Mongabay.co.id

Janji Kosong: Kisah Masyarakat yang Terpinggirkan dari Berkah Sawit

 

 

 

 

Masyarakat Desa Tebing Tinggi, berharap kehidupan lebih sejahtera ketika mereka setuju melepaskan tanah adat kepada perusahaan sawit pada 1995. Mereka ini, Suku Anak Dalam, yang menggantungkan hidup pada hutan sebagai tempat bercocok tanam, mengumpulkan buah-buahan dan berburu.

Kesepakatan itu seharusnya membawa berkah bagi mereka karena keuntungan industri sawit yang saat itu berkembang pesat seantero Sumatera.

Perusahaan yang mengambil alih tanah mereka adalah PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra (Lonsum).

Masyarakat Suku Anak Dalam, diberi tahu kalau lebih dari separuh lahan yang dilepas itu akan kembali kepada mereka setelah ditanami sawit. Kala itu, permintaan minyak sedang melonjak di seluruh dunia.

Skema kemitraan antara perusahaan dan masyarakat ini seharusnya sama-sama menguntungkan kedua pihak, di mana panenan sawit kebun warga Suku Anak Dalam akan dibeli perusahaan.

“Janji ini tadi bohong,” kata Mat Yadi, Kepala Suku Anak Dalam, kepada kami.

Enggak ada dikembalikan lagi ke kami. Sudah diambil semua.”

Selama lebih seperempat abad, sawit milik Lonsum tumbuh menjulang, menghasilkan berton-ton buah berwarna oranye terang yang membanjiri pabriknya, menghasilkan minyak sawit bernilai miliaran rupiah.

Namun, Suku Anak Dalam tak pernah mendapatkan kebun yang dijanjikan. Mereka tak hanya kehilangan keuntungan yang diharapkan, juga tanah.

Kini, banyak warga Suku Anak Dalam tinggal di gubuk-gubuk kecil di dalam perkebunan. Untuk mencari nafkah, mereka hanya bisa memungut brondolan buah sawit yang terlepas dari tandan saat panen.

Desa Tebing Tinggi berada di Sumatera Selatan. Selama dua dasawarsa terakhir, industri sawit telah menyebar luas ke seantero negeri.

 

Mat Yadi sekarang hidup bersama keluarganya di perkebunan setelah tanah ulayat komunitasnya diserahkan kepada sebuah perusahaan perkebunan. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Pengalaman pahit Suku Anak Dalam bukanlah kisah antah-berantah. Perkebunan rakyat jadi bagian penting dalam industri sawit Indonesia sejak 1980-an. Perusahaan swasta sering kali berjanji membagi sebagian perkebunan mereka kepada penduduk sekitar demi mendapat dukungan lokal dan mengakses subsidi pemerintah. Bagian kebun untuk masyarakat ini disebut plasma.

Secara hukum, menyediakan plasma menjadi kewajiban perusahaan sejak 2007. Perusahaan harus menyediakan seperlima dari total areal setiap kebun yang baru dibuka untuk masyarakat.

Skema ini bisa mengangkat masyarakat pedesaan keluar dari kemiskinan kalau terlaksana dengan baik karena masyarakat akan mendapat bagian dari industri yang nilainya secara global mencapai lebih dari US$50 miliar, atau lebih Rp700 triliun, setiap tahun.

Namun plasma hanya menjadi isapan jempol bagi ribuan keluarga Indonesia. Investigasi oleh The Gecko Project, Mongabay dan BBC News menemukan, masyarakat di berbagai daerah berpotensi kehilangan triliunan rupiah setiap tahun karena keuntungan dari industri sawit mengalir ke para konglomerat.

Industri sawit pun diliputi pertentangan seputar kebun plasma yang telah menjadi sumber utama pergolakan di berbagai daerah di nusantara. Anak-anak perusahaan dari hampir semua perusahaan sawit raksasa telah dituding mengingkari janji atau gagal memenuhi kewajiban mereka untuk membagi kebun kepada penduduk sekitar.

“Itu kan contoh itu, banyak di mana-mana,” kata Daniel Johan, anggota Komisi IV DPR RI yang mengawasi sektor pertanian, ketika membahas kasus Tebing Tinggi. “Ujung-ujungnya, namanya perusahaan-perusahaan besar ya, serakah.”

Sebenarnya, sudah ada banyak tanda yang memperingatkan bahwa ada yang tidak beres dalam program kebun plasma selama bertahun-tahun. Begitu industri sawit menyapu seantero Indonesia, mengubah jutaan hektar lahan menjadi hamparan sawit, merebak pula cerita-cerita masyarakat yang merasa ditipu.

 

Cilin, warga Suku Anak Dalam Tebing Tinggi, mengumpulkan brondolan untuk dijual. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Namun seberapa meluas masalah dan jumlah kerugian yang dialami rakyat Indonesia masih belum jelas.

Kami berupaya mengisi kekosongan itu. Selama tiga tahun belakangan, kami memetakan dan menyigi tuduhan-tuduhan terkait plasma dari banyak komunitas masyarakat terhadap ratusan perusahaan sawit. Kami pergi ke puluhan desa yang tersangkut sengketa plasma dengan 27 perusahaan yang beroperasi di tiga pulau terbesar Indonesia.

Kami mewawancarai lebih 200 orang penduduk desa, pegawai pemerintah, akademisi, aktivis, dan pegawai perusahaan.

Analisis kami terhadap data terbaik pemerintah yang tersedia menunjukkan gambaran yang suram. Perusahaan-perusahaan perkebunan sepertinya gagal menyediakan ratusan ribu hektar kebun plasma bagi masyarakat. Di satu provinsi saja, kami memperkirakan warga desa merugi lebih dari Rp1 triliun setiap tahun.

Sementara itu, banyak taipan di balik perusahaan-perusahaan sawit terbesar Indonesia menjadi hartawan dengan kekayaan triliunan rupiah. Sedang Suku Anak Dalam, hidup penuh sengsara,

Anthoni Salim—konglomerat yang kini mendulang untung dari tanah adat Suku Anak Dalam—telah menjadi orang terkaya ketiga di Indonesia, dengan kekayaan mencapai Rp125 triliun.

Hasil pemeriksaan oleh dua lembaga pemerintah telah membunyikan tanda bahaya terkait plasma. Pemeriksaan pertama, rampung pada 2019, mengungkapkan, negara gagal mengawasi kepatuhan perusahaan terhadap peraturan tentang plasma. Yang kedua, pada 2020, menyimpulkan bahwa peraturan tentang kemitraan memungkinkan perusahaan “mengeksploitasi” petani dalam skema plasma.

Meski demikian, investigasi kami menemukan bahwa upaya pemerintah menangani kasus per kasus atau memperbaiki sistem kemitraan masih sangat lemah dan mandul.

Akibatnya, perselisihan seputar plasma sawit berlarut-larut selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.

Jalan buntu terus berlanjut hingga memicu pergolakan di berbagai daerah. Puluhan komunitas warga melancarkan protes setelah gagal memperoleh kebun plasma melalui saluran-saluran demokrasi formal. Mereka menggelar demonstrasi di jalanan, berunjuk rasa di kantor-kantor pemerintahan, memblokade jalan, hingga menduduki perkebunan. Selama lima tahun terakhir, kejadian-kejadian seperti ini terjadi rata-rata lebih dari sekali dalam sebulan.

 

 

Para pengunjuk rasa menghadapi kekerasan aparat kepolisian. Beberapa dari mereka dipenjara karena menyegel kantor perusahaan atau membakar gedungnya.

Kami juga menemukan, perusahaan penghasil minyak sawit terbesar Indonesia, Golden Agri-Resources, pun gagal memenuhi kewajiban membangun plasma di beberapa perkebunannya. Padahal, perusahaan ini telah memoles nama baiknya melalui suatu komitmen kondang untuk menghentikan “eksploitasi” terhadap masyarakat lokal.

Dalam sebuah wawancara, para petinggi Golden Agri mengakui kegagalan ini dan mengatakan bahwa mereka “tetap berkomitmen” membangun plasma.

Susanto Yang, penanggung jawab kebun Golden Agri di Kalimantan Barat, mengatakan, mereka menghadapi berbagai tantangan dan kendala pembangunan plasma secara tepat. “Kita ingin cepat, tapi kita juga ingin tidak melanggar prosedur,” katanya.

