Mongabay.co.id

Lahan Pertanian Kebanjiran, Lumbung Pangan Warga Air Hitam Terancam

 

 

 

 

Jumariah hanya bisa nangis meratapi sawah tenggelam tertelan banjir. Hampir enam kali musim berganti, tetapi air tak juga surut. Sawah yang dulu sesak dengan padi menguning kini berubah jadi rawa penuh ilalang.

“Nangis aku, padi sudah mau panen tibo-tibo air naik. Tenggelam semuo, habis dak ado yang biso dipanen,” katanya, raut wajahnya menunjukkan rasa penuh kecewa.

Kini, perempuan 41 tahun itu harus menggarap sawah orang lain demi menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah. Hasil panen akan dibagi lima bagian, empat untuknya dan satu pemilik sawah.

“Sekarang garap sawah orang yang ngganggur, pindah-pindah. Nak kek mano lagi, anak butuh makan jadi terpaksolah gini,” katanya.

Suaminya, makin jarang pulang melanglang mencari ikan di sungai demi dapat tambahan penghasilan dan lauk makan.

Jumariah pernah dapat bantuan Rp2,5 juta dari pemerintah karena gagal panen dua tahun lalu. Setelah itu, tak ada bantuan lagi meski sawah kini tenggelam, tak bisa lagi digarap.

Dia bingung mengapa air yang menenggelamkan sawah tak kunjung surut. “Musim kemarau bae air setinggi dado, apolagi musim hujan air naik, sayo bae tenggelam. Dak ado yang biso diharap lagi.” Jumariah pasrah.

Bukan hanya Jumariah, ada seratusan petani di Desa Semurung, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun juga kehilangan sawah. Lumbung padi seluas 100 hekatar yang dulu jadikan warga Semurung hidup makmur, kini tenggelam.

 

Jumariah memanam padi. Dia menumpang tanam di lahan milik warga lain sejak sawahnya tak bisa lagi digarap karena terendam banjir.. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Penyebabnya?

Banjir yang dihadapi petani di Semurung berakar dari masalah rumit. Persoalannya, bukan hanya curah hujan tinggi atau Sungai Air Hitam gampang meluap karena penyempitan dan pendangkalan, tetapi juga tanggul.

Warga menuding tanggul yang dibangun perusahaan sawit, PT Bahana Karya Semesta (BKS), grup PT Smart Tbk, anak perusahaan Golden Agri-Resoures (GAR) ini sebagai penyebab banjir.

Perusahaan sawit yang beroperasi di bawah merek Sinar Mas Agribusiness and Food di Indonesia, itu membangun tanggul sekitar tujuh kilometer, mulai Desa Lubuk Jering hingga Desa Baru. Tanggul ini untuk membentengi kebun dari kepungan air saat Sungai Air Hitam meluap.

Dampaknya, bukan hanya sawah di Semurung tenggelam, juga sawah di Desa Baru, Desa Jernih, Lubuk Jering, Pematang Kabau. Luas sawah tenggelam diperkirakan lebih 400 hektar. Di Desa Lubuk Kepayang dan Mentawak Baru, sekitar 40 hektar kebun warga terdampak banjir.

“Di Lubuk Jering itu kalau hujan deras air sampai masuk ke kantor desa,” kata Camat Air Hitam, Herjoni Edison.

BKS membangun tanggul setinggai 3-7 meter dan parit gajah untuk mengatur debit air dalam kebun. Herjoni bilang, mendapat laporan dari kelapa desa, ada beberapa anak sungai dialihkan agar kebun sawit BKS tak kebanjiran.

“Ini kan daerah rawa, dulu kalau air (sungai) naik itu sampai ke kebun perusahaan, setelah ditanggul air dak bisa lagi lewat, sekarang mentok di sawah masyarakat.”

Mediasi di kecamatan bolak-balik dilakukan tetapi tetap buntu. Perusahaan ngotot tanggul yang dibangun sesuai kajian pemerintah, meski mereka tak bisa menunjukkan buktinya. “Saya tanya mana berita acaranya? Mereka tak bisa tunjukkan,” kata Joni.

Pertengahan Februari lalu, Komisi II DPRD Jambi memanggil BKS, Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun, Sekretaris Daerah Sarolangun, Camat Air Hitam dan tujuh kepala desa untuk menyelesaikan persoalan banjir.

