Mongabay.co.id

Cerita ‘Lembong Tallu’ Majene

 

 

 

 

Suasana Kampung Lombongan, Sendana, Kabupaten Majene, lengang, pagi itu, 23 Februari 1969. Lombongan kampung indah di pesisir di Sendana. Warga membangun rumah panggung berderet menghadap jalan. Di pagi itu, orang-orang menjalani kebiasaan hari-harinya. Sebagian mencuci pakaian di bibir muara dan yang lain sibuk di rumah masing-masing menyiapkan perayaan Idul Adha.

Di depan mesjid, Adawiah sedang bermain sepeda. Dia belum begitu pandai mengayuh. Dia baru punya sepeda hadiah dari ayahnya sebulan lalu. Usia Adawiah baru menginjak tujuh tahun.

Ketika Adawiah menjajal jalan, tanah berguncang kuat, membuang tubuhnya terpental dari sepeda. Dia tersungkur ke tanah. Kejadian begitu cepat. Adawiah panik. Ketakutan.

Setelah tanah tak lagi bergetar, Adawiah berdiri dan menegakkan sepeda, kemudian berlari seraya mendorong sepeda itu ke rumah, tak jauh dari mesjid. Di rumah, tak ada siapapun. Ayah, Ibu, dan tiga saudaranya pergi, entah ke mana.

 

Baca juga: Amuk Lindu di Majene [1]

Mesjid Aholeang runtuh terkena gempa 2021. Foto Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Dua puluh menit dari Lombongan, Muhammad Saul sedang memancing udang di sebuah sungai yang membelah hamparan sawah di Palipi, sebuah kampung pesisir Sendana, bersama Muhammad La’bi, adik bungsunya. Saul masih di sekolah menengah pertama.

Saul dan La’bi mengenal sungai itu dengan baik. Memancing udang adalah kebiasaan akhir pekan adik-kakak itu. Saul hanya menggunakan alat tangkap dari seuntai lidi bernama Piaye. Di bagian ujung, Saul menguba jadi penjerat memakai simpul pangkal. Ketika udang masuk di lubang jerat, Saul menarik sekali sentakan.

Orang-orang menamai sungai itu Mangngara Bombang, rumah bagi ribuan udang besar. Suatu kali, Saul mendapat udang seukuran telapak tangan orang dewasa.

Sejak pagi buta dua anak itu jongkok bersampingan di tepi sungai. Ketika Saul menarik lidi ke sekian kali, tanah tiba-tiba menggelinjang kuat. Menghentak tubuh Saul ke tanah. La’bi, entah bagaimana sanggup berlari ke kampung.

Gempa itu membuat gunung sekitar Saul longsor, melontarkan batu-batu raksasa ke persawahan. Debu yang ada di sekelilingnya begitu tebal. Apapun, hampir tidak terlihat. “Bayangkan! Itu gunung tinggi, tidak kelihatan,” kata Saul.

Saul menggapai pohon jambu dekatnya dan memeluk seerat mungkin. Pohon itu seakan tercabut dari tanah dan dunia terbolak-balik. Saul menangis sekeras-kerasnya, memecah gemuruh longsor.

Nurmi sedang menanak nasi buat bekal ke sawah ketika getaran keras merangkak dari tanah, membuat tubuhnya terlempar. Dia berusaha bangkit, kemudian meninggalkan dapur, menuju beranda rumah. Tubuhnya terpelanting.

Nurmi menempati rumah panggung di Onang, kampung pesisir, beberapa kilometer dari Lombongan. Secara topografi, Onang dikelilingi bentangan bukit kapur.

Dalam hati, Nurmi terus bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi. Ketika mencapai beranda, tanah masih bergetar kencang—dan sekali lagi—menjungkalkan tubuh Nurmi ke pekarangan rumah.

“Saking kerasnya itu guncangan,” tutur Nurmi.

Ketika getaran berhenti, Nurmi berdiri, melihat tetangga berhamburan di luar rumah. Nurmi mendekati mereka, bertanya-tanya. Wajah mereka sama pucatnya wajah Nurmi.

Kejadian itu menimbulkan kesan aneh, seolah-olah petaka ini belum berakhir.

Hanya beberapa menit berselang, gemuruh air terdengar keras dari laut. Abdul Samad, guru sekolah dasar minta Nurmi segera berlari ke bukit. Dia meminta siapapun di dekatnya menyelamatkan diri.