Sebagian masyarakat lokal harus menunggu lebih dari satu dekade hingga Golden Agri membangun plasma.

Perusahaan-perusahaan juga beralasan kalau kegagalan menyediakan plasma karena kurangnya lahan yang cocok, sekalipun kebun mereka membentang ribuan kilometer persegi di seantero Indonesia.

Selama dasawarsa terakhir, perusahaan perkebunan sawit mendapat sorotan tajam karena perampasan tanah masyarakat adat dan pembalakan hutan di mana orangutan merangkak dari puing-puing habitatnya yang hangus.

Sorotan-sorotan ini memaksa mereka berkomitmen pada perubahan lebih baik. Sebagian besar perusahaan penghasil maupun penyalur sawit kini mengeklaim mereka tak lagi melakukan pembalakan hutan dan “mengeksploitasi” penduduk sekitar.

 

 

Lahan di Kalimantan Timur yang digunduli untuk dijadikan perkebunan sawit. Foto oleh Nanang Sujana

 

Namun, tekanan belum cukup kuat diberikan kepada perusahaan perkebunan terkait penyediaan plasma untuk memastikan mereka membagi keuntungan dengan masyarakat lokal. Karena kelemahan ini tak tampak, minyak sawit tercemar dengan masalah ini pun mulus membanjiri rantai pasok perusahaan-perusahaan besar produk konsumsi seperti Kellogg’s, Nestlé, dan Unilever.

Setelah memaparkan ringkasan temuan-temuan kami, enam perusahaan besar produk konsumsi menyatakan bakal berkoordinasi dengan para pemasok sawit untuk memastikan apakah mereka sudah memenuhi kewajiban membangun plasma.

Saat ini, perusahaan-perusahaan penghasil produk konsumsi dan produsen minyak sawit terus meraup untung dari industri yang keseluruhan nilainya mencapai triliunan rupiah setiap tahun ini. Namun, masyarakat adat seperti Suku Anak Dalam, masih harus menunggu untuk mendapatkan apa yang dijanjikan kepada mereka sejak 1995.

“Saat ini hanya plasma yang dapat menjamin hidup SAD (Suku Anak Dalam), karena SAD tidak ada lagi mata pencahariannya,” kata Mustika Yanto, pengacara yang menyatakan sebagai putra dari Tebing Tinggi.

“Maka harapan terakhir SAD yakni plasma yang dijanjikan Lonsum.”

 

 

Brondolan sawit yang dikumpulkan oleh warga Suku Anak Dalam di Desa Tebing Tinggi. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

‘Sarana ajaib untuk mengentaskan kemiskinan’

Kala membeli suatu produk di supermarket, kemungkinan Anda akan menemukan kandungan minyak sawit di dalamnya.

Kalau Anda menelusuri rantai pasoknya, maka akan menemukan buah berwarna oranye terang dari pohon sawit yang kemungkinan besar ada di Indonesia. Tanaman itu mungkin berada di sepetak kebun kecil yang dibudidayakan oleh petani kecil, atau di sebuah perkebunan raksasa milik perusahaan.

Ketika industri sawit mulai benar-benar berkembang di Indonesia pada 1980-an, gagasan awalnya adalah sebagian besar sawit akan dibudidayakan oleh petani kecil.

Memang banyak perusahaan membuka perkebunan, tetapi biasa hanya menyisihkan 20–30% lahan untuk mereka kelola.

Sebagian besar lahan dibagi menjadi petak-petak kecil yang disebut “plasma” dan diserahkan kepada masyarakat setempat serta pendatang tak bertanah yang dipindahkan oleh pemerintah dari daerah-daerah padat penduduk melalui program transmigrasi.

Secara teori, skema plasma dapat mengentaskan kemiskinan sekaligus menciptakan pasokan tenaga kerja yang stabil bagi perkebunan. Perusahaan bisa mendapat untung dari kebun yang dikelola sendiri dan dari minyak sawit yang mengalir dari pabrik penggilingan.

Hidup di perkebunan sangatlah berat. Para petani plasma terlilit utang untuk ongkos awal memulai berkebun.

Menurut para peneliti yang mengkaji skema awal plasma, utang ini menggerogoti keuntungan mereka hingga satu dasawarsa dan kebun mereka umumnya juga terlalu kecil hingga tak cukup menopang hidup mereka. Banyak transmigran lantas menjual kebun dan kembali ke desa asal.

Meskipun begitu, plasma juga bisa mengubah hidup mereka lebih sejahtera, terutama bagi yang berhasil melewati tahun-tahun paceklik. Ketika tanaman sawit mencapai puncak produktivitas, sebagian petani dapat meraup penghasilan berlipat ganda dari upah minimum. Keluarga-keluarga yang dulu miskin lantas bisa beli sepeda motor, membangun rumah kokoh, dan menyekolahkan anak-anak mereka.

 

 

Suhandri memanen sawit di sebuah kebun milik masyarakat di Desa Bina Karya, Sumatera Utara. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Jika diterapkan dengan baik, skema ini bisa dipastikan dapat membantu mengentaskan kemiskinan,” kata Idsert Jelsma, konsultan yang pernah meneliti petani plasma sawit lebih dari 10 tahun.

“Dulu, plasma menjadi sarana ajaib membantu masyarakat. Sekarang pun masih bisa begitu.”

Seiring waktu, pemerintah makin melepaskan kendali pengelolaan perkebunan, menyetel sistem untuk memacu investasi swasta.

Akhir 2000-an, ketika harga minyak sawit melonjak, perkebunan sawit meluas di seantero negeri dengan laju lebih dari 300.000 hektar per tahun.

Beberapa perusahaan membuka perkebunan dengan mengambil alih tanah masyarakat begitu saja, tanpa memberi imbalan apapun. Masyarakat lokal tak memiliki hak kepemilikan kuat atas lahan. Sedangkan perusahaan-perusahaan yang memegang izin usaha perkebunan mudah saja mencaplok hutan dan lahan pertanian tanpa persetujuan masyarakat, kadang dengan sokongan polisi atau tentara.

Umumnya, perusahaan masih menawarkan skema kemitraan kebun plasma guna mendapatkan dukungan masyarakat setempat.

“Plasma selalu menjadi bagian paket yang mereka janjikan,” kata Marcus Colchester, aktivis juga seorang antropolog dari Forest Peoples Programme yang pernah bekerja bersama masyarakat adat di Indonesia selama tiga dasawarsa.

Selama 2000-an, pemerintah makin lepas tangan, membagi-bagikan izin kepada perusahaan dan membiarkan mereka mengelola skema plasma dengan caranya sendiri. Namun, pemerintah tetap berupaya memastikan masyarakat tetap mendapat manfaat dengan memberlakukan aturan terkait plasma yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/2007.

Aturan ini mewajibkan setiap perusahaan perkebunan mengalokasikan 20% lahan sebagai plasma.

 

 

Luas lahan di Indonesia yang ditanami sawit bertambah pesat sejak 1990-an. Porsi perkebunan rakyat cukup besar dalam perluasan ini. Di data pemerintah ini, kategori “perkebunan rakyat” terdiri atas petani yang tercakup dalam skema plasma dan petani kecil yang membudidayakan sawit di lahan mereka sendiri tanpa terikat dengan perusahaan perkebunan. Sumber: Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019–2021 (Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian)

 

 

Menurut peneliti, saat itu perkebunan berkembang dengan satu model pengelolaan yang menonjol dimana petani tidak berperan aktif di kebun plasma.

Perusahaan mempekerjakan buruh upahan untuk merawat kebun plasma, sembari memberi tahu para petani plasma bahwa mereka cukup duduk manis saja dan keuntungan dengan sendirinya mengalir ke rekening mereka.

Alasannya, perusahaan-perusahaan besar, yang punya modal dan pengetahuan, bisa mengelola perkebunan lebih efisien ketimbang warga.

“Pemerintah makin neoliberal dan akhirnya membebaskan perusahaan perkebunan jalan sendiri,” kata Lesley Potter, dosen tamu di Australian National University yang meneliti petani plasma Indonesia.

