Mongabay.co.id

Petani Alami Kekerasan Brimob Penjaga Kebun Sawit di Ketapang

 

 

 

 

 

Kekerasan aparat penjaga kebun sawit perusahaan terhadap warga terjadi di Ketapang, Kalimantan Barat. Tiga petani jadi korban pemukulan oknum anggota Brimob Polda Kalbar, satu bahkan terkena tembakan peluru hampa aparat di tubuhnya.

Raji’i, Suharjo dan Sumardi adalah warga Desa Segar Wangi, Kecamatan Tumbang Titi, Ketapang. Ketiga petani ini sedang panen dan dituding mencuri buah sawit PT Arrtu Plantation, 28 Mei 2022. Sedang Suharjo nyatakan kalau lahan itu ada sertifikat hak milik (SHM).

Raji’i luka tembak di pinggang. Suharjo dan Sumardi mengalami luka-luka kena pukul benda tumpul. Abdul Halim, warga di lokasi menceritakan kejadian mencekam ini.

“Kami berani panen karena telah mengantongi sertifikat lahan dari BPN,” kata Halim kepada Mongabay.

Sehari sebelumnya, Hendra Gunawan, warga setempat menghampiri kediaman Suharjo. Hadir pula Sumardi, Roni– keduanya saudara kandung Suharjo-, serta Abdul Halim.

Hendra dan Sumardi menunjukkan sertifikat tanah telah keluar. Mereka memberi kabar, sertifikat Suharjo akan keluar dalam waktu dekat.

Berbekal sertifikat itu, mereka bersepakat keesokan harinya akan panen di lahan Hendra. Kelima orang ini keesokan pergi ke kebun Hendra, berjarak sekitar 45 menit dari kediaman Suharjo. Tak hanya mereka berlima yang mengendarai mobil double gardan, beberapa pekerja sawit pun turut serta.

Para pekerja mengendarai motor, dengan perlengkapan alat panen; yakni dodos–semacam galah dengan ujung diikat pisau- untuk memanen sawit, dilengkapi keranjang di sisi kanan dan kiri. Panen pun dilakukan sampai matahari tinggi.

Para pekerja sejenak beristirahat. Demikian pula Raji’i, Suharjo, Sumardi dan kerabatnya yang lain.

Saat melepas lelah di pondok kebun, tiba-tiba datang puluhan anggota Brimob, pekerja perusahaan, manajer perusahaan bernama Anes, serta Babinsa setempat. Puluhan Brimob memerintahkan para pekerja menghentikan aktivitasnya. “Kejadian ini tidak saya lebih-lebihkan, ini bisa dilihat sendiri di video warga yang sudah viral,” kisah Halim.

Seorang anggota Brimob, berdampingan dengan perusahaan lantas berhadapan dengan warga.

Hendra, merupakan anggota TNI, maju ke depan untuk negosiasi. Dia menekankan apa yang dilakukan orang-orang ini beralasan dan memegang alas hukum kuat.

Saat itu, salah seorang Brimob menghardik Suharjo. “Hei kamu Suharjo ya, kamu DPO (daftar pencarian orang),” kata Halim.

Suharjo kontak pucat pasi. Dia bergegas ke arah pondok, mau mengambil SHM lahan itu. Ternyata gerakan Suharjo, diartikan petugas sebagai upaya melarikan diri. Saat itulah tembakan peringatan pun dilepaskan bertubi-tubi. Para pekerja sawit merebahkan tubuh ke tanah.

Halim kelu memandang kejadian yang secepat kilat berubah menjadi penganiayaan.

 

 

Warga petani yang kena aniaya okbum Brimob di Ketapang, Kalimantan Barat. Foyo: Istimewa

 

Dia melihat dengan mata kepala sendiri, ketika Suharjo dipukul dengan popor senjata otomatis. Dia merunduk karena aparat terus memukul dan menahan warga.

Raji’i yang melihat saudaranya dianiaya pun melepaskan diri dari ringkusan aparat, dan berupaya membantu Suharjo.

Popor senapan ditarik, mencegah Suharjo dan Sumardi dipukuli. Saat itu pula sebuah peluru bersarang di pinggang bagian belakang. Kepala Raji’i pun berdarah karena pukulan popor senjata. Darah segar mengalir dari tubuhnya.

“Saya hanya bisa berteriak dan memohon aparat untuk berhenti,” kata Halim. Kejadian itu merupakan beberapa menit paling mencekam dalam hidupnya.

