Mongabay.co.id

Kala ‘Rumah’ Kerbau Tergusur, Budaya Orang Lombok Bakal Terkubur

 

 

 

 

Kerbau (Bubalus bubalis) mendadak menjadi buah bibir di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ketika ramai persiapan MotoGP di Sirkuit Mandalika, di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, kerbau jalan-jalan di lintasan sirkuit jadi viral di media sosial. Politisi, ahli peternakan, aktivis, hingga budayawan mengomentari kasus kerbau merumput di proyek senilai satu triliun lebih itu.

Ketika ajang Word Super Bike (WSBK) pun, kerbau nyelonong ke pameran UMKM di sirkuit yang jadi bagian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika itu. Kerbau bersanding tenar dengan pawang hujan yang beraksi di MotoGP, atau pembalap yang berulang kali terjatuh.

Di Lombok Timur, kerbau membuat repot seluruh pejabat. Akhir Januari 2022, sampai ada rapat besar. Dipimpin langsung Sekretaris Daerah Lombok Timur HM Juani Taopik, dihadiri beberapa kepala dinas kabupaten hingga provinsi, perangkat daerah sampai tingkat dusun, dan tentu saja investor. Penyebabnya, kerbau-kerbau ini asyik merumput di kawasan hutan Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Kerbau ini juga tak pilih-pilih tempat, mereka makan rumput, makan semak belukar, tidur, dan buang kotoran di kawasan hutan seluas 339 hektar yang jadi konsesi PT Eco Solution Lombok (ESL) ini. Ini perusahaan yang sudah 10 tahun dapat izin mengelola Sekaroh. Perusahaan dari Swedia ini terganggu dengan sekitar 800 kerbau masuk konsesi.

Di KEK Mandalika, termasuk di desa-desa penyangganya, persoalan kerbau ini jadi pembahasan strategis. Berulang kami disebut dalam rapat, menjadi perbincangan para pengambil kebijakan.

Saat wabah kuku dan mulut menyerang ternak, kerbau kalah tenar oleh sapi. Kalau kunjungan wisatawan dan berbagai festival di KEK Mandalika, Lombok Tengah dan Sekaroh Lombok Timur, kerbau kembali jadi buah bibir.

 

Baca juga: Nasib Para Perempuan yang Hidup di Sekitar KEK Mandalika

Sejak ada proyek KEK Mandalika, ruang hidup para peternak, petani, dan nelayan semakin sempit. Mereka terancam tidak memiliki sumber penghidupan karena tak mampu masuk ke sektor pariwisata. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

*****

Kerbau jadi ikon pariwisata di Pantai Selong Belanak, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah. Ratusan kerbau berjalan dari barat menuju timur saat senja jadi foto dan video terbaik yang menggambarkan pantai itu. Kerbau yang jalan-jalan sore di pantai itu jadi buruan fotografer.

Para wisatawan yang sedang berjemur di Pantai Selong Belanak akan berdiri, yang belajar surfing akan berhenti sejenak, mereka akan mengalihkan fokus ke kerbau. Mereka memegang kamera, membidik iringan kerbau, dengan pengembala di belakangnya. Tak sedikit wisatawan minta selfie dengan pengembala.

Para pengembala sudah lumrah dengan aksi para wisatawan itu. Mereka tak peduli, selama tak mengganggu kerbau mereka. Pesisir Pantai Selong Belanak adalah rute perjalanan kerbau di selatan Lombok Tengah.

Pagi mereka ke arah Barah, senja pulang ke timur. Begitu seterusnya. Hingga kemudian pembangunan Dermaga Selong Belanak membuat bingung kerbau-kerbau ini. Mereka tak bisa melompati dermaga plastik yang sering ditambati perahu. Mereka memutar, pengembala harus cermat mengarahkan.

Sepanjang pantai selatan Lombok Tengah adalah jalur alami kerbau. Jalur pengembala membawa kerbaunya. Pada musim kemarau, saat pakan terbatas, para pengembala membawa keliling kerbau mereka, melintasi desa-desa, dan pantai berpasir putih.

Kegiatan ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Tak pernah kerbau-kerbau itu masuk ke halaman rumah warga atau merusak kebun, pengembala selalu sigap menghalau kalau masuk ke halaman atau sawah. Kecuali setelah panen.