“Tentu saja mereka suka dengan keleluasaan itu, sampai tiba waktunya memutuskan untuk menyingkirkan petani plasma.”

 

 

Foto drone pondok Suku Anak Dalam Tebing Tinggi yang berada di tengah perkebunan sawit. Oleh Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Satu dasawarsa unjuk rasa

Hingga Januari 2017, sudah dua dekade Suku Anak Dalam menanti Lonsum memenuhi janji.

Tekanan yang dilancarkan melalui pemerintah kabupaten tak membuahkan hasil. Pada 2015, diperantarai pejabat daerah, Lonsum meneken komitmen baru untuk membangun plasma. Setelah 16 bulan, kebun plasma tak kunjung hadir.

Sebagian penduduk desa memutuskan menduduki perkebunan. Mereka mendirikan pondok di dalam perkebunan, tinggal di sana sebagai bentuk protes. Tetapi keesokan harinya, kabar menyebar bahwa Lonsum telah merobohkan pondok mereka.

Kemarahan warga memuncak ketika mereka berkumpul di Tebing Tinggi. “Jika tidak ada penyelesaian pada hari ini kito langsung bakar. Kito bakar dulu pos sekuriti Lonsum sebagai peringatan,” kata seorang lelaki di hadapan kerumunan warga, sebagaimana tercatat dalam dokumen putusan pengadilan atas tuntutan terhadapnya di kemudian hari.

Warga menaiki pikap dan sepeda motor berombongan, mendatangi pos keamanan di dalam areal perkebunan. Mereka melempari dengan batu, sebelum menyirami dengan bensin lalu membakarnya.

 

Video amatir merekam terbakarnya bangunan di perkebunan PT Lonsum saat Suku Anak Dalam melakukan protes.

 

Mereka lantas bergeser ke kantor perusahaan, merusak jendela dengan batu dan parang. Mereka menumpuk daun sawit kering di bangunan itu dan membakar, lalu melempari dengan kantong plastik berisi bensin. Terekam dalam video amatir, bangunan itu berselimut asap dan kobaran api.

Esok harinya, menjelang malam, satuan polisi diturunkan ke Tebing Tinggi.

Lina, perempuan Suku Anak Dalam berusia 30-an, sedang berada di rumah bersama keluarganya ketika polisi mendobrak pintu rumah. Dia digelandang ke kantor polisi bersama 40 lebih warga lain.

“Pikirannya takut. Paling mikir anak, kalau dipenjara, bagaimana anaknya,” kata Lina.

Sampai 2017, media di Indonesia ramai-ramai memberitakan tentang tudingan masyarakat lokal terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang mangkir dari kewajiban membangun plasma. Namun berita-berita itu nyaris senada dalam menggambarkan tudingan-tudingan masyarakat sebagai kasus-kasus terpisah—tentang satu kelompok masyarakat yang terlibat dalam sengketa dengan satu perusahaan.

Untuk melihat gambaran lebih besar, kami mengumpulkan artikel-artikel berita di Indonesia tentang perselisihan terkait plasma yang terbit selama 10 tahun terakhir. Kami juga menghimpun tudingan-tudingan terkait yang tercatat dalam makalah akademis, laporan dari kelompok advokasi, pernyataan resmi di situs pemerintah, dan sumber-sumber daring lain.

 

 

Protes terkait plasma di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, pada 2011 (kiri) dan di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, pada 2013 (kanan). Foto-foto (kiri ke kanan) dari Leo Plunkett/Earthsight, Kabar Sumatera.

 

 

Data yang terkumpul mengungkap bahwa tudingan-tudingan itu mengarah pada 155 perusahaan perkebunan sawit atas kegagalan mereka menyediakan plasma selama 10 tahun terakhir. Jumlah yang sangat banyak mengisyaratkan kalau kegagalan perusahaan menyediakan plasma bukanlah kasus yang terpisah-pisah, melainkan masalah sistematis yang bisa berdampak terhadap ratusan desa serta ribuan rakyat di nusantara ini.

Pembuktian atas semua tudingan ini berada di luar cakupan penyelidikan kami. Namun, dengan menelisik 52 kasus lebih mendalam, berdasarkan informasi publik serta wawancara dengan warga terdampak, kami bisa mengungkapkan dua fenomena yang muncul.

Pertama, perusahaan-perusahaan sawit awalnya memang berkomitmen menyediakan plasma—baik ketika dimandatkan secara hukum maupun tidak—kemudian, menurut keterangan warga, mereka mengingkari janji itu selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.

Kedua, perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin setelah 2007 gagal memenuhi mandat hukum untuk menyediakan plasma.

 

Protes terkait plasma di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 2014 (kiri) dan di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, pada 2015 (kanan). “Warga di desa ini, dari remaja hingga orang tua menunggu kabar baik tersebut,” kata warga Musi Rawas Saharudin kepada kami. Foto-foto (kiri ke kanan) dari Metro TV, TribunNews.

 

 

Di balik gelombang besar kasus-kasus itu tersimpan banyak kisah manusia, tentang warga desa yang terbuai mimpi, kehilangan tanah dan mata pencaharian, dengan sedikit atau bahkan tanpa imbalan sama sekali.

“Pada awalnya, sangat manis sekali janji mereka,” kata Yustenli Duli warga di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, juga protes dengan perusahaan sawit pada 2017. “Bahwa anak kami nantinya bisa sekolah sampai ke luar negeri … Jadi, pada waktu itu masyarakat sudah terbuai mimpi-mimpi manis bahwa masa depan mereka tidak akan susah.”

Dua belas tahun berlalu, janji hanya janji, kata Yustenli, kebun plasma tak kunjung ada.

Merebaknya aksi-aksi protes masyarakat menggambarkan betapa putus asanya mereka karena kasus-kasus yang dialami berlarut-larut tanpa penyelesaian. Mereka pun memblokade jalan dan pabrik sawit, menyita kendaraan perusahaan, hingga menduduki perkebunan. Protes pun makin membesar, hingga ratusan atau bahkan ribuan orang berunjuk rasa di depan kantor-kantor pemerintahan.

“Sampai sekarang belum ada realisasinya … begitu juga di desa-desa yang lain,” kata Yustenli.

 

Protes terkait plasma di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 2016 (kiri) dan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, pada 2017 (tengah). “Sampai sekarang belum ada realisasinya … begitu juga di desa-desa yang lain,” kata warga Bulungan Yustenli Duli kepada kami. Protes terkait plasma di Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, pada 2018 (kanan). “Tapi saya pribadi tidak gentar, kami tetap berjuang,” ujar warga Bangka Barat Susiadi kepada kami. Foto-foto (kiri ke kanan) dari Inilah Medan, Tribun Kaltim, Pilar Radio.

 

 

Keputusan mengambil tindakan langsung mengandung risiko hukum. Di Kalimantan Barat, Herkulanus Roby, petani berusia 30-an, turut memimpin ratusan petani mendatangi kantor perusahaan sawit dan menyegel pintu.

Berdasarkan wawancara-wawancara kami dengan warga dan penelusuran dokumen pengadilan yang dikumpulkan, para petani itu menyerahkan tanah mereka tetapi harus menunggu sia-sia selama lima tahun tanpa imbalan apapun.

Mereka bertekad terus menyegel pintu perusahaan sampai ada titik temu. Mereka malah ditangkap. Roby dan seorang petani lain dibui selama 10 bulan. Orang ketiga, yang ditengarai oleh penuntut sebagai dalang protes, dipenjara selama empat tahun.

“Karena itu salah di mata hukum, jelas saya menyesal,” kata Roby. “Namun, di satu sisi, kita aksi karena ada kegelisahan dengan hak kita yang dirampas orang.”

Tahun lalu, sekumpulan akademisi Indonesia dan Belanda menerbitkan sebuah kajian yang menelisik 150 konflik pertanahan antara masyarakat dan perusahaan sawit di empat provinsi di Indonesia. Kajian ini menemukan, keluhan seputar plasma mendasari 57% konflik—penyebab terbesar kedua. Penyebab pertama,  karena perusahaan merampas tanah masyarakat.

Ward Berenschot, peneliti senior di lembaga ilmiah milik Kerajaan Belanda KITLV yang menjadi salah satu pemimpin kajian itu, menyatakan, timnya mengidentifikasi kasus-kasus yang melibatkan pengerahan Brimob untuk membubarkan pengunjuk rasa.

