- Satu gajah Sumatera hamil tua ditemukan mati di konsesi perkebunan kayu PT Riau Abadi Lestari, Rabu (25/5/22). Bayi dalam kandungannya pun ikut mati.
- Belum ada kepastian penyebab kematian gajah, tetapi ada dugaan kena racun. Saat ditemukan, mulut, hidung dan anus mengeluarkan darah.
- Satu minggu sebelum kasus kematian itu, Rimba Satwa Foundation, lembaga konservasi satwa liar berbasis di bentangan alam Giam Siak Kecil—beberapa kali mendapat telepon dari masyarakat. Sekitar 30-40 gajah masuk kebun sawit. Masyarakat resah dan kewalahan. Rombongan gajah yang tengah berkumpul sekarang adalah kelompok Giam Siak Kecil dan Balai Raja. Untuk gajah yang mati, merupakan kelompok Seruni.
- Tahun lalu, satu gajah kelompok Seruni juga mati kena setrum tak jauh dari lokasi kematian terbaru ini. Adapun Seruni, induk gajah Balai Raja, kini pindah ke GSK dan tak pernah kembali ke habitat asalnya.
“Dunia konservasi kembali berduka. Gajah bunting, kemungkinan tinggal menghitung hari akan melahirkan, ditemukan mati. Anaknya tidak bisa diselamatkan,” kata Hartono, Plh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, dari video yang dibagikan Humas Dian Indriati ke WhatsApp grup.
Hartono bilang, usia gajah sudah siap untuk melahirkan. “Tapi ia harus mati di tangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab.”
Bangkai gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) itu ditemukan di konsesi perkebunan kayu, PT Riau Abadi Lestari (RAL), Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Bengkalis, Riau. Pertama kali ditemukan karyawan perusahaan saat pulang kerja melintas di KM 9, Rabu (25/5/22), sekitar pukul 12.12.
Mendapat kabar itu, tim gabungan BBSKDA Riau dan Rimba Satwa Foundation (RSF), langsung menyisir lokasi. Persis pada titik N 01° 4′ 48″ E 101° 27′ 21″.
Kepolisian Sektor Pinggir turut bantu pengamanan lokasi. BBKSDA Riau pun bergerak cepat mengutus tim medis serta polisi kehutanan, melakukan neukropsi didampingi dokter hewan setempat.
Tim ambil sampel hati, dinding usus, paru dan kotoran untuk uji laboratorium. Bagian itu dikirim ke Balai Veteriner, Bukit Tinggi, Sumatera Barat, sore itu juga. Setelah itu, bangkai gajah berumur 25 tahun ini langsung dikuburkan di tempat.
Penyebab kematian satwa dilindungi itu belum dapat dipastikan tetapi ada dugaan gajah kena racun. Saat ditemukan, mulut, hidung dan anus mengeluarkan darah.
“Kami (BBKSDA Riau) bersama Polsek Pinggir dan Polres Bengkalis akan melakukan langkah-langkah upaya hukum untuk penyelidikan penyebab kematian gajah,” kata Hartono.
Dia belum bisa beri kesimpulan. “Hasil laboratorium yang bisa menjawab. Apakah memang ada kandungan racun terhadap nanas yang di ditemukan di lambung gajah. Dari situ akan kami tindaklanjuti.”
APP Sinar Mas, dalam pernyataan tertulis yang dikirim ke Mongabay, Selasa (31/5/22), mengkonfirmasi penemuan jasad gajah betina di konsesi RAL yang berdekatan dengan areal klaim masyarakat.
APP Sinar Mas juga mendukung pemasoknya, itu bekerjasama dengan pihak berwenang dan lembaga konservasi satwa liar setempat, untuk mendapatkan informasi pelaku dan berbagai faktor di balik insiden ini.