“Sepanjang pantai selatan ini tempat mengembala, dari Lombok Timur dan Lombok Tengah,’’ kata Selamat, pemilik 10 kerbau dari Desa Wakan, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.

Kerbau-kerbau akan melewati Desa Kuta, Desa Mertak, terus berjalan ke timur hingga memasuki Lombok Timur. Begitu juga kerbau dari Lombok Timur, masuk ke Lombok Tengah.

Para pengembala kerbau akan kumpul di lokasi yang cocok untuk mengistirahatkan kerbau mereka. Lokasi berumput, kubangan, dan tanah kosong tak bertuan.

KEK Mandalika, terutama di Desa Kuta adalah satu lokasi pengembalaan kerbau. Tempat kubangan kerbau, lokasi para pengembala membangun kandang.

Hingga kini, masih ada pengembala bertahan di KEK Mandalika, tak jauh dari sirkuit. Sebuah video beredar, kerbau-kerbau sedang merumput di samping lintasan sirkuit Mandalika.

“Sebelum pariwisata berkembang, pekerjaan masyarakat Desa Kuta itu bertani, pelihara ternak, dan nelayan,’’ kata Supriandi, tokoh adat Desa Kuta.

 

Baca juga: Nasib Warga yang Terkurung Sirkuit Mandalika

Kandang kerbau yang dibangun di Pantai Kaliantan sewaktu-waktu akan digusur oleh investor yang memiliki kawasan ini. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Sirkuit itu dulu kubangan kerbau. Ada muara sungai di KEK Mandalika, ada juga kubangan yang jadi lokasi burung-burung migran. Di tempat itu juga, para pengembala memanjakan kerbau, berendam hingga sore. Saat kerbau berendam, para pengembala duduk memandangi keindahan pantai dengan pasir putihnya. Salah satu titik favorit di KEK Mandalika adalah Bukit Merese. Sebelum ramai oleh wisatawan, tempat ini ramai oleh kerbau.

Pengembala kerbau di Desa Kuta bukan hanya dari desa setempat, tetapi dari berbagai desa di Lombok Tengah.

Sebelum ada PT ITDC dan mulai pembangunan pada 2015, KEK ini lahan kosong. Di beberapa lokasi dihuni warga, hingga membentuk perkampungan. Selebihnya, lokasi pengembalaan. Sepanjang tahun pakan tersedia di lahan seluas lebih 1.000 hektar ini.

Setelah ada KEK Mandalika, kerbau-kerbau ini kehilangan rumah. Para pengembala kerbau makin kesulitan mencarikan jalan bagi kerbau mereka. Para pengembala harus hati-hati agar kerbau tak terperosok, tak terjebak di dalam KEK Mandalika.

“Sekarang masyarakat yang dulu bertani dan peternak mulai membuka usaha wisata,’’ kata pria juga salah satu kepala wilayah (Kawil) di Desa Kuta ini.

 

 

Melawan

Gunasih alias Amaq Sur menawari saya kopi ketika berkunjuung di kadang kerbau miliknya di Pantai Tampah Boleq, Desa Seriwe, Kecamtan Jerowaru, Lombok Timur. Ini adalah lokasi kedua terluas pengembalaan kerbau di Lombok Timur setelah hutan lindung Sekaroh.

Di Tampah Boleq, juga dikenal dengan Pantai Kaliantan, pengembala dari Lombok Timur dan Lombok Tengah mengembalakan kerbau. Mereka juga membangun kandang. Mereka berbagi ruang dengan para petani rumput laut. Para petani rumput laut membangun gubuk persis di pinggir pantai, pengembala dan kandang kira-kira 200 meter dari pantai.

Gunasih bilang, masyarakat membangun kandang dan mengembalakan kerbau di Tampah Boleq sejak puluhan tahun silam. Bahkan cerita dari kakek-neneknya, lahan itu jadi milik bersama para pengembala.

Para pengembala yang membangun kandang dan gubuk bersepakat, kawasan lebih 100 hektar itu tak bisa dimiliki. Semua pengembala dan nelayan berhak memanfaatkan. Setelah musim pengembalaan berakhir, lokasi ini akan ditinggalkan, dan kembali didatangi lagi pada musim pengembalaan.

“Kami taruh kerbau di kandang ketika musim tanam karena kami khawatir akan merusak tanaman,’’ katanya.