Dalam pertemuan itu, BKS terbukti keliru karena tak membangun embung. Dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tercatat mereka harus membangun embung seluas 51 hektar untuk mengendalikan air, bukan bangun tanggul. Meski begitu, BKS tetap menolak tudingan kalau banjir yang menenggelamkan sawah dan kebun masyarakat karena tanggul.

Pimpinan rapat komisi II, Rusli Kamal Siregar bahkan menyebut BKS sebagai perusahaan nakal. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menganggap dampak buruk dari kehadiran perusahaan sawit itu tak sebanding dengan mafaat.

Dia mendorong, izin BKS dicabut kalau tidak segera melakukan langkah-langkah perbaikan.

 

Al Kausari menunjukkan hasil panen tahun sebelumnya. Cuaca makin tak menentu saat ini hingga banyak warga susah menanam maupun gagal panen. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Lumbung pangan hilang

Desa Semurung pernah mandiri beras. Sudah lama Al Kausari, Ketua Kelompok Tani Pulai Ampak, tidak pernah beli beras, bahkan tak tahu lagi berapa harga beras sekarang. “Belum habis sudah panen lagi. Sekali panen kalau bagus biso buat makan dua tahun,” katanya.

Banjir yang rutin datang sekali setahun membuat sawah di Semurung subur sekalipun tidak dipupuk. Dia bilang, saat hasil panen bagus, satu hektar sawah bisa menghasilkan 120 karung gabah kering, atau tiga ton beras.

Kini banjir datang tanpa bisa diduga sejak BKS membangun tanggul sekitar 2017, tak lama setelah program cetak sawah Presiden Joko Widodo.

Semestinya, tak ada banjir pada Maret sampai April, karena banjir besar biasa datang sekali di ujung tahun antara Desember sampai Januari.

“Sekarang setahun biso duo sampai tigo kali banjir. Hujan semalam bae banjir. Orang jadi malas mau tanam padi,” katanya.

Banjir juga memicu serangan hama keong mas dan tikus yang sulit dikendalikan. Dua tahun terakhir jadi tahun paling buruk bagi masyarakat Semurung karena banyak sawah gagal panen. Desa yang dulu bisa penuhi kmeperluan beras ini kini justru bergantung pada pasokan daerah lain.

Arpandi, Kepala Desa Semurung mengatakan, lebih dari separuh masyarakat Semurung merupakan petani. Luas lahan sawah di Semurung mencapai 400 hektar, tetapi baru 200 hektar tergarap. Banjir menghancurkan sekitar 100 hektar sawah yang digarap 119 anggota kelompok tani.

“Pokoknya wilayah Dusun I itu kena banjir semua. Kalau dulu air bagi-bagi ada yang ke sawah ada yang ke kebun perusahaan. Sekarang, air mandek di sawah karena sudah dihadang tanggul.”

Arpandi ingat perusahaan sawit mulai membuka lahan sekira 1992. Sebelum diakusisi Smart, konsesi BKS punya PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL), anak usaha Bakrie Sumatra Plantations (BSP) dengan izin konsesi 6.141 hektar. BSP menguasai 60,75% dari izin HGU di Sarolangun, atau 22.051,59 hektar. Selain EMAL, SMART juga mengakusisi PT Jambi Agro Wiyana (JAW), anak usaha BSP lainnya.

Selain perkebunan sawit, BKS juga bikin minyak sawit mentah dan inti sawit. Smart tbk dan PT Sinarmas Bioenergy yang jadi induk BKS juga mendapatkan jatah memasok biodiesel.

Berdasarkan keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2020, keduanya mendapatkan jatah 799.302 kiloliter. Pada 2021, sebesar 717.482 kiloliter, dan 2022 sebesar 773.737 kiloliter.

Pada Februari dan Maret, saya mendatangi pabrik sawit BKS di Kecamatan Pauh untuk ketemu Hendra Ritonga, humas perusahaan. Saya meninggalkan pesan pada securiti perusahaan untuk permintaan wawancara dengan Hendra, tetapi tak ada jawaban hingga berita ini rilis.

Upaya menyelesaikan konflik dari pemerintah terkesan setengah hati. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sarolangun yang punya kewenangan menindak BKS tak mau melakukan eksekusi tanpa ada rekomendasi dari DLH provinsi.

Kurniawan, Kepala DLH Sarolagun saat dihubungi Mongabay bilang, masih menunggu hasil kajian penjabat pengelola Lingkungan Hidup (PPLH) DLH Jambi. “Kita masih menunggu hasil rekomendasi dari provinsi baru nanti kita bisa eksekusi.”

