Mongabay.co.id

Cerita Komunitas Pargamanan-Bintang Maria Terus Pertahankan Hutan Adat

 

 

 

 

Hutan Adat Pargamanan–Bintang Maria, satu hutan kemenyan tersisa di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Komunitas Pargamanan–Bintang Maria terus berjuang agar dapat mempertahankan hutan warisan leluhur di tengah klaim konsesi perkebunan eukaliptus.

“Kami paling merasakan dampak [kalau hutan kemenyan hilang]. Kami yang tahu kebutuhan rumah tangga, mulai dari dapur sampai keperluan anak sekolah,” kata Eva Junita Lumbangaol, Perempuan Adat Bintang di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Hutan Adat Pargamanan-Bintang Maria, sebagian masuk dalam konsesi perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari. Ini jadi keresahan warga, terlebih perempuan adat. Perlahan, pepohonan di hutan adat berganti jadi tanaman eukaliptus.

Baginya, tak mudah hidup menjadi perempuan dalam lingkungan dengan budaya patriarki. Dalam peristiadatan di Batak, laki-laki sangat mendominasi, termasuk dalam mengambil keputusan. Hampir tak ada ruang bagi perempuan untuk memberi pendapat.

 

Baca juga: Merawat Hutan Adat Pargamanan Bintang Gejora

 

Eva bilang, sejak hutan kemenyan mulai ditanami eukaliptus, penghasilan keluarga berkurang drastis. Saat inilah perempuan mesti bersuara demi sejangkal perut keluarganya.

Hasil getah kemenyan berkurang, begitu pula pemasukan dari pertanian. Sawah kering, kosong, belum ditanami

Tengoklah sawah itu, aliran irigasinya berasal dari hutan, sudah surut, sudah habis pohon di hulu,” kata Manullang, suami Eva.

Suaminya petani kemenyan. Bila sedang tak panen kemenyan, suami membantu Eva bertani. Saat suami menderes kemenyan ke hutan, Eva yang memegang kendali persawahan dan menjaga dua kerbau mereka.

Mereka juga menanam jagung untuk pakan ternak. Sebagian hasil panen jagung dijual ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari.

Meskipun tak turun langsung ke hutan, namun perempuan adat punya peran strategis mengelola sumber ekonomi keluarga.

Eva generasi kelima Masyarakat Adat Pargamanan. Bagi Eva hutan adat sangat penting demi kelangsungan hidup generasi mendatang.

Hutan Adat Pargamanan-Bintang Maria belum mendapatkan surat keputusan penetapan hutan adat dari pemerintah.

 

Rajes Sitanggang, Ketua Komunitas Adat Pargamanan-Bintang Maria, di rumah bibitnya. Foto: Baritanews Lumbantau/ Mongabay Indonesia

 

Perjuangan panjang

Desa Simataniari, dihuni sekitar 200 keluarga. Simataniari dalam bahasa Batak berarti matahari, berada di ketinggian 1.400 –1.500 mdpl, berbatasan langsung dengan hutan kemenyan, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Pargamanan dan Bintang Maria, dua dusun di Desa Simataniari, Parlilitan. Mata pencaharian utama warga sebagai petani kemenyan.

Warga mulai resah dengan kehadiran TPL sejak 2000-an. Awalnya, mereka tak tahu maksud kedatangan rombongan TPL. Mereka bawa orang berasal dari Jawa, Prancis dan India.

Pada 2005, masyarakat mulai mempertanyakan kedatangan pihak perusahaan yang mulai menebang pohon kemenyan, diganti eukaliptus.

Perusahaan terus menanam di hutan kemenyan, sampai pada 2008, sekitar 40 warga adat audiensi ke Pemerintah Humbang Hasundutan.

Sejak perusahaan beroperasi, Sungai Aek Simonggo dan anak sungainya mulai keruh dan persawahan kekurangan air.

Pada 21 Maret 2022, Masyarakat Adat Pargamanan–Bintang Maria menyerahkan petisi online lebih dari 23.000 tanda tangan kepada Bupati Humbang Hasundutan. Mereka meminta sang bupati, Dosmar Banjarnahor, segera menerbitkan Peraturan Daerah Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pargamanan-Bintang Maria.

 

Pohon kemenyan usai disadap. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia.

 

Isi petisi itu publik mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan adat mereka agar hutan kemenyan tak lenyap.

“Belum ada payung hukum, harus ada Perda Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, maka kami dorong sampai ke KLHK”, kata Roki Pasaribu, Koordinator Studi dan Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), saat wawancara melalui telepon.