Para pengembala dan petani membuat kesepakatan tak tertulis. Kerbau tak boleh berkeliaran bebas ketika musim tanam. Beberapa kali sempat terjadi ketegangan antara pemilik kerbau dan pemilik kebun gara-gara kerbau memakan tanaman jagung yang belum panen. Pihak desa memafasilitasi hingga muncul kesepakatan bersama.

Para pengembala dan pemilik kerbau juga tak ingin merusak tanaman petani. Karena itulah pengembala itu harus selalu mengawal kerbau mereka. Bukan sekadar menuntun ke kandang, ke tempat kubangan, juga memastikan kerbau tak masuk ke tempat-tempat yang dilarang, seperti pekarangan pribadi.

“Kalau sudah panen keliling, ini juga membantu petani membersihkan sisa panen. Terutama sisa panen jagung,’’ katanya.

Setelah panen jagung, batang jagung dibiarkan petani. Para pengembala akan membawa kerbau ke ladang jagung, ke sawah yang ditanami jagung. Kerbau memakan habis sisa-sisa batang jagung, buang kotoran. Pada saatnya, ketika petani akan mengolah tanah, pekerjaan mereka lebih mudah, dan dapat bonus pupuk organik dari kotoran kerbau.

 

Wisatawan terpikat iringan kerbau yang melintas di Pantai Selong Belanak, Lombok Tengah. Pantai ini merupakan jalur utama kerbau mencari pakan dan kini rutenya mulai terganggu oleh berbagai pembangunan. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Masalah yang dihadapi kerbau-kerbau ini justru dari investor pariwisata dan pemerintah. Tanah Tampah Boleq, yang berpuluh-puluh tahun menjadi tanah ulayat, tiba-tiba dikuasai pribadi.

Masuk investor dari Jakarta hingga luar negeri. Padahal, sejak puluhan tahun silam, masyarakat memanfaatkan wilayah itu sebagai pengembalaan kerbau.

“Ini ada permainan antara pemerintah dan investor,’’ kata Sayadi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lombok Timur.

Bertahun-tahun AMAN Lombok Timur mengadvokasi lahan Tampah Boleq. Sayadi termasuk yang paling sering bersuara, menggelar aksi di kantor bupati, DPRD, sampai aksi teatrikal di pinggir jalan, masuk pasar. Pemerintah bergeming.

Tiba-tiba saja lahan itu jadi milik orang luar. Bahkan, pernah menjadi milik investor dari luar negeri. Sayadi bingung, bagaimana lahan yang menjadi lahan bersama, tanah ulayat, tiba-tiba jadi milik pribadi.

“Kalau didapatkan dari jual beli, pertanyaannya, siapa yang jual? Siapa yang memiliki tanah itu yang menjual ke investor? Kalau tanah dari warisan, bagaimana ceritanya orang Jakarta punya warisan di sini?”

Tanah Tampah Boleq, kata Sayadi, merupakan ruang hidup dan budaya masyarakat Sasak Lombok. Setiap tahun ada ritual Bau Nyale. Sama seperti di Lombok Tengah, Bau Nyale ini kemudian menjadi festival pariwisata.

Sejak ada embel-embel pariwisata itulah para petani dan peternak kehilangan hak mereka atas lahan Tampah Boleq.

 

 

Ruang peternak dan petani hilang

Hutan Sekaroh ditetapkan sejak 1982 lewat putusan Menteri Pertanian dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 756/Kpts/Um/10/1982 pada 12 Oktober 1982.

Jauh sebelum jadi kawasan hutan, masyarakat Lombok mengenal wilayah ini sebagai Gawah Sekaroh. Ia ruang hidup petani dan peternak. Sejak puluhan tahun silam, masyarakat memanfaatkan kawasan itu untuk bercocok taman semusim dan mengembala kerbau dan sapi.

Di masa sebelum kemerdekaan Indonesia, hutan Sekaroh ini markas tentara Jepang. Hingga kini, meriam dan gua persembunyian masih ada dan jadi daya tarik wisata.

Potensi paling memikat dari Sekaroh adalah pantai. Di bagian timur pantai ini dikenal dengan pasir putih, bahkan pink. Karena itulah kawasan itu dikenal dengan Pantai Pink.

