuk mengurangi laju deforestasi melalui keterlibatan dalam keanggotaan HCSA dan mengikuti berbagai skema sertifikasi sawit keberlanjutan seperti RSPO, ISPO dan ISCC.

 

 

*******

Exit mobile version