DLH Jambi mengaku telah melayangkan draf berisi rekomendasi untuk BKS ke Komisi II DPRD Jambi untuk mendapatkan masukan, tetapi surat itu tak kunjung ditindaklanjuti.

Juwanda Ibnu Jufri, anggota Komisi II mengatakan, DPRD bersama DLH dan Dinas Kehutanan telah melaporkan masalah BKS ke Dirjen Penegakan Hukum, KLHK 29 Maret 2022. Saat ini mereka masih menunggu hasil kajidan Dirjen Gakkum.

“Kalau nanti terbukti benar (tanggul) penyebab banjir, ya bongkar,” katanya. Hingga saat ini belum ada perwakilan dari Dirjen Gakkum turun ke lokasi.

 

Kecamatan Air Hitam pernah berdaulat pangan, bisa penuhi beras sendiri. Kini, banyak lahan pertanian warga kebanjiran hingga pasokan pangan pun terancam. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Gagal panen, produksi padi turun

Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi mencatat, luas lahan sawah di Jambi pada 2019 sekitar 68.349 hektar. Jambi menempati urutan ke-20 sawah terluas di Indonesia.

Pada 2021, luas sawah panen 67.240 hektar, menurun 17.530 hektar dibanding 2020. Hasil produksi gabah kering giling pada 2021 turun 69.600 ton dibanding 2020, sekitar 386.410 ton. Pada 2021, hasil produksi beras hanya 182.330 ton, merosot 40.050 ton dibanding tahun sebelumnya. Untuk kebutuhan beras di Jambi setiap tahun mencapai 276.000 ton.

“Setiap tahun nombok (datangkan dari luar) kita,” kata Agus Sudibyo, Kepala BPS Jambi.

Penurunan terbesar luas panen sepanjang 2021 terjadi pada Februari, Mei, dan Juli. Penurunan masing-masing seluas 4.370 hektar (49,5%), 5.940 hektar (63,08%), dan 4.360 hektar (40,22%).

Selain itu, luas panen pada Februari-April 2021, yang sebelumnya diprediksi mencapai 22.070 hektar, hanya terealisasi sekitar 19.090 hektar.

Agus mengatakan, penurunan ini dipicu banyak sawah gagal panen karena banjir.

Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan (DTPHP) Jambi mencatat lebih 3.500 hektar sawah gagal panen pada 2021.

Banjir menghancurkan 2.591 hektar tanaman padi di Muaro Jambi, 486 hektar di Batanghari, 214 hektar di Kabupaten Bungo, 137,5 hektar di Kota Jambi, 60 hektar di Tebo, dan 46 hektar di Kota Sungai Penuh.

Di Kabupaten Sarolangun, gabah kering giling pada 2021 hanya 14.850 ton. Jumlah itu turun 29,80% dibanding 2020. Selain banjir, banyak alih fungsi lahan juga memengaruhi penurunan produksi padi di Sarolangun.

Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Sarolangun mencatat, luas sawah di kabupaten pada 2020 tinggal 5.003 hektar. Setidaknya, 776 hektar sawah hilang dibandingkan data 2017. Banyak sawah beralih fungsi jadi perkebunan sawit dan tambang emas ilegal.

Alih fungsi lahan terbesar terjadi di Kecamatan Air Hitam. Lebih 800 hektar sawah hilang, terbesar dibanding sembilan kecamatan lain. Meski demikian, di beberapa kecamatan luas sawah justru bertambah karena program cetak sawah Jokowi.

 

Itu lahan pertanian, tempat Jumairah dulu menanam padi. Kini, lahan itu selalu terendam hingga dia tak bisa lagi bercocok tanam di sana. Jumairah pun terpaksa numpang di lahan orang lain untuk bisa menanam. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Perubahan iklim

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Muaro Jambi mencatat, pada Oktober 2020-Maret 2021, ada indikasi La-Nina lemah hingga menengah memicu peningkatan curah hujan. Di Jambi, puncak curah hujan rata-rata pada Oktober dan Maret.

“Malah 2021 itu kita tidak menemukan ada musim kemarau, karena hujan rata sepanjan tahun,” kata Sri Utami, Forecaster BMKG Stasiun Klimatologi Muaro Jambi.

Perubahan iklim terjadi. Petani, salah satu yang terdampak. Jaeruddin, petani di Jambi ini sudah menggarap sawah sejak 1988 merasakan ada perubahan pola musim.