 

Pengembala kerbau melintas di Pantai Kaliantan yang sudah dipagar investor. Sejak puluhan tahun lalu kawasan ini menjadi milik bersama para pengembala kerbau dan nelayan, kini beralih menjadi milik investor. AMAN Lombok Timur memperjuangkan pengakuan lahan ini sebagai tanah ulayat. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Di bagian selatan, pemandangan laut lepas dan tebing-tebing curam menjadi daya pikat wisatawan, termasuk investor. Di paling selatan Sekaroh, dikenal Tanjung Ringgit dengan pantai bertebing.

Sejak kunjungan pejabat dan investor dari Swedia ke tempat itu, Sekaroh pun mulai dilirik investor pariwisata. PT ESL, salah satunya, memiliki konsesi 339 hektar, deretan pantai berpasir putih dan pink masuk konsesi perusahaan ini.

“Hadirnya investor di sebuah wilayah untuk mensejahterakan rakyat tapi kalau akhirnya merugikan dan menyengsarakan rakyat maka sebaiknya diusir dari daerah itu,” kata Arsa Ali Umar, Ketua Gerakan Rakyat NTB.

Arsa adalah putra daerah Jerowaru. Keluarganya memiliki ikatan kuat dengan kawasan selatan Lombok Timur. Orang tuanya petani dan pengembala. Dari hasil bertani dan peternakan itulah Arsa dan saudara-saudaranya bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.

Karena itulah, ketika para pengembala diusir dari Sekaroh, Arsa berang. Para pengembala kerbau, katanya, puluhan tahun hidup dari hutan Sekaroh. Mereka tidak pernah mengkavling hutan itu. Mereka hanya memanfaatkan untuk mengembalakan kerbau dan membangun kandang sementara maupun berkebun dan bertani.

Dia bilang, sistem yang terbangun puluhan tahun itu rusak karena kehadiran investor, yang hingga sekarang tak kunjung membangun fasilitas. Lahan seluas 339 hektar masih kosong.

“Ketika rakyat berhadangan dengan investor, sering kali dikorbankan,’’ katanya.

Akhir Januari 2022, Pemerintah Lombok Timur mengundang pengambil kebijakan plus investor untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam rapat itu pemerintah menjanjikan ada lahan seluas 10 hektar bagi pengembala kerbau. Lahan itu akan jadi pengembalaan dan membangun kandang. Syaratnya, para pengembala dan pemilik kerbau mengeluarkan ternak mereka dari hutan Sekaroh, tepatnya dari konsensi investor.

“Kita dorong dulu 10 hektar jangka pendek, lalu kita susul bersama ke level lebih tinggi kemungkinan bisa lebih luas dapat diberikan untuk penggembala,” kata HM Juani Taopik, Sekda Lombok Timur yang memimpin pertemuan di Kantor Bupati Lombok Timur, di Selong, kala itu.

Sayangnya, lahan seluas 10 hektar itu tak kunjung ketemu. Sepanjang Januari sampai April, pengusiran pengembala kerbau dari Sekaroh tetap terjadi. Para pengembala dilarang. Polisi kehutanan berjaga. Kandang sudah ada dirusak, kerbau dikeluarkan paksa dari Sekaroh.

“Dulu, pernah di Ekas, tapi karena jadi daerah transmigrasi, pindah lagi lokasi pengembalaan,’’ kata Amaq Sur, pengembala kerbau dari Desa Wakan, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.

Makin hari kehidupan para pengembala dan peternak kerbau makin terjepit. Ruang gerak makin sempit. Mereka tak bebas lagi membangun kandang, makin sulit mencari kubangan.

Lahan-lahan kosong yang jadi milik bersama kini ‘milik’ investor. Lahan berstatus kawasan hutan sedikit demi sedikit habis dibagi pengelolaan ke investor pariwisata.

Saat bersamaan, lahan yang sudah dikuasai investor itu dibiarkan menganggur, dijaga petugas pemerintah, mulai dari Polhut hingga Satpol PP. Setiap saat mereka siap “menertibkan” masyarakat.

 

Inaq Hasan mengawasi kerbau agar tidak memakan tanaman jagung. Sehari-hari dia mengembala kerbau di dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Kerbau dan budaya masyarakat Lombok

Kerbau adalah lambang status sosial. Kekayaan diukur dari berapa kerbau yang dimiliki. Untuk melamar anak gadis, masyarakat Lombok masih menjadikan kerbau sebagai mahar.