Baca juga: Gajah di Riau dalam Rimba Konsesi
***
Satu minggu sebelum kasus kematian itu, RSF—lembaga konservasi satwa liar berbasis di bentangan alam Giam Siak Kecil—beberapa kali mendapat telepon dari masyarakat. Sekitar 30-40 gajah masuk kebun sawit. Masyarakat resah dan kewalahan.
Tim patroli RSF pun terjun membantu dan mendampingi penggiringan. Sekitar lima hari, penggiringan itu kadang berlangsung sampai pukul 11.00 malam bahkan subuh.
“Malam gajah ke kebun sawit. Siang di konsesi hutan tanaman industri. Siang dia (gajah) tidur, malam gerilya lagi masuk dalam kebun masyarakat,” kata Zulhusni Syukri, Direktur RSF.
Rombongan gajah itu keluar masuk kebun masyarakat meski telah digiring beberapa kali. “Sementara kalau sudah malam paling susah giring gajah. Tak kelihatan dan jumlahnya juga terlalu banyak,” kata Husni.
Gajah-gajah itu merusak kebun sawit masyarakat. Sejumlah pondok kerja pun rata dengan tanah. Tim patroli RSF beberapa kali menerima ancaman dan peringatan dari masyarakat.
“Bang, segeralah ke lokasi. Sudah lama kali gajah di sini. Banyak orang udah gak enak bahasanya. Ada yang mau bunuh. Nanti jangan sampai hilang pula gajah kita satu lagi,” kata Husni, mengulang omongan seorang warga.
Selama penggiringan, mereka terus mendapati suara-suara bernada ancaman itu. Masyarakat sudah mengalamai banyak kerugian.
Tim patroli RSF juga hampir berantem dengan masyarakat sekitar. Bahkan sempat kontak fisik. Kerah baju salah seorang anggotanya ditarik sembari diancam. “Kalian bawalah gajah kalian itu. Kan kalian yang punya gajah.”
Untung dilerai oleh kepala desa setempat. Di balik tekanan itu, Husni tak mengira akan ada gajah mati. Dugaannya, senada dengan Hartono.
“Biasanya cara orang meracun gajah itu memang menggunakan buah-buahan, semangka atau nanas yang ditaruh racun di dalamnya,” kata Husni.
Baca juga: Datuk Malang di Balai Raja
Meski hasil forensik belum keluar dugaan Husni tetap mengarah kena racun. Karena tak ada bekas benda tajam atau tembakan pada tubuh gajah.
Ketika dihubungi, 28 Mei, pagi, Husni bilang rombongan gajah masih di sekitar kebun sawit masyarakat. Mereka terus pantau pakai GPS collar.
Setelah kejadian itu aktivitas masyarakat jauh berkurang. Mereka jarang ke kebun. “Ntah takut ntah apa. Kita gak bisa simpulkan,” katanya yang berencana memasang GPS Collar buat gajah yang bergading.
Rombongan gajah yang tengah berkumpul sekarang adalah kelompok GSK dan Balai Raja. Untuk gajah yang mati, kata Hartono, merupakan kelompok Seruni.
“Kebetulan di sekitar TKP (tempat kejadian perkara) memang ditemukan kelompok itu yang total lebih kurang 17,” kata Hartono.
Tahun lalu, satu gajah kelompok Seruni juga mati kena setrum tak jauh dari lokasi kematian terbaru ini. Adapun Seruni, induk gajah Balai Raja, kini pindah ke GSK dan tak pernah kembali ke habitat asalnya.
Dua hari sebelum kematian gajah, tim patroli RSF sebenarnya juga menemukan gajah-gajah baru dalam kelompok GSK. Hitungan mereka, sekitar 5-6 gajah baru lahir di bawah umur satu tahun.
“Kelahiran banyak tahun ini,” kata Husni.
Sayangnya, rombongan gajah itu belum bisa beranjak dari sekitar lokasi kematian anggotanya. Husni bilang, biasa paling lama lima sampai tujuh hari. Terhitung 28 Mei, sudah 18 hari.