“Kebanyakan kasus kekerasan yang kami temukan tidak dilakukan masyarakat, melainkan oleh polisi dan petugas keamanan perusahaan sawit,” kata Berenschot.

“Kami melihat banyak sekali korban luka dan tindak kekerasan.”

 

Protes terkait plasma di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, pada 2019. “Karena tidak tahan lagi menunggu,” kata Dumiyati, seorang kepala desa, kepada kami. Protes terkait plasma di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, pada 2020 (tengah). Protes terkait plasma di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, pada 2021. Gambar (kiri ke kenan) dari KR Sumsel, YouTube/Fajar Taufiq, Cokoliat.

 

 

Warga desa pun menyadari, negara bisa sangat sigap dan tegas dalam menindak protes warga. Kajian itu juga menunjukkan bahwa para pemimpin protes “kerap dikriminalisasi,” sementara 42% kasus yang dikaji melibatkan penangkapan warga. Secara keseluruhan, sebanyak 789 orang ditangkap.

Di Tebing Tinggi, setelah menangkap puluhan warga Suku Anak Dalam, polisi bersenjata menyuruh mereka berjongkok dalam satu baris dan menggiring mereka ke markas polisi.

Dari keterangan warga, mereka disiksa di markas polisi. Johan, menceritakan, kepalanya dipukul sangat keras dengan batang bambu hingga patah.

“Tanpa dimintai keterangan kami dipukuli hingga berdarah-darah,” kata Johan.

Sebagian besar warga Suku Anak Dalam bebas tanpa dakwaan. Tujuh orang dituntut atas tuduhan tindak perusakan dan dihukum bui 18 bulan.

 

Sungai Kelumpang mengalir melewati perkebunan PT Lonsum di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.

 

 

‘Macet semua’

Beberapa pekan setelah Suku Anak Dalam dipidanakan, pada 2017, para politisi nasional tiba di daerah tempat mereka tinggal, Musi Rawas Utara.

Anggota DPR Daniel Johan, saat itu Wakil Ketua Komisi IV DPR, mengetahui soal konflik pertanahan dari sosial media.

Dia lalu membawa rombongan Komisi IV yang bertugas mengawasi industri sawit ke Musi Rawas Utara untuk bertemu Suku Anak Dalam.

“Kalau pada akhirnya DPR harus memilih, DPR akan memilih masyarakat daripada perusahaannya,” kata Edhy Prabowo, saat itu menjabat Ketua Komisi IV, kepada para wartawan saat kunjungan.

Komisi IV memanggil Suku Anak Dalam dan Lonsum dalam rapat dengar pendapat pada Oktober 2017 di Gedung DPR di Jakarta. Daniel mencerca para petinggi Lonsum soal keabsahan klaim mereka atas tanah Suku Anak Dalam. “Masyarakat jauh lebih membutuhkan daripada Lonsum.”

 

Daniel Johan , anggota DPR menekan petinggi PT Lonsum agar membangun plasma untuk warga Suku Anak Dalam saat dengar pendapat dengan DPR pada 2017.

 

 

Para petinggi Lonsum mengelak dari pertanyaan-pertanyaan Daniel. Dia lalu mendorong Lonsum segera mengembalikan hak tanah Suku Anak Dalam “dalam waktu sesingkat-singkatnya” dan memberikan maksimal satu bulan untuk menyelesaikannya.

Dengan dukungan Komisi IV DPR, Suku Anak Dalam kiranya punya alasan untuk meyakini kalau penantian mereka bakal segera berakhir. Tahun berikutnya, pada 2018, Bupati Musi Rawas Utara meneken dua keputusan yang mengidentifikasi lahan yang dapat digunakan Lonsum untuk membangun plasma seluas 1.000 hektar bagi Suku Anak Dalam. Empat tahun berlalu, plasma itu tak juga kunjung diberikan.

“Kita sudah tegas, kita sudah keras,” kata Daniel saat kami wawancarai baru-baru ini. “Tapi sampai sekarang masih belum beres.”

Kasus Suku Anak Dalam menggambarkan cara khas pemerintah dalam menangani konflik-konflik serupa, sebagaimana kami temukan dari penyelidikan kami, yakni melalui mediasi informal antara perusahaan dan masyarakat.

Hingga rapat dengar pendapat di Jakarta itu terjadi, perwakilan Suku Anak Dalam telah menghadiri serangkaian pertemuan yang diperantarai pejabat pemerintah tanpa menghasilkan pembelaan yang tegas.

Dalam wawancara baru-baru ini, Wakil Bupati Musi Rawas Utara, Innayatullah, mengatakan, pemerintah daerah sedang berupaya menyelesaikan masalah dengan membangun kesepakatan bersama. “Bahwa Lonsum berinvestasi di tempat kita, kami bersyukur,” katanya kepada kami.

“Sedangkan Suku Anak Dalam pun ada hak. Maka kami ada jalan tengah ini.”

Kami menghitung kalau Lonsum bisa meraup penghasilan sebesar US$1,2 juta, atau lebih Rp17 miliar, setiap tahun dari lahan 1.400 hektar yang menurut Suku Anak Dalam adalah milik mereka. Selama dua dekade kasusnya berlarut-larut. Total keuntungan Lonsum lebih US$30 juta atau setara Rp400 miliar.

Lonsum dan perusahaan induknya, Indofood Agri, tidak menggubris permintaan kami untuk menanggapi berbagai temuan dalam investigasi ini.

 

 

Anak-anak Suku Anak Dalam,hidup di tengah kebun sawit. Mereka membantu keluarga untuk mengumpulkan brondolan. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

 

Kajian akademis tentang 150 konflik terkait sawit ini menemukan bahwa pemerintah paling sering menggunakan “mediasi dan negosiasi informal” sebagai cara penyelesaian. Kajian ini juga mendapati bahwa cara itu sering kali gagal. Hanya 14% mediasi yang menghasilkan kesepakatan yang kemudian terlaksana.

“Demo, mediasi dengan pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, berkirim surat ke presiden … kasusnya akan ramai di media, lalu pemerintah memberikan perhatian, tapi setelah itu hilang begitu saja,” kata Djayu Sukma Ifantara, dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari yang bekerja bersama masyarakat lokal di berbagai pelosok Kalimantan.

Dari tinjauan media yang kami lakukan, kami menemukan 15 peristiwa dimana pejabat pemerintah mengancam bakal menindak tegas perusahaan yang melanggar aturan terkait plasma. Seorang anggota DPRD Sumatera Utara meminta pencabutan izin 19 perusahaan kalau mereka gagal menyediakan kebun plasma. Ada juga anggota DPR RI yang mengatakan bahwa izin Lonsum untuk perkebunan lain di Sumatera Utara, tidak jauh dari Tebing Tinggi, seharusnya dicabut. Lalu seorang pejabat di Kalimantan Utara memperingatkan akan mengambil “tindakan tegas” terhadap perusahaan jika tidak “segera” menyediakan plasma.

Kami berusaha mencari tahu apakah kewenangan mereka benar-benar digunakan. Kami mewawancarai pejabat dari 14 dinas pertanian/perkebunan di tujuh provinsi. Khusus di daerah-daerah di mana masalah seputar plasma banyak mengemuka dalam tinjauan media kami, atau para pejabatnya menunjukkan sikap terhadap masalah ini.

Beberapa pejabat pemerintah menyatakan, mereka telah bertindak tegas. Di sebuah kabupaten di Sulawesi, bupatinya menangguhkan izin sebuah perusahaan setelah terjadi perselisihan seputar plasma. Di Ketapang, Kalimantan Barat, Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan mengatakan, berhasil meyakinkan sebuah perusahaan untuk memperluas kebun plasma dari 18% ke 20% setelah sebelumnya melayangkan surat peringatan.

Semua itu adalah pengecualian. Di daerah-daerah lain yang mengalami masalah plasma, para pejabat cenderung menggunakan cara lebih lunak, dengan mediasi dan “mendorong” perusahaan mematuhi kewajiban-kewajiban hukum mereka. Ada semacam kesepakatan umum bahwa membatalkan izin adalah tindakan yang terlalu keras.