Kini, setiap mendengar letusan Halim akan terpicu dan terserang panik. Usai ribut-ribut, ketiga korban kemudian dirawat di rumah sakit swasta dengan biaya ditanggung Polres Ketapang.

“Mertua saya masih belum bisa bangun. Tubuhnya babak belur, paman mertua juga begitu,” kata Sofyan, menantu Suharjo.

Dia bertugas menjaga mertuanya dan harus meninggalkan anak istri di desa. Jarak desa ke ibukota kabupaten sekitar tiga jam perjalanan. Baik Sofyan, Halim maupun Roni, harus bolak-balik memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, dan wartawan.

 

Konflik lahan sejak lama

Konflik lahan antara warga dan perusahaan sawit terjadi sejak lama. Sofyan mengatakan, tak ada itikad baik dari perusahaan sebelum kejadian itu terjadi. Pertemuan kedua pihak yang diinisiasi pemerintahan desa, antar warga dan perusahaan. Namun pertemuan tidak pernah terealisasi. “Perusahaan selalu tidak datang,” kata Sofyan.

Muhammad Thamrin, Kepala Desa Segar Wangi, mengatakan, konflik lahan sudah terjadi bertahun-tahun. Tak hanya satu perusahaan, warga bersengketa dengan dua-tiga perusahaan yang masuk ke desa ini.

Thamrin menyatakan, baru mendampingi warga yang aksi ke PT Bumitama Gunajaya Agro. Perusahaan ini mengambil alih perusahaan sawit lama, yang ternyata mempunyai konflik lahan dengan warga setempat. “Jadi, di desa ini, ada dua kasus terkait dengan kepemilikan lahan antar warga dan perusahaan,” katanya.

Ruwetnya konflik agraria ini bukan terjadi baru-baru ini. Masalah bermula ketika perusahaan datang ke desa mereka pada 1991, kemudian serta merta menggarap lahan yang berbatasan dengan desa. Padahal, masyarakat telah menggarap lahan itu jauh sebelum perusahaan mengantongi izin hak guna usaha.

Thamrin bilang, konflik lahan warga Desa Segar Wangi dengan PT Arrtu Plantation dan PT BGA ini merupakan cerminan bagaimana korporasi menghimpit ruang hidup masyarakat desa. Wilayah kelola warga bertahun-tahun sejak kakek buyut, mendadak diklaim negara dan diserahkan kepada swasta.

Areal tersisa pun ada yang diklaim negara sebagai kawasan hutan hingga masyarakat tak bisa mengelola di atas lahan itu.

“Kami ingin Pemerintah Ketapang, sebagai perwakilan negara berpihak kepada rakyat untuk turun tangan segera menyelesaikan kasus ini,” kata Thamrin.

Ada klaim perusahaan lewat izin dari pemerintah dan warga yang juga pegang SHM, menandakan tata kelola lahan pemerintah karut marut. Ada konflik lahan seperti ini, kata Thamrin, masyarakat kecil selalu dirugikan dan hukum jauh dari jangkauan.

Lahan sengketa dengan warga hingga terjadi penganiayaan dengan aparat ini sekitar 19 hektar. Kalau tuntutan masyarakat tak terpenuhi, dia minta perusahaan yang berada di desa ini segera angkat kaki.

“Yang dimasalahkan warga hingga ada korban penembakan ini hanya 19 hektar. Bagaimana bisa tega menganiaya warga dengan menggunakan tangan aparat?”

Thamrin juga mempertanyakan status DPO terhadap Suharjo, yang dikatakan keluar dari Polres Ketapang. “Apakah status DPO ini resmi? Mengapa harus menggunakan aparat untuk menekan warga?” katanya.

 

Kekerasan yang dialami petani sawit di Ketapang. Foto: Istimewa

 

Pengayom pemodal

Slogan Polri sebagai pelindung, penganyom dan pelayan masyarakat benar-benar teruji dalam kasus penembakan petani di Kabupaten Ketapang ini.

Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, mempertanyakan, tindakan polri. “Saat ini warga [malah] jadi korban kekerasan polisi.”

Dia mendesak, kapolri dan lembaga negara lain seperti Komnas HAM maupun Ombudsman RI memberikan perhatian serius dan mengungkap kasus ini.

Dia mempertanyakan sikap polri, perusahaan sawit, bukan obyek vital negara, tetapi ada Brimob berikan pengamanan.