Di Bayan, Lombok Utara, masih menggunakan kerbau sebagai mahar atau pisuke. Walaupun hari ini bisa dihitung dengan jari kepemilikan kerbau daerah kaki Gunung Rinjani ini.

Di Sembalun, Lombok Timur, salah satu ritual adat ngayu ayu masih menjadi kerbau sebagai salah satu syarat. Penyembelihan kerbau dalam ritual syukuran atas berkah kesuburan hasil pertanian itu tak bisa lepas dari kerbau. Walau tak ada lagi pengembala dan petenak kerbau di Sembalun. Mereka mendatangkan kerbau dari daerah selatan Lombok, atau terdekat dari Sambelia.

“Sejak zaman dahulu kerbau yang disembelih,’’ kata Pe Mardisah, Ketua Adat Sembalun Bumbung.

Walaupun lebih banyak sapi, kerbau masih jadi ukuran untuk acara adat. Ketika ada pelanggaran adat, lagi-lagi kerbau jadi sebagai “syarat” untuk membersihkan diri dari pelanggaran itu.

Dalam ritual Nyalamaq Dilauq bagi masyarakat Suku Bajo di Tanjung Luar Lombok Timur, dalam ritual Rebo Bontong Tetulak Tamperan di masyarakat pesisir Pringgabaya Lombok Timur dengan kepala kerbau dilarungkan ke laut.

Nuriadi Sayip, akademisi Universitas Mataram juga budayawan Lombok mengatakan, tradisi yang hampir punah saat ini adalah nemoeq moto seong. Hal ini terjadi karena seiring mulai berkurangnya animo masyarakat memelihara kerbau.

Ada sapi, tetapi masuk kadang. Warga biasa memelihara hewan peliharaan dengan dilepas, setelah keluar dari kandang (bare).

Kerbau-kerbau bebas berjalan mencari rumput sendiri, sejauh tempat atau wilayah itu tidak dilarang dengan ada tanda pagar (lambah) ataupun penanda tiang yang disebut sebagai saweq.

“Penggembala hanya mengikuti ke mana rombongan kerbau atau sapi berjalan. Karena biasa memang rombongan kerbau atau sapi itu sudah tau tempat-tempat di mana mendapat makanan dengan kekuatan intuisi dan inderanya.”

“Tugas penggembala hanya menjaga keamanan dan menghalau jika mengganggu tanaman musiman berupa padi, palawija, jagung, rumput gajah, pohon turi, dan lain sebagainya,’’ katanya.

Model pemeliharaan seperti ini sudah sulit dilakukan. Hampir semua sawah tanam palawija dan pohon turi, setelah panen padi. Hampir semua ladang sudah jadi lahan produktif untuk menanam palawija. Bahkan, di pegunungan di sepanjang pantai selatan, yang dulu tempat menggembala hewan ternak secara bebas, kini rata-rata berpindah pemilik ke investor, yang kemudian jadi sebagai tempat perhotelan dan obyek-obyek pariwisata.

Nemoeq adalah acara ritual yang khusus untuk meminta doa kepada Yang Maha Kuasa demi terjaga dan terpeliharanya hewan ternak.

Prosesi ritual ini pada malam hari, saat magrib, pada malam Jumat (Kamis malam) dengan mendatangi kandang hewan ternak.

Pertama-tama, sang pemilik hewan ternak menyiapkan sajian yang dinamai moto seong, yaitu beras yang digoreng kering (disangrai), lalu ditaburi gula jawa dan parutan kelapa.

Ada pula yang dibuat bulat-bulat terutama beras sangrai yang ditumbuk lalu dicampur gula merah. Moto seong dibuat bulat-bulat disebut kerake.

Setelah selesai proses pembuatan, moto seong ini disajikan dalam wadah disebut teplak yang ditumpuk di bagian atas dengan dilingkarkan kerak-kerake. Tidak lupa juga ditambah suwir-suwir daging ayam.

Menariknya, makin banyak hewan peliharaan, porsi sajian moto seong makin banyak, bahkan jumlah ayam suwiran pun makin banyak.

