Mongabay.co.id

Yusran Nurdin Massa: Dua Dekade Merawat Mangrove

 

 

Bicara tentang pengelolaan mangrove, khususnya di Sulawesi Selatan, tak akan jauh dari peran seorang aktivis bernama Yusran Nurdin Massa. Selama dua dekade lebih ia telah mengabdikan diri dalam turut menjaga kelestarian mangrove, tidak hanya di Sulsel, tapi juga secara nasional.

Yusran sendiri saat ini banyak menghabiskan waktu untuk mengurusi pengelolaan mangrove di berbagai daerah. Selain dalam perannya sebagai Environmental Technical Advisor (ETA) di Blue Forests atau Yayasan Hutan Biru, juga sebagai konsultan di berbagai proyek yang melibatkan pemerintah, melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pemerintah daerah, serta lembaga internasional.

Selain di Blue Forests saat ini saya juga diminta bantuan oleh BRGM dan KLHK dalam skema program bernama Mangrove Coastal Resiliance untuk menyusun visibility assessment untuk potensi rehabilitasi mangrove dalam rangka percepatan rehabilitasi mangrove nasional 75 ribu hektar di 4 provinsi yang menjadi wilayah kerja BRGM,” katanya kepada Mongabay, Selasa (10/5/2022).

Keterlibatan Yusran di proyek ini sebagai Mangrove Rehabilitation Specialist melalui Hatfield Indonesia yang dikontrak oleh World Bank

Di Blue Forests sendiri, pria kelahiran 1 Januari 1979 ini juga terlibat dalam sejumlah program pengelolaan mangrove dan peningkatan kapasitas masyarakat di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di Papua, Kalimantan, Riau, dan Sulsel.

baca : Ade Saskia Ramadina, Perempuan Muda Penjaga Mangrove di Lantebung

 

Yusran Nurdin Massa sosialisasi tentang mangrove di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tidak hanya melalui jalur kelembagaan, Yusran bersama penggiat mangrove di seluruh Indonesia menginisiasi proses saling belajar dalam pengelolaan mangrove di seluruh kawasan di Indonesia dan terlibat aktif dalam penggiat mangrove di Indonesia bagaimana menginisiasi diskusi-diskusi.

Tujuannya agar ada sharing pembelajaran dan upaya-upaya pengembangan kapasitas agar praktik-praktik baik di suatu lokasi dapat berkembang di tempat lain, dan bagaimana kita bisa belajar dari kegagalan beberapa tempat untuk bisa memperbaiki praktik di tempat lain.

 

Awal Mula Ketertarikan pada Isu Lingkungan dan Mangrove

Dua dekade lebih menjaga mangrove, baik melalui edukasi, pendampingan dan mendorong kebijakan terkait mangrove, Yusran mengakui mulai tertarik pada isu lingkungan, khususnya mangrove saat dia menempuh pendidikan di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Ketika pertama kali masuk di Unhas, saya masuk tahun 1997, bersama rekan-rekan di kampus kita menginisiasi pembentukan forum ilmiah

Dari sana kita mendorong dua kegiatan besar yaitu Ekspedisi Celebes 1 di Kepulauan Tanakeke dan Ekspedisi Celebes 2 di Kabupaten Sinjai,” jelasnya.

Keterlibatannya dalam berbagai forum diskusi dan kegiatan lapangan memberinya pengalaman dan kesadaran baru.

“Dari sana kemudian saya sebagai pribadi melihat bahwa banyak sekali ketimpangan dan persoalan-persoalan di pesisir dan laut yang perlu didekati dan diretas bersama seluruh pihak.

baca juga : Mangrove Pulau Gelasa yang Penting untuk Bumi

 

Yusran memberikan edukasi pada komunitas generasi muda peduli mangrove di Lantebung, Makassar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Masih berstatus mahasiswa, sekitar tahun 2000, Yusran bergabung menjadi voluntir di Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, lembaga yang didirikan seniornya di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unhas, termasuk di antaranya Moh. Zulficar Mochtar, mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Setelah sarjana di tahun 2003, Ia resmi bergabung di YKL di mana ia kemudian banyak melakukan riset-riset dan pendampingan terkait mangrove. Empat tahun kemudian ia memimpin lembaga ini sebagai direktur ekskutif untuk periode 2007-2010.

Setelah memimpin YKL, Yusran bergabung dengan Mangrove Action Project (MAP) sebagai Senior Project Officer di mana dia bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi mangrove seluas 400 hektar di Sulsel dan mendinamisasi semua aktivitas proyek yang berjalan di MAP, baik sekolah lapang maupun advokasi kebijakan yang ada dalam program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam.

MAP berganti nama menjadi Yayasan Hutan Biru atau Blue Forests pada tahun 2015, dia didaulat sebagai direktur eksekutif, yang dijabatnya selama 3 tahun, 2015-2018.