“Kami meminta, Polda Kalbar memberikan penjelasan terbuka kepada publik atas tindak pengamanan kepada perusahaan sawit oleh personil Brimob juga bertanggungjawab memastikan keselamatan warga Desa Segar Wangi, yang jadi korban tindak kekerasan,” kata Adam.

Tindakan pengamanan dengan mengerahkan aparat jadi ancaman dan berpotensi merenggut hak hidup maupun hak rasa aman warga.

Pengamanan ini, katanya, juga tak sejalan dengan Peraturan Kapolri No 24/2007 tentang managamen sistem pengamanan organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah jelas telah ada yaitu satuan pengamanan (satpam).

Agapitus, anggota Dewan Daerah Walhi Kalbar mendesak, Kapolda segera menarik tarik personel polisi di perusahaan sawit, karena mengintimidasi warga.

“Polri itu milik semua, jangan jadi beking perusahaan. Kami meminta pemerintah daerah dan Pemerintah Ketapang beserta jajaran evaluasi serius perizinan perusahaan dengan memastikan menyelesaikan permasalahan.”

Sebelumnya, pada 2014, Polda Kalbar yang saat itu dijabat Arief Sulistiyanto, melarang anggota Brimob melakukan pengamanan langsung di perkebunan sawit.

Untuk pengamanan areal atau wilayah perusahaan perkebunan sawit, kapolda meminta perusahaan membangun dan meningkatkan jumlah personil satuan pengamanan (satpam).

Arief tegas meminta seluruh kekuatan diarahkan untuk kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat.

Dia mengimbau, perusahaan perkebunan mau menambahkan satuan pengamanan dari warga sipil hingga sekaligus menambah lapangan pekerjaan di sekitar wilayah konsesi.

Abdul Sani, anggota DPRD Ketapang pun mempertanyakan keberadaan Brimob sebagai satuan pengamanan di perkebunan sawit.

Sayangnya, pemerintah kabupaten, katanya, sulit menekan perusahaan agar mau meminimalisir konflik dengan warga.

“Izin perusahaan beroperasi dari pusat, kantor perusahaan pun di pusat,” katanya.

Posisi tawar pemerintah daerah yang rendah ini, katanya, menyebabkan banyak perusahaan tak kooperatif dalam menjalankan usaha. Belum lagi, kesenjangan ekonomi di desa menyebabkan tindakan kriminal dipicu ketidaksejahteraan masyarakat sekitar perusahaan.

 

 

Ilustrasi. Konflik lahan antara warga dan perusahaan terjadi di berbagai daerah, termasuk di Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Yitno Soprapto/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengharapkan, pemerintah daerah memanggil perusahaan untuk mengklarifikasi kejadian itu, dan mencegah kasus terulang atau hal lebih parah terjadi.

Polisi pun terkesan hanya melihat dari satu sisi, laporan perusahaan, tanpa mendalami persoalan konflik lahan antara perusahaan dan warga di lapangan.

Kombes Pol Jansen Panjaitan, Kepala Bidang Humas Polda Kalbar mengatakan, penangkapan warga sudah prosedural. “Keduanya merupakan DPO kasus pencurian,” katanya.

Raji’i dan Suharjo, kata Jansen, DPO Polres Ketapang nomor 23/IV.RES.1.8/2022/RESKRIM-IV dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/162/IV/2021/ SPKT tanggal 19 April 2021 atas dugaan tindak UU Perkebunan pasal 107 YO pasal pencurian.

Dia berdalih penembakan oleh anggota Brimob lantaran Raji’i diduga berusaha merebut senjata petugas.

Sebelumnya, kata Jansen, petugas sudah berupaya memberikan peringatan dan imbauan untuk menghentikan panen ilegal ini.

“Saat diimbau untuk menyerahkan diri, keluarga Suharjo tidak terima. Saat itulah Raji’i, warga Ds Mambuk Desa Segar Wangi mengeluarkan parang dan mengejar Bripka Sahad Parlindungan Siahaan dan Bharatu Hadianto,” katanya.

Personel Brimob, katanya, mengeluarkan tembakan peringatan tiga kali, tetapi pelaku tidak mengindahkan. Polisi pun melakukan tembakan ke arah warga dan mengenai bagian punggung. Mongabay berupaya mengkonfirmasi kasus ini kepada Sutha, dari Arrtu Plantation. Sampai berita ini rilis, belum ada jawaban.

 

 

*********

 

Exit mobile version