Nurmi buru-buru kembali ke rumah, mengambil pakaian sebisa yang dia gapai, memasukkan ke dalam sarung sebelum berlari ke bukit dekat kampung.

 

| https://public.flourish.studio/visualisation/10005856/
 

Ombak bersusun tiga: lembong tallu

Adawiah menyandarkan sepedanya di samping rumah. Hasan, paman Adawiah yang sedang menggendong istrinya yang sakit melihat Adawiah seorang diri, tanpa sendal dan baju. Dia meneriaki Adawiah, meminta ikut ke bukit. Dari laut, ombak setinggi pohon mangga telah berdiri.

Pantai dan perkampungan Lombongan hanya terpisah belasan meter. Dapur di rumah Adawiah bahkan kerap terkena air pasang.

Adawiah berlari, berusaha mencapai bukit sekuat tenaga. Ketika berlari, dia menemukan sang adik dan lekas menariknya. Sesekali Adawiah membalikkan kepala. Untuk kali pertama Adawiah melihat ombak setinggi itu. “Untungnya bukit dekat, jadi gampang,” katanya.

Ombak itu memiliki tiga warna bersusun: bagian atas berwarna putih dan berbusa, di tengah berwarna biru gelap, dan di dasar ombak, berwarna gelap kehitaman. Ombak itu dikenal dengan istilah lembong tallu: gelombang bersusun tiga.

Setiba di bukit, Adawiah melihat warga lain yang tengah dirundung ketakutan. Dari atas, Adawiah menyaksikan pemandangan yang selamanya akan dia ingat. Lembong tallu menghanyutkan apapun. Rumah, mesjid bahkan mendorong sebuah kapal nelayan sampai ke kaki bukit.

Teriakan, doa, dan tangisan bersahut-sahutan, mengiring ombak yang tengah menghancurkan Lombongan. Mereka saling mencemaskan anggota keluarga masing-masing. Akankah selamat?

 

Baca juga :  Gempa dan Tsunami Palu: Data Seputar Sesar Palu Koro Minim

M Saul, mengenang masa kecil kala gempa dan tsunami menghantam kampungnya. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

***

Saat getaran tanah berhenti, Saul lekas berlari pulang menyusul La’bi. Perkampungan kosong, bak kampung mati. Hanya ada La’bi yang sedang menangis di dekat rumah.

Setelah gempa, warga berbondong-bondong ke gunung, berjarak ratusan meter dari perkampungan.

Orang Palipi, mengingat cerita dari orang tua mereka tentang lembong tallu, sebuah gelombang laut mematikan, muncul setelah gempa. Ditandai dengan air laut yang surut melebihi batas biasanya. Pengetahuan itu diceritakan turun temurun dan menjadi pengetahuan lokal, hingga istilah tsunami yang lebih populer menggantikannya.

Dari puncak gunung warga berteriak memanggil Saul dan La’bi. Lembong tallu tengah menuju kampung. “Oi.. Naik ko cepat!” teriak warga.

Saul lekas menarik La’bi, berlari secepat mungkin. Saul juga tahu lembong tallu.

Setelah mencapai puncak, Saul sesak. Dia lelah dan dadanya berdebar hebat.

Pemandangan mengerikan dari kampung, membuat Saul terpaku. Lembong tallu tengah mengaduk-ngaduk kampung kelahirannya. Sebelum ombak lebih besar datang, air menyusut, menarik apapun ke laut. Berulang-ulang.

Pada waktu bersamaan, tsunami menghanyutkan seorang perempuan bernama Jama bersama rumahnya ke persawahan. Seluruh pakaian di tubuhnya tanggal. Jama selamat dari maut setelah ditolong warga.

Ba’bo, pedagang beras dari Polewali Mandar berada di atas perahu, terombang-ambing bersama sang istri, hingga beberapa jam. Tsunami mendorong perahu mereka jauh ke persawahan dari dermaga Pelabuhan Palipi. Ketika surut, laut menarik perahu itu dan tersangkut di hutan mangrove, di Pulau Idaman– pulau kecil dekat Pantai Palipi. Mereka selamat.

Di Onang, Nurmi tak menyaksikan apapun. Nurmi mencapai bukit ketika kampung dihantam tsunami. Dia hanya mendengar suara gemuruh yang begitu menakutkan.

Barulah ketika surut, Nurmi turun ke kampung dan mendapati ‘jejak’ gempa dan tsunami.

