Mongabay.co.id

Mewaspadai Perdagangan Burung Kicau Asli Indonesia di Platform Online

 

 

Menjual spesies terancam punah secara online merupakan cara yang semakin populer dilakukan para pedagang. Sebuah riset baru-baru ini, yang diterbitkan dalam jurnal Oryx, menyoroti tren terkait: spesies kurang dikenal yang secara tradisional tidak menjadi perhatian pedagang maupun konservasionis, muncul secara online.

Awal tahun ini, Vincent Nijman, seorang profesor antropologi bersama Oxford Wildlife Trade Research Group di Oxford Brookes University di Inggris, melacak penawaran penjualan burung walik kepala-ungu [Ptilinopus porphyreus] di grup Facebook dan platform online. Spesies yang “tidak mencolok” ini jarang ditemukan di pasar di negara asalnya, Indonesia.

“Butuh beberapa jam bagi saya untuk menemukan jumlah yang layak [cukup banyak] dari penjualan mereka secara online,” kata Nijman kepada Mongabay. “[Anda] dapat menemukan lebih banyak dari mereka secara online ketimbang yang kita lihat, katakanlah dalam empat atau lima dekade dengan cara mensurvei pasar [fisik].”

Secara total, Nijman menemukan 56 burung ini terdaftar untuk dijual secara online. Harganya, berkisar mulai $20 seekor. Bagi Nijman, ini menunjukkan spesies yang sebelumnya kurang diminati di pasar fisik [tradisional] kini dapat dijual secara online.

“Karena meskipun sangat spesifik, dengan internet dan pada dasarnya secara periklanan online, layanan kurir yang baik, dan juga kurangnya penegakan hukum… dengan semua hal ini digabungkan berarti jika Anda ingin menjual burung walik kepala-ungu, Anda bisa melakukannya ,” ujarnya. “Anda bisa menjadikannya sebuah bisnis.”

 

Walik kepala-ungu yang hidup di hutan pegunungan tinggi di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebagai burung pemakan buah, perannya penting sebagai penebar benih di hutan. Foto: Ben Ponsford via Flickr [CC BY-NC-SA 2.0].

 

Secara tradisional, burung kicau telah menarik perhatian para pedagang dan pembeli di Asia Tenggara. Wilayah ini berada dalam situasi krisis, kata para konservasionis, dengan burung-burung berkicau ditangkap dan dijual secara massal sedemikian rupa sehingga populasi liarnya dari banyak spesies dapat dengan cepat menghilang.

Burung seperti burung walik kepala-ungu tidak cocok dengan permintaan pasar. Mereka tidak dikenal karena lagu/kicauan, tetapi burung jantan khususnya, mencolok secara visual. Dengan demikian, mereka tidak sepenuhnya “menarik” bagi calon pembeli atau kolektor, kata Simon Bruslund, kurator ornitologi di Kebun Binatang Rostock Jerman.

Sebaliknya, perkutut jawa [Geopelia striata] diperdagangkan secara umum tetapi juga dikembangbiakkan di penangkaran. Permintaan untuk spesies ini, kata Bruslund, berpusat di sekitar daerah permintaannya.

Status konservasi burung walik kepala-ungu, terdaftar sebagai yang paling tidak diperhatikan dalam Daftar Merah IUCN. Berdasarkan survei ekstensif di Pulau Jawa, Indonesia, meskipun hasilnya masih dianalisis, kemungkinan statusnya menjadi mendekati  terancam punah.

“Belum banyak bukti bahwa mereka bermasalah dari sudut pandang konservasi, dan kami tidak memiliki banyak bukti bahwa mereka tidak bermasalah,” kata Stuart Marsden, ahli ekologi konservasi di Manchester Metropolitan University, Inggris, yang memimpin survei.

 

Sebuah survei yang dilakukan dalam satu hari dari platform online menemukan 56 ekor burung walik kepala-ungu muda diperdagangkan. Foto: Achmad Ridha Junaid/Burung Indonesia

 

Minat yang semakin berkembang

Beberapa penjual yang mengiklankan burung walik kepala-ungu juga mencantumkan  berbagai spesies lain, seperti walik kembang [Ptilinopus melanospilus] dan delimukan zamrud [Chalcophaps indica], keduanya terdaftar dengan status yang paling tidak diperhatikan.

Nijman menunjuk contoh lain: puyuh-gonggong jawa [Arborophila javanica], juga terdaftar sebagai yang paling tidak diperhatikan, dan puyuh-gonggong biasa [Arborophila orientalis], yang dianggap Rentan. Dalam studi terbaru lainnya, kedua spesies ini didokumentasikan berdasarkan pasar fisik dan online.