“Jadi lebih pada persuasif dulu,” kata Ujang Rachmad, Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Timur. “Menutup perusahaan itu bukan sekadar menutup, tapi dampak sosialnya jadi besar sekali. Nah, kita harus mempertimbangkan semua hal ini.”

 

Keluarga Suku Anak Dalam, Cilin (dua dari kiri) dan Siti , bersama anak-anak mereka usai mencari brondolan sawit. Foto: Nofri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Pendekatan ini lazim digunakan bahkan di daerah-daerah dimana marak terjadi permasalahan plasma. Di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, Samsul Kamar, pegawai di Dinas Peternakan dan Perkebunan, mengatakan sedang menangani masalah-masalah plasma hampir tiap pekan.

Dalam hitungannya, hanya “lebih kurang 15%” dari 77 perusahaan di wilayahnya yang menyediakan kebun dengan luasan cukup. Mereka hanya memediasi dan mendorong perusahaan mematuhi aturan, dan tindakan paling tegas yang pernah mereka ambil adalah mengeluarkan surat peringatan.

Daniel Johan yang berupaya turun tangan di Tebing Tinggi, mengatakan, perselisihan seputar plasma terus mengemuka karena pemerintah yang berwenang di tingkat daerah dan pusat sama-sama tak tegas menegakkan aturan.

“Karena rakyat masih menjerit, rakyat hidup makin susah,” katanya.

“Yang selama dari nenek moyang mereka hidup di sana, terpinggirkan, termarjinalisasi. Itu terjadi di mana-mana. Segala perlawanan sudah mereka lakukan, sampai pengorbanan nyawa, dan tidak ada penyelesaian dengan tuntas, berarti kan macet semua.”

Djayu, aktivis dari Kalimantan Barat, menunjuk satu faktor yang kemungkinan besar mendasari keengganan pemerintah bertindak tegas.

Keputusan terkait sanksi atas pelanggaran izin perusahaan berada di tangan bupati. Namun, penelitian oleh akademisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, sudah jadi hal lumrah bahwa perusahaan atau pengusaha mendanai calon kepala daerah agar mendapat perlindungan dari mereka kalau terpilih.

“Bupati dipilih masyarakat agar bisa menekan perusahaan. Tetapi perusahaan itu menyetorkan uang untuk mendukung bupati,” kata Djayu. “Itulah kenyataannya.”

Korupsi juga bisa berbentuk lebih kasar.

Pada 2018, seorang petinggi Golden Agri-Resources ditangkap setelah menyerahkan sebuah tas jinjing hitam berisi uang tunai Rp240 juta kepada dua anggota DPRD Kalimantan Tengah di sebuah food court di Jakarta Pusat.

Petugas KPK menunjukkan barang bukti berupa uang sebanyak Rp240 juta hasil operasi tangkap tangan DPRD Kalteng saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, 27 Oktober 2018.

 

 

Petugas KPK menunjukkan barang bukti berupa uang sebanyak Rp 240 juta hasil OTT DPRD Kalteng saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, 27 Oktober 2018.

 

 

Politisi yang disuap itu adalah anggota DPRD yang sebelumnya mengunjungi salah satu perkebunan milik Golden Agri di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, kemudian mengumumkan ke media bahwa perkebunan itu mencemari danau serta beroperasi tanpa dilengkapi izin-izin yang dibutuhkan — juga gagal menyediakan kebun plasma.

Upaya suap yang diatur seorang petinggi senior Golden Agri itu untuk mencegah pemeriksaan di Kalimantan Tengah yang bisa mengarah ke dugaan pelanggaran.

Para politisi itu akhirnya dihukum lima tahun penjara. Sementara beberapa petinggi Golden Agri diganjar 20 bulan.

Golden Agri menyatakan, para petingginya itu adalah oknum yang melakukan suap atas inisiatif mereka. Dalam siaran pers tertulis, perusahaan menyatakan, hukuman bagi petingginya ini “menjadi titik akhir dari peristiwa yang disayangkan dan disesalkan.”

 

 

Ibu Kota Jakarta. Lemahnya pengawasan oleh pemerintah pusat membuka kemungkinan “meluasnya pengelolaan kebun kelapa sawit secara ilegal,” menurut sebuah audit atas sektor minyak sawit. Foto: Flickr/acencen (CC-BY).

 

 

Gagalnya pengawasan

Kasus-kasus yang kami identifikasi hanyalah puncak dari gunung es sengkarut plasma yang lika-likunya luput dari pantauan pemerintah.

Laporan 2019 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tiba pada serangkaian kesimpulan kritis tentang pengawasan pemerintah terkait plasma. Laporan ini menemukan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun Kementerian Pertanian gagal melaksanakan pengawasan memadai terkait kepatuhan perusahaan perkebunan jalanan kewajiban mereka.

Pengawasan diserahkan kepada otoritas daerah, tetapi BPK memperingatkan cara pengawasan mereka yang mengandalkan laporan dari perusahaan alih-alih secara aktif melaksanakan pengawasan, membuka kemungkinan “meluasnya pengelolaan kebun kelapa sawit ilegal.”

Audit BPK juga menemukan, bahwa data pemerintah tidak konsisten. Jumlah perusahaan, luas perkebunan, dan ukuran kebun plasma berbeda antarlembaga, dari kabupaten hingga pemerintah pusat. Karena inventarisasi data yang “tidak tertib” ini, BPK menyimpulkan, kepatuhan perusahaan perkebunan untuk memenuhi kewajiban membangun plasma “tak dapat dimonitor dan dievaluasi.”

Kami pun mencoba mencari data yang bisa mengungkap seberapa jauh sebenarnya kegagalan perusahaan untuk membangun plasma. Awal tahun ini, Kementerian Pertanian membagikan kepada kami perhitungan jumlah plasma yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan perkebunan.

Data ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memegang izin setelah 2007–tahun ketika persyaratan kebun plasma– sebesar 20% ditetapkan dalam permentan, sudah membagi lahan sekitar 635.000 hektar kepada masyarakat. Namun, data ini tak menunjukkan total luas lahan yang ditanami perusahaan-perusahaan itu, hingga tak bisa menunjukkan apakah mereka secara kolektif menyediakan plasma 20% atau malah kurang dari itu.

 

Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan sawit telah menyediakan 635.000 hektar plasma yang diwajibkan. Data yang dibagikan Kementerian Pertanian tahun ini mencatat luas areal plasma yang dibangun oleh perusahaan dengan izin yang diberikan sejak 2007, ketika persyaratan 20 persen ditetapkan dalam peraturan, dan total luas areal yang dicakup oleh izin tersebut. Jika perusahaan telah menanami semua areal ini, mereka akan diwajibkan secara hukum untuk menyediakan 2,2 juta hektar plasma. Kementerian Pertanian mendefinisikan ini sebagai ‘target’ plasma. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa perusahaan secara kolektif telah menyediakan 635.000 hektar plasma–hanya 29 persen dari target. Tetapi perusahaan seringkali tidak menanami seluruh lahan konsesi yang diberikan kepada mereka, dan beberapa izin tidak digunakan. Jadi, data ini tidak mengungkapkan sejauh mana kegagalan mereka untuk mematuhi hukum.

 

 

Kami kemudian meniliki publikasi-publikasi resmi Kementerian Pertanian yang menunjukkan selama 2007–2021, perusahaan-perusahaan perkebunan swasta telah menanam sawit seluas 5 juta hektar. Kalau seperlima dari luasan ini seharusnya jadi kebun plasma, maka ada kekurangan luasan kebun plasma 375.000 hektar, hampir enam kali luas Jakarta.

Berdasarkan perkiraan konservatif kami, kebun sawit seluas itu bisa mendatangkan keuntungan lebih US$330 juta per tahun, atau senilai hampir Rp5 triliun — uang yang seharusnya dinikmati masyarakat ini mengalir ke brankas perusahaan.

Dari angka ini, mengingat perkebunan sawit memiliki masa produktif selama 25 tahun, perusahaan-perusahaan itu pada akhirnya bisa mengambil keuntungan sekitar US$8 miliar atau setara lebih Rp116 triliun yang seharusnya jadi hak masyarakat.