Dia bilang, kemungkinnan terkendala musim hujan di lokasi hingga mempengaruhi pergerakan gajah. Banyak titik becek dan banjir. Lagi pula, induk gajah juga bawa anak-anaknya.
Belum kagi ketersediaan pakan di kebun sawit lebih banyak ketimbang di konsesi perusahaan HTI. “Gajah juga lebih nyaman siang hari di kebun sawit. Satwa itu tidak suka dengan tanaman eukaliptus,” kata Husni.
Mengutip siaran pers Eyes on the Forest (EoF), 30 Mei 2022, koalisi ini mengapresiasi langkah cepat BBKSDA Riau menangani kematian gajah dan berupaya membawa kasus ini ke ranah hukum.
Namun mereka mempertanyakan kesiapan mitigasi konflik manusia dan satwa oleh pemegang izin konsesi HTI APP/Sinar Mas Grup.
Baca juga: Nasib Gajah di Sorolangun dan Balai Raja Kala Habitat Terus Tergerus
EoF menilai, perusahaan kurang mengawasi aktivitas ilegal di dalam dan sekitar areal kerja mereka. Juga tak konsisten dalam patroli bersama. Padahal, dapat mengurangi kematian gajah di konsesi mereka.
Koalisi mendesak, APP menerapkan komitmen lestari dalam melindungi nilai konservasi tinggi (NKT), termasuk melindungi area jelajah dan habitat gajah. Ini sekaligus pertanyaan berulang bagi APP dalam aksi nyata mereka yang berhubungan dengan konservasi.
Koalisi juga mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin perusahaan yang tak mampu melindungi satwa. “Ini harusnya jadi momentum penting bagi KLHK untuk evaluasi perizinan PT RAL dan korporasi sektor kehutanan lain,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, anggota koalisi.
Kematian gajah di konsesi RAL memperlihatkan komitmen palsu implementasi nilai konservasi tinggi korporasi kebun kayu afiliasi APP ini. Apabila, hal itu tidak disikapi serius, tak menutup kemungkinan gajah dan harimau Sumatera akan punah.
“Begitu juga spesies endemik lain, hanya akan jadi cerita karena praktik buruk perizinan industri ekstraktif, salah satunya bisnis kayu pemasok kebutuhan pulp and paper,” katanya, lewat aplikasi perpesanan, Selasa (31/5/22).
Menjawab tudingan ini, APP Sinar Mas menyatakan, terus komitmen memastikan berjalannya program-program perlindungan satwa liar. Menerapkan kebijakan konservasi hutan, mencakup upaya mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar di seluruh area operasi.
Upaya yang dimaksud, meliputi sosialisasi pada warga sekitar cara menghindari konflik dengan satwa liar. Berupa pembuatan protokol koeksistensi/keharmonisan hidup antara manusia dan gajah Sumatera sejak 2012 dan terus diperbaiki secara kesinambungan sesuai perkembangan teknologi.
APP Sinar Mas juga menerapkan best management practices dalam operasional mereka dengan mempertimbangkan keberadaan gajah. Mulai perencanaan mikro, penerapan sistem peringatan dini di daerah potensi konflik dan pelaksanaan rapid survei sebelum pemanenan.
Langkah lain, dengan penataan maupun pemetaan ruang berdasarkan pola pergerakan gajah Sumatera antara lain, pembuatan koridor satwa secara fungsional maupun koridor fisik.
Melalui kolaborasi dengan pemerintah dan lembaga konservasi maupun organisasi masyarakat sipil, APP Sinar Mas klaim rutin patroli gabungan sisir racun dan jerat, termasuk mendukung program penyelamatan gajah.
“Upaya dan seluruh program ini guna memastikan insiden serupa tak terulang di masa depan. Juga mendukung program pemerintah menciptakan kondisi hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan satwa liar,” kata Jasmine N.P Doloksaribu, Head of Landscape Conservation APP Sinar Mas.
Baca juga: Menyoal Kematian Gajah pada Konsesi Perkebunan Kayu di Riau
********