Kondisi ini, katanya, membuat banyak petani sulit mengatur masa tanam padi. Biasa musim tanam pertama mulai antara Januari-Februari, dan musim tanam kedua Agustus-September.

“Kalau salah hitung bisa gagal panen, soalnya banjir itu dak nentu lagi. Kadang baru tanam tiba-tiba banjir, akhirnya busuk, tanam lagi, banjir lagi.”

Data BMKG menunjukkan, ada peningkatan suhu rata-rata Jambi 0,5-0,6 derajat celsius. Bahkan pada 2019, suhu rata-rata di Jambi meningkat 1,1 derajat selsius dibanding tiga dekade sebelumnya rata-rata 26 derajat celsius.

“Naik satu derajat itu sudah banyak sekali pengaruhnya,” kata Sri. Peningkat suhu bumi ikut memengaruhi siklus musim hingga makin sulit diprediksi.

Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi menyebut, apa yang terjadi di Jambi sebagai tanda awal bencana iklim serius. Pelepasan emisi karbon kelewat parah adalah pemicu krisis iklim.

“Trasnportasi, penggunaan energi fosil, hilangnya hutan semua menghasilkan emisi karbon,” katanya.

Sepanjang tiga dekade terakhir Jambi kehilangan hampir 1,9 juta hektar lebih tutupan hutan. Akhir 2019 Warsi mencatat, tutupan hutan di Jambi tersisa 900.713 hektar, berkurang 20.000 hektar dibanding 2017.

Lenyapnya lahan tutupan pohon ini sebagian besar karena deforestasi pengusahaan komoditas, seperti perkebunan sawit, karet, maupun tambang. Berkurangnya tutupan pohon terbesar di Indonesia terjadi pada 2015, mencapai 2,7 juta hektar.

Kemudian, pada 2017 dan 2018 mengalami penurunan seiring moratorium lahan gambut pada 2016. Namun, masih banyak izin usaha perkebunan di kawasan hutan dan tumpang tindih perizinan pertanahan jadi ancaman bagi kelestarian hutan hujan tropis di Indonesia.

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia – Greenpeace South East Asia menyebutkan, hilangnya hutan Indonesia ikut menyumbang emisi karbon 3,3 GigaTon selama 2007-2018.

Data terbaru dari University of Maryland dan tersedia di Global Forest Watch menyebutkan, daerah tropis kehilangan 12,2 juta hektar tutupan pohon pada 2020. Dari jumlah itu, 4,2 juta hektar, atau setara luas Belanda, terjadi di dalam hutan primer tropis yang lembab, sangat penting untuk penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayati.

Emisi karbon dari kehilangan hutan primer ini mencapai 2,64 Gt CO2 atau setara emisi tahunan 570 juta mobil, bahkan lebih dari dua kali lipat jumlah mobil di jalan raya di Amerika Serikat.

Laporan World Resource Institude (WRI) menunjukkan, Indonesia berada di posisi empat besar dari 10 negara teratas yang kehilangan hutan primer pada 2020, dengan luas 270.057 hektar, di bawah Bolivia (276.000 hektar), Kongo (490.000 hektar) dan Brazil (1,7 juta hektar).

 

Warga Semurung, tak bisa lagi bercocok tanam karena lahan sudah jadi danau. Mereka pun ada yang manfaatkan lahan terendam itu untuk cari ikan. Foto:: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Jadi buruh perusahaan

Sore itu Titi, bukan nama sebenarnya tengah repot menyiapkan acara yasinan. Dia sudah tiga tahun jadi buruh di perusahaan sawit Sinar Mas. Hasil pertanian tak bisa lagi dia harapkan.

Dia bilang, banyak perempuan yang dulu bersawah kini kerja di BKS. Tetapi tak semua bisa diterima kerja. “Yang kerjo itu yang mudo-mudo umur 30-an, kalau sudah 40-an gak diterimo lagi.”

Perempuan 36 itu kerja mungut brondolan sawit. Beberapa perempuan lain kerja bagian penyemprotan racun rumput dan pemupukan. Laki-laki bagian panen. Kerja mulai pukul 07.00- 14.00. Sehari dibayar Rp100.000-Rp105.000 tergantung bagian kerja.

Kabar rencana pemecatan massal membuat Fatimah khawatir. Katanya, perempuan bekerja di perusahaan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Saat sawah mereka tenggelam, ancaman PHK membuat mereka kena masalah ekonomi.

Kerjo di sawah sudah dak biso, sekarang malah mau dipecat.”

 

**********

Exit mobile version