Dilihat dari satu sisi, perhitungan ini memang terlalu membesarkan kekurangan plasma, karena sebagian dari 5 juta hektar lahan sawit itu ditanami perusahaan dengan izin sebelum 2007– yang memang tidak ada kewajiban menyisihkan seperlima lahan untuk plasma. Tetapi beberapa faktor lain mengisyaratkan bahwa perhitungan itu justru terlalu memperkecil kekurangan plasma.

Data itu tak merinci penyediaan plasma oleh masing-masing perkebunan, misal, hingga perusahaan yang menyediakan plasma lebih 20% bisa menutupi perusahaan yang menyediakan plasma kurang dari itu atau tidak menyediakan plasma sama sekali.

Sebuah kajian yang rilis tahun ini juga menemukan, sampai 2019, Kementerian Pertanian salah menghitung luas perkebunan sawit skala besar kira-kira 1,8 juta hektar. Kalau ini benar, maka potensi kekurangan plasma bisa lebih besar lagi.

Bukti lebih kuat dan barangkali paling mencolok mengindikasikan bahwa di satu provinsi saja, perusahaan-perusahaan perkebunan sawit gagal membangun plasma lebih 100.000 hektar sebagaimana amanat peraturan.

Kami mendapatkan data pemerintah untuk Kalimantan Tengah yang memerinci luas lahan masing-masing perusahaan yang ditanami sendiri dan plasma. Data ini juga menyertakan tahun penerbitan izin, hingga memungkinkan untuk memisahkan perusahaan izin sebelum dan sesudah 2007.

Data ini mengungkapkan, beberapa perusahaan di sana tak menyediakan kebun plasma seluas 103.000 hektar. Analisis kami menunjukkan, masyarakat sekitar perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, merupakan ‘rumah’ 20% perkebunan swasta berskala besar, merugi lebih Rp1 triliun setiap tahun.

 

Peta Kalimantan Tengah: Provinsi ini berada di tengah-tengah Pulau Kalimantan. Perusahaan-perusahaan sawit di provinsi ini telah gagal memenuhi persyaratan untuk menyediakan kebun plasma seluas lebih dari 100.000 hektar, berdasarkan analisis kami atas data pemerintah provinsi, dan provinsi ini hanya mencakup seperlima dari keseluruhan perkebunan swasta di Indonesia.

 

 

Gambaran yang muncul dari data tingkat provinsi itu tercermin dalam pernyataan-pernyataan para pejabat pemerintah. Kami menemukan 22 artikel berita dalam lima tahun terakhir yang memuat pernyataan politisi dan birokrat bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan di Kalimantan Tengah gagal membangun plasma.

Pada 2019, Gubernur Sugianto Sabran mengumumkan hampir 85% perkebunan di wilayahnya mangkir dari kewajiban membangun plasma, hal yang dinilainya “keterlaluan.”

Para aktivis mendesak pemerintahan Joko Widodo agar memetakan permasalahan ini secara gamblang setidaknya sejak 2018. Pada tahun itu, 236 orang dari berbagai organisasi masyarakat sipil menerakan nama mereka pada sebuah surat terbuka untuk Presiden Jokowi dan Presiden Dewan Uni Eropa. Surat itu berisi pernyataan bahwa skema kebun plasma digunakan untuk “mengambil alih” tanah-tanah masyarakat adat.

Mereka mendesak pemerintah segera melakukan pemeriksaan terhadap program ini secara nasional.

Empat bulan kemudian, Jokowi mengeluarkan instruksi berisi perintah kepada lima kementerian dan pemerintah daerah untuk melakukan pemeriksaan terhadap tiap izin perkebunan sawit di Indonesia. Kementerian Pertanian ditugasi mengevaluasi apakah perusahaan perkebunan mematuhi aturan plasma. Sementara kementerian-kementerian lain diperintahkan untuk memverifikasi data, mengidentifikasi lahan untuk plasma, dan mempercepat pemberian hak atas tanah untuk petani plasma.

Belum jelas apakah semua itu terlaksana.

 

 

Perkebunan sawit di Kalimantan Timur. Foto: Nanang Sujana.

 

Awal 2021, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menerbitkan laporan yang menyimpulkan bahwa masyarakat telah dieksploitasi karena tak ada perlindungan atas hak-hak mereka di dalam peraturan tentang plasma.

Laporan ini menyebut, instruksi presiden seharusnya dapat mengatasi permasalahan plasma, “tetapi sampai saat ini belum ada informasi dari kementrian yang terkait mengenai bagaimana penerapan inpres ini, terutama dalam hal penanganan lahan sawit dan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20%.”

Januari lalu, Presiden Jokowi mengumumkan, pemerintah mencabut lebih 100 izin yang dipegang perusahaan-perusahaan perkebunan. Para pejabat merujuk pada perusahaan yang sudah tak aktif atau yang melakukan pelanggaran tertentu, tetapi dasar keputusan mereka tak sepenuhnya jelas.

Heru Tri Widarto, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, menolak permintaan wawancara kami. Dalam tanggapan tertulisnya, ketika kami tanya langkah apa yang diambil pemerintah untuk mengatasi masalah ini, dia menunjuk aturan baru tentang plasma yang berlaku pada 2021.

Aturan ini diterapkan sebagai bagian dari UU Cipta Kerja—aturan yang dibuat untuk lebih memikat investor masuk Indonesia. Aturan ini memberi kesempatan lebih luas bagi perusahaan yang membangun perkebunan baru untuk menciptakan peluang-peluang ekonomi bagi masyarakat, alih-alih membangun plasma.

Sementara itu, satu dari tiga kementerian yang ditugaskan untuk “percepatan” penyediaan kebun plasma tidak menunjukkan kemajuan berarti.

Surya Tjandra, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, Kementerian ATR/BPN masih belum memahami masalah ini dengan gamblang.

Empat tahun sejak inpres itu keluar, Surya mengatakan kalau pemerintah telah membentuk satgas reforma agraria yang sedang mengumpulkan data seputar plasma. “Itu memang kita sedang mengumpulkan informasinya secara lengkap,” katanya saat kami wawancara.

“Belum banyak memang.”

 

Ilustrasi oleh Chuan Ming Ong.

 

 

Reaksi perusahaan

Kepada dunia luar, perusahaan-perusahaan yang mendominasi industri sawit menampilkan citra kalau mereka menjalankan skema plasma dengan baik. Dalam laporan tahunannya, mereka menyuguhkan angka-angka menggembirakan bahwa 20% atau lebih dari perkebunan mereka memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.

Tantangannya, menyesuaikan pernyataan itu dengan merebaknya tudingan terhadap perusahaan-perusahaan yang sama. Perusahaan-perusahaan perkebunan itu beroperasi sebagai perusahaan induk, sering kali dengan dua lusin atau lebih anak perusahaan yang masing-masing memiliki perkebunan sendiri, memegang izin sendiri, dan berurusan dengan masyarakat lokal sendiri.

Izin-izin yang mereka pegang tunduk pada aturan-aturan hukum berbeda tergantung kapan izin-izin itu diberikan.

Perusahaan-perusahaan itu menerbitkan data agregat hingga tak bisa jadi dasar untuk memeriksa anak perusahaan mana yang mematuhi aturan.

Kami meminta rincian kebun plasma dan izin untuk masing-masing anak perusahaan dari 18 perusahaan penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia.

Dua perusahaan, IOI Corporation dan POSCO Group, membagikan data yang mengisyaratkan bahwa mereka mematuhi aturan hukum. Enam belas perusahaan lainnya menolak berbagi data, dengan alasan kerahasiaan, informasi “sensitif”, perlu mendapat persetujuan dulu dari petani plasma mereka, atau tanpa alasan apapun.

Dua perusahaan menunjuk hasil audit terhadap operasi mereka yang disiapkan untuk Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), suatu skema sertifikasi industri sawit.

Namun hasil audit ini tidak menunjukkan data yang cukup terperinci untuk semua anak-anak perusahaan.

Kami menemukan bahwa hasil audit RSPO juga bisa menutupi masalah-masalah seputar plasma. Audit pada 2017 terhadap pabrik Lonsum dengan sawit dipasok dari kebun di Tebing Tinggi, misal, berlangsung enam bulan setelah Suku Anak Dalam membakar kantor perusahaan.

