Mongabay.co.id

Beragam Bungkus Makanan Gunakan Daun, Hindari Plastik

 

 

 

 

Lontong, ketupat, lepat, nagasari, lalampa, arem-arem, lupis, dan banyak lagi pangan di nusantara ini yang dibungkus dengan daun. Lontong daun dan ketupat, antara lain yang dipakai di banyak menu makanan, seperti sate, lontong sayur, gado-gado dan banyak lagi. Keperluan pangan ini pun tinggi setiap harinya. Lontong dan ketupat juga lekat dengan perayaan hari-hari besar maupun ritual adat.

Sejak kehadiran plastik, sebagian orang mengganti bungkus lontong atau masakan biasa pakai daun dengan plastik dengan alasan lebih praktis.

Rafika Aprilianti, dari Edukasi Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) berpendapat, lontong berbungkus daun lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup daripada plastik. Daun itu, katanya, bahan alami yang mempunyai zat-zat bermanfaat bagi tubuh. Berbanding terbalik dengan lontong plastik, risiko berbahaya, efek ke kesehatan tubuh karena plastik merupakan bahan sintetis dan mengandung zat-zat kimia.

“Masyarakat perlu sadar risiko kesehatan pakai plastik sebagai pembungkus lontong dan plastik sekali pakai yang banyak digunakan untuk pembungkus makanan lain. Solusi misal gunakan daun agar lebih aman,” katanya.

Dia beberkan, akumulasi mikroplastik dalam tubuh dapat menyebabkan potensi berbahaya bagi kesehatan manusia. Antara lain, secara fisik, konsumsi mikroplastik terus menerus bisa mengakibatkan terendap di permukaan jaringan. Kondisi ini, katanya, bisa memicu alergi bahkan lebih jauh lagi dapat memicu pembentukan sel kanker karena kerusakan sel-sel pada tingkat tertentu.

 

Lontong biasa dikenal dengan bungkus daun, tetaoi dengan masifnya penggunaan plastik, lontong pun bungkus dengan plastik. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Secara kimiawi, dapat melepaskan zat-zat kimia dan mentransfer ke dalam sel tubuh. Plastik mengandung senyawa phthalate dan Bisphenol-A (BPA), kedua senyawa ini dapat mengalami leaching atau terbebas dari plastik dan menguap dengan mudah.

Senyawa dalam plastik itu akan ditransfer melalui makanan ke tubuh karena didukung faktor lingkungan, seperti temperatur.

“Senyawa BPA dan Phthalate yang berpotensi memicu kanker payudara, pubertas dini, diabetes, obesitas dan gangguan autism.”

Senyawa pengganggu hormon, katanya, juga memicu gangguan kehamilan, gangguan tiroid, berat lahir kurang, asma dan kanker prostat dan lain-lain.

 

Ketupat Mentah terbuat dari daun Siwalan muda.. Disebut Katopa’ Brângbâng. Biasa dibuat oleh masyarakat Bangkes, Pamekasan. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Secara biologi, mikroplastik memiliki kemampuan mengikat apa saja di sekitar termasuk polutan. Ia juga berpotensi sebagai media pertumbuhan mikroorganisme bahkan bakteri pathogen seperti E.coli yang dapat menyebabkan diare. Juga, S.typhosa yang dapat menyebabkan tipes dan bakteri pathogen lain.

Jadi, katanya, bisa disimpulkan mikroplastik berpotensi jadi vector penyebaran penyakit yang dapat menginfeksi tubuh manusia.

“Tentunya, dengan edukasi ke masyarakat luas terkait risiko penggunaan plastik sekali pakai. Tolak penggunaan plastik sekali pakai karena plastik mempunyai zat-zat kimia sangat berbahaya bagi tubuh makhluk hidup. Semoga setiap daerah ada peraturan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai,” katanya.

Dardiri Zubairi, pegiat lingkungan dari Barisan AJaga Tanah Ajaga Na’poto (Batan) di Sumenep juga Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura, mengatakan, lontong-ketupat sebagai gambaran akulturasi agama dan budaya, di Madura khususnya sangat kuat. Meski lontong-ketupat itu, katanya, bukan hanya tradisi di Madura, di Jawa juga ada, bahkan nusantara.

 

Lontong daun, yang sudah ada sejak lama. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

“Sebut saja ketupat, yang rame di Madura itu ketika tujuh hari pasca Lebaran, dinamai tellasan topa’ maka ketupat itu rame di tujuh hari paska Lebaran. Padahal di Jakarta pas idul Fitri sudah bisa menikmati ketupat. Nah beda kan?” katanya.

Menurut dia, hal ini juga menunjukkan hubungan kebudayaan dengan lingkungan. Ketupat maupun lontong dengan bungkus daun pisang atau janur atau daun siwalan. Bahan-bahan pembungkus ini, katanya, alami dan tidak berbahaya baik bagi manusia maupun lingkungan hidup.

Dia menyayangkan sebagian masyarakat yang terperangkap dalam jebakan pragmatisme, dengan pakai plastik sebagai bungkus termasuk buat lontong.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam laman resmi menjelaskan tentang penggunaan plastik untuk memasak lontong. Masyarakat perlu lebih memahami tentang plastik yang biasa untuk membungkus atau mewadahi berbagai jenis pangan.

 

Koyabu, makanan khas Manado, yang dibungkus dengan daun pandan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Yulia Sari, Budi Afriyansyah, dan Lina Juairiah dalam jurnal Ekotonia: Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi berjudul Pemanfaatan Daun Sebagai Bahan Pembungkus Makanan Di Kabupaten Bangka Tengah merekomendasikan daun yang bisa jadi bungkus masakan kukus-rebus.

Setidaknya, ada 10 jenis dan tujuh famili tumbuhan dengan daun dapat sebagai pembungkus makanan tradisional oleh masyarakat Bangka Tengah. Antara lain, daun muda aren (Arenga pinnata), daun kelapa., daun simpur daun pisang, daun pandan wangi, daun bambu, daun kopi robusta,  daun jagung, dan daun mangkok (Polyscias scutellaria).

Julianti.E dan Nurminah.M dalam catatan akademik Teknologi Pengemasan dari Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara menjelaskan, secara umum fungsi pembungkus makanan.

 

Ketupat daun siwalan. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Pertama, melindungi dan mengawetkan produk, seperti melindungi dari panas, kelembaban udara, oksigen, benturan, kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapat merusak dan menurunkan mutu produk suatu makanan.

Kedua, sebagai identitas produk. Kemasan bisa sebagai alat komunikasi dan informasi kepada konsumen melalui desain kemasan yang menunjukkan ciri khas dari suatu makanan. Ketiga, memberi aroma khas pada suatu makanan dan masakan. Keempat, menambah cita rasa pada makanan.

 

Ketupat daun kelapa. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version