 

Degradasi dan Tantangan Tata Kelola Mangrove di Sulsel

Bicara tentang tata kelola mangrove di Sulsel, Yusran menilai ada banyak persoalan baik dari segi kebijakan maupun di tingkat tapak.

Menurutnya, dalam beberapa dekade terakhir ini, kondisi mangrove di Sulsel mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah dan menyebabkan degradasi yang cukup besar.

Mangrove di Sulsel dulunya sangat luas. Tercatat tahun 1980an luasan mangrove sekitar 214 ribu hektar dan saat ini jauh sekali berkurang menjadi 11 ribu hektar. Pemicunya adalah alih fungsi lahan menjadi tambak, yang 86 persen dari perubahan fungsi menjadi tambak dan inilah yang memberikan tekanan terhadap kondisi mangrove kita di Sulsel,” jelasnya.

baca juga : Lewat Pariwisata, Hutan Mangrove Bagek Kembar Kembali Rimbun

 

Mangrove di Sulsel kini tersisa sekitar 11 ribu hektar, berkurang drastis dibanding tahun 1980-an yang jumlahnya mencapai 214 ribu hektar. Pemicunya adalah alihfungsi lahan mangrove menjadi tambak. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurutnya, karena degradasi yang sangat luas ini kemudian banyak sekali masyarakat pesisir yang dulunya mereka sangat dekat mangrove namun hilang, sehingga memori sosial bagaimana mengelola mangrove itu hilang juga, karena perubahan fungsi yang masif.Sehingga, untuk mengembalikan memori sosial dan ekologi itu diperlukan upaya luar biasa.

“Kalau kita berjalan di sekitar kawasan mangrove, anak-anak dan malah orang tua malah lebih mengenal ekosistem tambak dibanding mangrove.

Dengan kondisi ini, upaya penguatan tata kelola ekosistem mangrove harus dilakukan dengan membangun kembali memori sosial yang ada di masyarakat.

“Membangun kembali memori sosial adalah hal sangat penting dilakukan, karena sulit memperbaiki tata kelola ketika mindset terkait mangrove sudah mulai hilang. Sangat sulit kita mendorong perbaikan tata kelola mangrove di Sulsel ketika kita melepaskannya dari tambak karena saat ini tercipta keseimbangan baru setelah mangrove tadi banyak dikonversi, antara tambak dan mangrove,” jelasnya.

Memperbaiki tata kelola mangrove maka harus dikaitkan dengan tata kelola tambak, sehingga mendorong upaya mozaik lanskap keseimbangan lanskap tambak dan mangrove sangat penting di Sulsel. Pertama, bisa berkontribusi terhadap perluasan kawasan mangrove supaya bisa menyuplai kepentingan budidaya tambak yang sedang menurun produksinya. Kedua untuk tambak sendiri bisa menjadi opsi untuk mengurangi input produksi yang saat ini banyak mengandalkan input dari luar seperti pakan, urea, pestisida yang dalam konteks lingkungan akan memberikan efek tidak sedikit.

Menurutnya, mesti dipikirkan bagaimana supaya keseimbangan dan perbaikan tata kelola tambak dan mangrove harus disandingkan dalam konteks perbaikan tata kelola mangrove di Sulsel.

baca juga : Terpilih sebagai Kepala Desa, Awaluddin Fokus Perbaiki Mangrove dan Terumbu Karang

 

Kawasan ekowisata Lantebung, yang merupakan ‘kawasan mangrove terakhir di Kota Makassar, banyak dikunjungi wisatawan di akhir pekan dan hai libur. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dalam kaitannya dengan tren kerusakan mangrove di Sulsel, Yusran melihat ada pergeseran dalam beberapa dekade terakhir. Jika pada tahun 1980-an banyak konversi lahan di Sulsel bagian selatan maka pada tahun 2000-2010 bergeser ke Sulsel bagian utara, sampai Luwu dan Lutim, di mana proses konversi secara masif terjadi sekitar tahun 2008-2010.

Menurutnya, hal ini terjadi karena lahan-lahan budidaya yang ada di Sulsel bagian selatan sudah menurun produksinya sehingga kecenderungan petambak-petambak mencari lokasi-lokasi baru, dan ekspansi ini sampai ke Sulut dan Gorontalo di mana pembukaan lahan terjadi oleh petambak-petambak Sulsel, yang kemudian berlanjut ke Kaltim dan Kalsel.

“Artinya, ada masalah terkait tata kelola tambak kita di Sulsel. Membenahi pengelolaan ekosistem mangrove di Sulsel dan wilayah-wilayah prioritas tambak lainnya disebabkan oleh diaspora petambak Bugis-Makassar itu harus memasukkan komponen pembenahan tata kelola tambak di Sulsel sendiri, mulai dari Maros, Pangkep, Barru dan seterusnya.

 

Exit mobile version