Audit itu tak menyebut geger itu justru menyebutkan “tidak ada masalah-masalah negatif” dengan masyarakat. Pada pekan sama saat para auditor berkunjung ke lapangan, tujuh warga Suku Anak Dalam dipenjara karena turut membakar kantor Lonsum.

 

 

Perumahan pegawai perkebunan PT Lonsum di Tebing Tinggi. Sebuah audit perkebunan untuk skema sertifikasi, RSPO, tidak mencatat adanya konflik dengan Suku Anak Dalam. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Guna mengetahui apakah cerita dari masyarakat dan media yang beredar, atau industri sawit itu menyuguhkan gambaran lebih akurat, kami mencari tahu situasi pertanahan milik sebuah konglomerat.

Golden Agri-Resources, yang dikendalikan keluarga miliarder Widjaya, menguasai lebih dari setengah juta hektar lahan di berbagai wilayah Indonesia.

Secara keseluruhan, perusahaan ini melaporkan bahwa hampir 21% dari total lahan yang sudah ditanami adalah plasma. Ketika kami menyelidiki hasil audit atas perkebunannya, data pemerintah, laporan publik, serta wawancara dengan masyarakat, kami mendapatkan gambaran lebih rumit.

Kami mendapati, sebesar 36% dari area plasma hanya lima dari 54 anak perusahaan Golden Agri. Semua merupakan konsesi lama di Sumatera yang dibangun pada 1990-an dan awal 2000-an.

Pada era itu, banyak perusahaan perkebunan bahkan menyediakan sekitar 70% lahan untuk plasma.

Saking luasnya kebun plasma di Sumatera itu, hingga menutupi situasi yang sangat berbeda pada seabrek anak perusahaan lain. Golden Agri telah mengungkapkan secara terbuka, atau ketika menanggapi pertanyaan-pertanyaan kami, bahwa ada delapan anak perusahaan yang belum memenuhi kewajiban hukum untuk menyediakan 20% lahan sebagai plasma.

Menanggapi serangkaian pertanyaan yang kami sampaikan, Wulan Suling, Kepala Bagian Humas Golden Agri, mengakui melalui email bahwa perusahaan belum menyediakan 20% plasma dari semua perkebunan yang dipersyaratkan. Dia katakan, pemenuhan plasma itu “masih dalam proses.”

Dalam sebuah wawancara berikutnya, Susanto Yang mengatakan, satu faktor kunci yang memperlambat penyediaan plasma adalah rumitnya proses penentuan petani di areal tertentu yang memenuhi syarat untuk menjadi mitra dalam skema plasma, serta pembagian lahan di antara mereka.

Begitu mereka melalui tahapan ini, katanya, tak mudah juga untuk menentukan lokasi plasma.

“Butuh waktu, butuh kesabaran, butuh dukungan semua pihak,” katanya.

Susanto menaksir proses perlu waktu dua atau tiga tahun.

Salah satu anak perusahaan Golden Agri bernama, Bumi Sawit Permai, beroperasi di Sumatera Selatan seharusnya membangun 1.500 hektar kebun plasma sebagai syarat izin yang diperoleh pada 1998.

Dua puluh tahun kemudian, audit RSPO menunjukkan, perusahaan ini telah membangun lebih 5.000 hektar perkebunan sawit, tetapi tak ada plasma untuk masyarakat.

Sebuah firma hukum yang ditugaskan RSPO menyimpulkan pada 2016, bahwa Bumi Sawit Permai wajib membangun plasma, meskipun perusahaan ini menyangkal kewajibannya.

Pada Februari lalu, Golden Agri memberi tahu kami bahwa anak perusahaan itu telah membangun 700 hektar plasma—tak sampai separuh dari yang seharusnya dibangun—sisanya “sedang proses.”

Di Kalimantan Barat, tepatnya di Kapuas Hulu, Golden Agri mendaftarkan petani dalam skema plasma pada 2007. Perusahaan ini telah menanam sawit, tetapi tak membangun semua plasma yang telah dijanjikan, selama bertahun-tahun.

Pada 2014, dua LSM mengajukan pengaduan tentang kasus ini ke RSPO yang bertugas menjalankan prosedur pengaduan untuk memastikan anggota memenuhi komitmen mereka secara sukarela.

Enam bulan kemudian, RSPO memutuskan bahwa Golden Agri gagal menyediakan plasma yang telah dijanjikan, dan melarang membuka perkebunan baru sampai pengaduan diselesaikan.

Golden Agri kemudian memberi tahu RSPO bahwa mereka telah menyediakan lebih 1.000 hektar plasma untuk perkebunan di Kapuas Hulu pada 2018, lebih dari 10 tahun setelah mereka pertama kali mendaftarkan petani plasma.

Lambannya penyediaan plasma ini, menurut Marcus Colchester, mengindikasikan bahwa “sebagian orang yang melepaskan tanah pada 2007 tak akan menikmati hasil berarti selama hampir satu generasi.”

Februari lalu, Jaya Samaya Monong, Bupati Gunung Mas di Kalimantan Tengah, menutup satu anak perusahaan Golden Agri yang dinilai gagal membangun plasma setelah beroperasi 13 tahun.

Jaya mengatakan, masyarakat telah berunjuk rasa pada 2012 dan 2014 tetapi tanpa hasil.

 

Bupati Gunung Mas Jaya Samaya Monong menutup sebuah anak perusahaan Golden Agri yang telah gagal menyediakan plasma selama lebih dari satu dekade.

 

Dalam kampanye pencalonannya sebagai bupati pada 2019, Jaya berjanji memaksa perusahaan untuk bertanggung jawab. Meski sudah dua kali bertemu dengan perusahaan, Jaya mengatakan usahanya gagal.

Dia menurunkan polisi untuk menghentikan truk perusahaan yang keluar dari perkebunan. Tindakan tegas ini cukup langka di kalangan pemerintah dalam menangani kasus plasma. “Mungkin ya, selama tidak ada juga tindakan tegas yang membahayakan mereka rasakan, mungkin cuek aja, kan gitu,” katanya saat kami wawancarai.

Golden Agri menyatakan, menempuh langkah awal penyediaan plasma untuk anak perusahaan ini pada 2015, dengan harapan bisa mulai menanami sawit pada 2023.

Dalam penjelasan lebih panjang, Golden Agri menyebut kurangnya lahan sebagai tantangan lain.

Merespon pertanyaan-pertanyaan kami, empat perusahaan lain menyebut hal serupa sebagai hambatan untuk menyediakan plasma.

“Salah satu alasan mengapa hal ini muncul karena semua lahan yang layak jadi plasma sudah digunakan perusahaan,” kata Tania Li, profesor antropologi di Universitas Toronto, Kanada.

“Perusahan bilang, ‘oh, memang kami tidak bisa menyediakan 20% lahan untuk plasma karena sudah tidak ada lagi lahannya,’” kata Li yang melakukan banyak penelitian tentang perkebunan sawit di Indonesia.

“Ya, itu karena mereka menguasai semua. Mereka memiliki deretan perkebunan yang berdempetan.”

 

 

Desa Bina Karya dan konsesi perkebunan milik PT Lonsum di Kabupaten Musi Rawas Utara. Foto: Nopri Ismi./ Mongabay Indonesia

 

Alasan kedua, karena sebagian perusahaan telah mengadopsi kebijakan yang melarang mereka membabat hutan hujan atau merambah ke lahan gambut, praktik-praktik yang menghancurkan ruang hidup fauna dan melepaskan gas rumah kaca. Tekanan dari para pembeli minyak sawit memaksa hampir semua penghasil minyak sawit tidak menggunakan hutan hujan dan lahan gambut.

Dalam beberapa kasus, lahan yang mereka sisihkan ini telah direncanakan untuk plasma.

Bagi sebagian pihak, ada satu solusi jelas: perusahaan cukup menyediakan plasma dari lahan yang mereka gunakan.

Jaya bilang, sudah meminta Golden Agri mengambil langkah ini.

“Saya tidak mau tahu alasan macam-macam lagi. Karena sederhana aja logikanya. Kebun plasma itu dibangun bersamaan dengan kebun inti. Kenapa kebun inti sudah ada? Kenapa kebun inti bisa? Kenapa plasma kok tidak bisa?”