Lalu, dibawa ke tempat acara, di depan pintu masuk kandang yang disebut tanggluk. Keluarga pemilik hewan peliharaan, berikut warga kampung, diharapkan hadir, yang dipimpin laki-laki paling tua (kakek, atau ayah) yang dianggap sebagai ketoaq atau orang yang paling dituakan dan dihormati.

Di depan tanggluk, ketoaq duduk bersila. Dia akan memukul kayu tanggluk, membuka tanggluk kandang itu, lalu membunyikan kerotok atau kalung bel dari kayu yang biasa dikalungkan di leher hewan ternak, yang dianggap sebagai pemimpin rombongan.

Setelah itu, ketoaq merapalkan doa-doa, sebelumnya dia nginang terlebih dahulu. Inti doa, permohonan kepada Tuhan supaya berkenan menjaga hewan ternak dari pencurian dan musibah. Juga meminta kekuatan leluhur ikut mendoakan hewan ternak supaya tetap setia hidup bersama dengan diri pemilik hewan.

Setelah itu, ketoaq masuk dan memberi tanda sembek (dari nginang) kepada pimpinan kerbau. Kemudian, mengambil moto seong di atas sajian di teplak di dekatnya dan lemparkan ke berbagai penjuru kandang.

Saat melemparkan genggaman moto seong itu, dia tidak henti-henti berdoa demi keselamatan hewan ternak dan pemiliknya.

Prosesi selesai ditandai pemberian aba-aba tanda selesai dari sang ketoaq. Semua orang yang hadir di acara itu menyantap sajian moto seong.

Menariknya, ketika acara moto seong ini, tak hanya anggota keluarga yang datang, juga tetangga, dengan membawa piring atau mangkok untuk mewadahi sajian moto seong. Makin ramai warga datang, nemoeq ini dianggap sukses.

“Ada nemoeq moto seong sebagai tradisi menandakan konstruk budaya dan kesadaran orang Sasak itu adalah religiusitas. Bahwa kehidupan, pencapaian, dan harta kekayaan merupakan titipan atau pemberian dari Yang Maha Kuasa,’’ kata Nuriadi.

 

Agus Alwan sedang mengawasi kerbau milik keluarganya di kandang sementara di Pantai Tampah Boleq, Lombok Timur. Dia dan saudara-saudaranya bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi berkat kerbau. Foto: Fathul Rakhman / Mongabay Indonesia

 

Menjaga kerbau

Agus Alwan adalah sarjana lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram. Sehari-hari dia bertani. Bertani di lahan kering daerah selatan, Agus mengandalkan tembakau sebagai komoditas utama. Selain tembakau, keluarga Agus masih setia memelihara kerbau.

Dia dan saudara-saudaranya sudah mendapat gelar sarjana dari perguruan tinggi, bahkan dari kampus di Jawa, semua hasil dari kerbau.

“Kerbau ini tabungan kami, tak boleh dijual kalau tidak ada kebutuhan mendesak,’’ katanya.

Sebagai tabungan kerbau biasa dijual ketika ada hajatan besar. Orangtua menjual kerbau setiap kali anak-anak akan masuk kuliah. Satu kerbau dewasa bisa Rp15-Rp20 juta. Cukup untuk membayar uang kuliah dari masuk hingga selesai.

“Tanah di selatan kering, tidak bisa tanam padi sepanjang musim, jadi kerbau ini adalah solusinya,’’ kata Agus.

Dia menyadari pentingnya kerbau bagi keluarga mereka. Dia juga sadar tantangan memelihara kerbau makin besar. Dulu, dia punya kandang kerbau cukup luas di halaman rumah. Sekarang, makin banyak rumah, makin sempit ruang bagi kerbau.

Agus dan beberapa pemilik kerbau lain membeli lahan. Mereka membentuk satu kelompok. Lahan itu ditanami pakan ternak. Saat musim pengembalaan, mereka gembalakan kerbau. Saat musim paceklik, mereka kembali ke kandang di lahan yang mereka beli.

Di sana, sudah ada cadangan pakan. Dengan cara ini, keberlangsungkan beternak kerbau masih terjaga di keluarga Agus.

“Pemerintah memandang sebelah mata (kerbau), padahal inilah tabungan masyarakat selatan. Sekarang, yang terjadi banyak kebijakan pembangunan justru menggusur peternak kerbau,.”

 

 

********

 

Exit mobile version