Pada 24 Maret lalu, mereka menyambangi KLHK juga menyerahkan petisi yang diterima Muhammad Said, Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat, KLHK.

Said katakan, usulan penetapan hutan adat harus datang dari pemerintah daerah, lalu diverifikasi tim KLHK bersama perwakilan masyarakat untuk pemetaan partisipatif.

“Mereka (dirjen) berjanji memproses ini dan berkoordinasi dengan bupati (Humbahas),” kata Rajes Sitanggang, Ketua Adat Pargamanan-Bintang Maria yang turut menyerahkan petisi ke Jakarta.

Roki mengatakan, peta partisipatif Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria, melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sudah diserahkan pada 2016 ke pemerintah daerah dan KLHK. Sayangnya, hingga kini belum ada kejelasan.

“Tahun 2017, Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria masuk satu salah prioritas diselesaikan,” katanya.

TPL, merupakan perusahaan bubur kertas yang berelasi dengan grup Royal Golden Eagle (RGE).

Dalam laporan Keep Forest Standing, RGE adalah satu dari 10 perusahaan terbesar yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan deforestasi.

“Tak pernah ada sosialisasi pengukuran, ternyata kepala desa dulu tak pernah kasih tahu, tiba-tiba sudah dipatok, pohon kemenyan ditebang dan ditanami eukaliptus,” kata Rajes.

Dia bersama warga adat menolak aktivitas perusahaan. Rajes sering bersitegang dengan petugas lapangan TPL kala mau tanam eukaliptus di hutan kemenyan.

“Setiap mau menanam eukaliptus, perusahaan didampingi kepolisian”, kata Rajes.

Warga juga harus berhadapan dengan program rencana strategis pemerintah. Pada 2021, terbit peta kawasan hutan yang dikonversikan untuk proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di wilayah sama, seluas 106 hektar.

KSPPM menyebut, lumbung pangan di wilayah adat Pargamanan-Bintang Maria sekitar 964,2 hektar.

“Kami menolak food estate, hutan kemenyan kami nanti ditebang, hilang mata pencaharian kami,” kata Rajes.

Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria bersama masyarakat adat lain tergabung dalam Aliansi Tutup TPL. Mereka mendesak pemerintah daerah dan pusat menutup izin perusahaan bahan baku kertas itu.

 

 

Peternakan babi warga Pargamanan-Bintang Maria. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Bagi warga adat, TPL sudah merusak hutan dan merugikan masyarakat yang bergantung dari hutan. Aksi Tutup TPL pun tetap dilakukan. Demo di depan TPL di Uniland Medan, hingga ke KLHK.

Delima Silalahi, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan, pada Oktober 2021, Presiden Joko Widodo menindaklanjuti tuntutan dari Aliansi Gerak Tutup TPL. Presiden memverifikasi 18 wilayah adat yang tumpang tindih dengan konsesi TPL.

Sangat disayangkan, saat Jokowi membagikan SK hutan adat di Bakkara, Humbang Hasundutan awal 2022, Pargamanan-Bintang Maria malah tak masuk.

“Mereka (TPL) klaim sudah berdamai dengan warga,” kata Delima.

Akhir 2019, TPL membentuk kelompok tani hutan (KTH) yang bermitra dengan masyarakat Desa Simataniari. Rajes bilang, hal ini memicu masalah sesama warga dan terpecah-belah.

“Ketua KTH itu pamanku sendiri, dia ketua adat pertama sebelum aku,” kata Rajes. Sekretariat KTH berada di depan rumahnya, yang sekaligus tempat berkumpul Komunitas Adat Pargamanan-Bintang Maria.

Dedy Armaya, Koordinator Corporate Comunication TPL, areal kemitraan itu adalah kawasan hutan negara. Kemitraan perhutanan aosial antara TPL dengan KTH.

“Lokasi yang disepakati antara perseroan dengan KTH berada pada blok tanaman kehidupan dengan rencana pengembangan jenis pertanian dan kehutanan, seperti penanaman kemenyan dan lain-lain.”

Menurut Dedy, kemitraan ini berdasarkan rencana jangka panjang dan jangka pendek yang disusun kedua belah pihak pada Maret 2020.

Ada yang menerima tawaran kemitraan, banyak yang terus bertahan seperti Eva dan suami. Eva ingin terus mempertahankan hutan kemenyan. Bagi mereka, hutan kemenyan sudah jadi hidup turun-temurun.

 

Bintang Maria. Foto: Baritanews Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version