Ketika Golden Agri mengatakan kepada RSPO bahwa mereka tak bisa menemukan lahan cukup untuk plasma di Kapuas Hulu, Forest Peoples Programme menyarankan, kalau mereka bisa mengalokasikan area kebun mereka sendiri.

Golden Agri menolak, dengan dalih pinjaman bank dan izin yang mereka pegang “secara mendasar tidak memungkinkan” untuk itu.

Mungkin ada satu alasan lain mengapa perusahaan menghindari pilihan ini: mengambil lahan yang sudah ditanami akan merugikan mereka.

Dalam sebuah memo kepada bursa saham Singapura pada 2018, perusahaan perkebunan Sawit Sumbermas Sarana mengakui bahwa mereka tak mematuhi aturan plasma Indonesia dan barangkali harus mengalokasikan sebagian dari perkebunannya sendiri kepada masyarakat. Kalau aturan ini dipatuhi, tulis perusahaan ini, “dapat berdampak merugikan kami secara material bagi usaha, kondisi keuangan, hasil pelaksanaan usaha serta prospek ke depan.”

 

Pelabuhan Rotterdam, Belanda, menjadi pusat penghubung impor minyak sawit ke Eropa.

 

 

Peran pembeli

Perusahaan penghasil barang konsumsi yang menyerap ribuan ton minyak sawit tiap tahun dan menyebarkan ke rak-rak supermarket telah berjanji memberantas “eksploitasi” orang-orang di dalam rantai pasokan mereka.

Komitmen ini dibuat setelah tekanan bertahun-tahun dari aktivis dan jurnalis yang membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan sawit telah mencaplok tanah-tanah masyarakat dan melanggar hak-hak buruh. Namun, masalah plasma tampak luput dari para pembeli minyak sawit.

Kami membandingkan data terbaru dari perusahaan-perusahaan penyerap minyak sawit tentang pemasok mereka dari Indonesia dengan data yang kami punya tentang tuduhan publik terkait plasma. Pembandingan ini mengindikasikan, lebih selusin perusahaan penghasil barang konsumsi membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang dituding menahan plasma, atau keuntungan dari plasma, dari masyarakat selama delapan tahun terakhir.

Analisis ini berdasarkan laporan publik tentang tuduhan ini dan data terbaru terbitan perusahaan produk konsumsi tentang pemasok minyak sawit mereka.

 

 

Sejumlah produsen minyak sawit yang memasok perusahaan barang konsumsi yang anak perusahaannya diduga telah menahan plasma, atau keuntungan dari plasma, dari masyarakat dalam delapan tahun terakhir. Analisis ini didasarkan pada laporan publik tentang tuduhan ini dan data terbaru yang diterbitkan oleh perusahaan barang konsumsi tentang pemasok minyak sawit mereka.

 

Perusahaan-perusahaan tertuduh itu juga berkaitan dengan kasus-kasus yang menjadi fokus investigasi kami ini.

Johnson & Johnson dan Kellogg’s, misal, membeli minyak sawit dari konglomerasi yang punya perkebunan di Tebing Tinggi. Perusahaan kosmetik Avon membeli minyak sawit dari pabrik yang mengolah sawit dari tanah Suku Anak Dalam.

Menanggapi temuan kami, Avon menyatakan, mereka “akan ambil tindakan untuk menyelidiki lebih lanjut.”

Johnson & Johnson menanggapi bahwa mereka “menyikapi tuduhan ini dengan sangat serius” dan berinisiatif untuk melakukan proses pengaduan.

Kellogg’s menyatakan, akan menyelidiki tuduhan ini dan “berkoordinasi dengan pemasok kami untuk menentukan langkah selanjutnya.”

Sementara itu, belasan perusahaan — termasuk PepsiCo, Unilever, dan Nestlé — melaporkan bahwa mereka membeli minyak sawit dari perkebunan Golden Agri yang telah ditutup oleh seorang bupati pada Februari 2022 setelah gagal membangun kebun plasma selama lebih dari satu dekade.

Kami menyuguhkan ringkasan dari temuan kami kepada para pembeli minyak sawit itu, dengan menekankan hubungan rantai pasokan mereka dengan kasus-kasus spesifik yang kami dalami, juga dengan besarnya jumlah kasus dari data kami.

Mereka menanggapi dengan menunjukkan kebijakan yang mereka bikin untuk melindungi hak asasi manusia serta membersihkan “eksploitasi” dari rantai pasokan mereka.

Sebagian dari perusahaan ini menyatakan, mereka mensyaratkan pemasok minyak sawit agar mematuhi aturan hukum. Mereka bilang, biasanya mereka “engage” (berkoordinasi) dengan pemasok ketika menengarai ada potensi pelanggaran terhadap kebijakan itu. Juga akan melakukan hal sama terkait kasus-kasus yang kami identifikasi dalam artikel ini.

 

Dari kiri, Katap, Rendi, dan Mat Yadi berdiri di bawah pohon terap di sebuah perkebunan sawit. Hampir semua tumbuhan dibabat untuk membuka perkebunan. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

 

Sebagian pembeli minyak sawit itu mengakui masalahnya melampaui kasus per kasus tertentu yang kami identifikasi.

Reckitt menyatakan, temuan-temuan kami “menunjukkan masalah sistematis” yang “membutuhkan investigasi lebih lanjut serta tindakan terkoordinir oleh berbagai pihak berkepentingan baik publik maupun swasta guna menanganinya.”

Empat perusahaan berkomitmen pada upaya-upaya lebih luas untuk memastikan sekaligus mengurangi keterlibatan mereka dengan masalah-masalah seputar plasma.

Colgate-Palmolive, misal, menyatakan, “kegagalan untuk mematuhi aturan tentang plasma menunjukkan masalah sistematis lebih luas.” Perusahaan ini menyatakan, akan mengembangkan proses uji kelayakan guna memastikan pemasok menyediakan plasma secara memadai. Juga memonitor apakah perusahaan-perusahaan pemasok mampu “mengidentifikasi dan mengatasi konflik dengan masyarakat terkait ketidakpatuhan terhadap kewajiban plasma.”

Djayu Sukma Ifantara, aktivis dari Kalimantan Barat, mengatakan, para pembeli minyak sawit menawarkan suatu sarana penting bagi masyarakat untuk menekan perusahaan perkebunan ketika pemerintah gagal menindak.

“Untuk saat ini, inilah cara terbaik,” katanya.

“Para pembeli itu harus membuka mata, membuka pikiran tentang berbagai konflik ini, serta menemukan solusi terbaik.”

Djayu mencatat kekurangan cara ini. Mendorong penyelesaian perselisihan melalui para pembeli internasional perlu waktu panjang, katanya, dan tak dapat menyelesaikan masalah paling mendasar Kalau masyarakat menginginkan tanah mereka kembali, misal, ini membutuhkan intervensi pemerintah.

“Solusinya harus dibuat oleh pemerintah. Ini tanggung jawab pemerintah, kewajiban pemerintah, yang dimandatkan dalam hukum Indonesia.”

Untuk tanggapan terperinci dari perusahaan-perusahaan penghasil barang konsumsi, silakan klik tautan ini

Keluarga Suku Anak Dalam yang kehilangan ruang hidup karena hutan mereka sudah menjadi kebun sawit. Kini, mereka hidup di tengah kebun sawit perusahaan. Foto: Nopri ismi/ Mongabay Indonesia

 

Suatu hari tahun lalu di perkebunan Musi Rawas Utara, tangan Siti Maninah, tetua Suku Anak Dalam, menembus semak-semak untuk mencari brondolan sawit yang rontok.

Kalau beruntung, Siti, bisa mengumpulkan brondolan sampai 10 kilogram untuk dijual ke pabrik. Hasilnya cukup untuk makan sekeluarga sehari.

Dia seringkali mengumpulkan cukup brondolan, tetapi kadang tak dapat sama sekali. Dia cemas bakal jadi apa anak-anak Suku Anak Dalam, saat dewasa kelak, ketika tanah leluhur mereka sudah dikuasai Lonsum.

“Kami tak tahan lagi hidup begini. Kami menunggu lahan kami secepat mungkin.”

 

 

********

Exit mobile version