Permintaan akan burung yang tidak mencolok ini sebagian didorong oleh minat yang berkembang secara internasional, menurut Joe Wood, co-chair IUCN’s Pigeon and Dove Specialist Group dan ahli ekologi konservasi di Kebun Binatang Toledo di AS.

“Perdagangan di sekitar telah menarik minat pemeliharaan domestik spesies merpati dan burung puyuh di tempat-tempat seperti Asia, yang secara historis tidak dihargai sama sekali sebagai subjek penangkaran,” katanya.

Kekhawatiran muncul, misalnya, mengenai seputar minat internasional terhadap merpati-hutan perak [Columba argentina], endemik Indonesia dan Malaysia yang terancam punah. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Februari lalu, para konservasionis memperingatkan bahwa penjualan spesies ini juga muncul di media sosial dan pasar online, berpotensi melayani pembeli domestik dan internasional.

Wood mencotohkan spesies lain, puyuh kepala biru [Starnoenas cyanocephala], endemik Kuba yang terancam punah, mulai diperjualbelikan di Eropa dan Timur Tengah dalam “jumlah yang cukup signifikan” sejak 2016.

 

Perkutut jawa. Spesies ini memiliki nilai tinggi sebagai hewan peliharaan dan sebagai burung berkicau. Foto: Simon Bruslund

 

Spesies seperti walik kepala-ungu mungkin tidak langsung menjadi perhatian konservasi. Semua walik kepala-ungu yang dijual, kata Nijman, adalah burung dewasa dan kemungkinan ditangkap dari alam liar. Di Indonesia, meski tidak mendapat manfaat dari status dilindungi, spesies ini tidak memiliki kuota untuk ditangkap, artinya menangkap dan menjual burung itu merupakan tindakan ilegal.

Nijman mengatakan, perdagangan sekarang harus dianggap sebagai ancaman bagi kelompok burung yang jauh lebih besar, tidak hanya yang terdaftar sebagai terancam punah. “Saya bisa saja menangkap merpati atau burung tak dikenal lainnya, membuat dampak yang sama,” katanya.

 

Merpati perak yang tak luput diperdagangkan secara onlie. Foto: James Eaton/Birdtour Asia

 

Wood mengatakan, sementara perdagangan semacam itu mengkhawatirkan, namun masalah lain seperti perburuan makanan, hilangnya habitat, dan spesies invasif, tetap menjadi ancaman dominan bagi spesies merpati dan burung puyuh pada umumnya.

Namun, jika spesies tertentu menjadi sasaran, hal itu dapat meningkatkan tekanan secara signifikan dan mengancam kelangsungan hidup suatu spesies, kata Bruslund.

“Hal itu bisa terjadi dengan sangat cepat. Kami melihatnya pada burung kicau. Yang benar-benar berubah dalam beberapa tahun; ketika mereka diawasi dengan ketat, populasinya berubah dari yang paling tidak mengkhawatirkan menjadi sangat terancam punah,” katanya.

 

Burung puyuh berkepala biru. Spesies endemik Kuba yang terancam punah ini dicari oleh kolektor di Eropa dan Timur Tengah. Foto: Dave Curtis melalui Flickr [CC BY-NC-ND 2.0]

 

Untuk mengatasi masalah ini, Nijman dan yang lainnya mengatakan undang-undang lokal yang ada harus ditegakkan, sementara platform online mengambil tindakan lebih banyak untuk mengatasi keberadaan pedagang satwa liar di platform mereka.

“Alasan mereka tidak mendukung karena banyak orang berpikir, oh hanya seekor burung. Oh, hanya seekor burung. Oh, harganya hanya $20,” kata Nijman.

“Ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang memiliki semacam dampak dramatis pada masyarakat luas atau pada sumber daya alam hutan. Dan, tidak diakui bahwa apa yang kita lihat adalah tanda-tanda dari masalah yang lebih besar,” jelasnya.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: It’s just a bird’: Online platforms selling lesser-known Indonesian species. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Referensi:

Nijman, V. (2022). Online trade threatens even inconspicuous wildlife. Oryx56(3), 332-333. doi:10.1017/s0030605322000187

Nijman, V. (2022). Analysis of trade in endemic Javan hill partridges over the last quarter of a century period. Avian Biology Research. doi:10.1177/17581559221086469

Bruslund, S., Leupen, B., Shepherd, C. R., & Nelson, S. S. (2022). Online trade as a serious additional threat to the critically endangered silvery pigeon Columba argentina in Indonesia. Nature Conservation46, 41-48. doi:10.3897/natureconservation.46.80064

 

Exit mobile version