Beberapa tempat, permukaan tanah merekah, membuat lubang memanjang dan lebar. Sawah berubah menjadi kubangan hitam berlumpur. Punggung perbukitan yang berhadapan dengan laut ‘terkelupas’. Batu-batu gamping raksasa berserakan, menimbun satu-satunya jalan penghubung.

Beberapa hari kemudian, Nurmi dan sang ibu dijemput saudaranya, membawa mereka berkilo-kilo meter jauhnya di Labuan Rano, Mamuju.

Di Lombongan, Adawiah turun ke kampung bersama keluarganya. Perkampungan berubah menjadi reruntuhan. Semua hancur. Tiang-tiang mesjid terhempas ratusan meter. Sepeda Adawiah pun lenyap. Harta benda milik warga bertebaran.

Warga menemukan lemari berisikan kue kering, buat jamuan Idul Adha. Beberapa toples pecah, tetapi beberapa masih utuh.

“Ambil mi itu kue dimakan, daripada lapar ki,” seorang berkata.

“Jangan! Nanti keracunan, mati ki,” kata orang lain.

Akhirnya, kue itu dimakan sebagai penjanggal perut yang kelaparan.

 

Kantor Gubernur Sulawesi Barat yang roboh karena gempa yang terjadi Kamis (14/1/21). Foto : BNPB

 

***

Petaka di pagi itu merupakan gempabumi terdahsyat sepanjang sejarah Majene, yang membangkitkan tsunami. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa itu berkekuatan 6.9 magnitudo, kedalaman 13 kilometer.

Pusat gempa berada di kawasan seismik Selat Makassar, dikenal sebagai jalur lipatan dan sesar naik (fold and thrust belt) yang menerus ke arah darat. Pemetaan tahun 2017, menyingkap, ada tiga segmen Sesar Naik Selat Makassar, yakni Segmen Tengah (pusat gempa tahun 1969), Segmen Mamuju (pusat gempa tahun 2021), dan Segmen Somba.

Pertahun, peniliti mengidentifikasi, sesar ini bergeser sekitar 4–10 mm. Data lain mengatakan, kekuatan gempa kala itu mencapai 7.1 magnitudo.

Majene berada di kawasan seismik yang begitu kompleks dan aktif. “Jika mencermati aktivitas kegempaan di Sulawesi Barat, tampak di daratan dan lepas pantai, banyak sekali aktivitas gempa dengan berbagai magnitudo dan kedalaman,” kata Daryono, Koordinator Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG.

Sulbar termasuk bagian lengan selatan Pulau Sulawesi, yang merupakan kawasan tertekan akibat dorongan lempeng tektonik. Melansir penelitian 2006, Daryono bilang lengan ini bergerak berlawanan arah jarum jam, menyebabkan kawasan pesisir dan lepas pantai mengalami pemendekan.

Gerakan tektonik semacam itulah, kata Daryono, telah membentuk zona lipatan dan sesar naik. “Hingga bagi para ahli kebumian, terjadinya gempa merusak di Majene bukanlah hal aneh.”

Hari itu, 97 orang menderita luka-luka. 64 orang meninggal, termasuk ibu hamil di Lombongan yang terhempas tsunami saat mencuci pakaian di muara sungai. Juga anak di Pelattoang yang terjebak di dalam rumah kayu yang sedang terbakar. Api berasal dari tungku panggangan kue yang berkelabat begitu cepat setelah gempa.

Dampak kerusakan gempa itu bahkan menjangkau Wonomulyo, satu kecamatan terpadat di Polewali Mandar, 130 kilometer dari pusat gempa. Di kawasan pertokoan Majene, gempa menghancurkan beberapa bangunan dan menelan korban jiwa. Hari itu, ribuan orang terpaksa mengungsi.

 

Kerusakan dampak gempa Majene 2021. Foto:Ady Anugrah Pratama

 

Mengungsi

Sehabis tsunami, gempa masih terus terjadi, meskipun kekuatan perlahan berkurang. Di Lombongan, tak ada seorangpun berani menempati kampung.

Adawiah selamat bersama keluarganya. Tetapi, hari ketiga, Marudia, ibunya meninggal di tenda pengungsian. Petugas kesehatan tak bisa berbuat banyak.

Marudia punya riwayat penyakit jantung. Sebelum meninggal, dia turun ke muara buat mencuci. Tiba-tiba gempa datang. Longsoran bukit menimbulkan suara gemuruh yang menakutkan. Marudia lari kelimpungan kembali ke bukit, mengira gemuruh itu adalah tsunami.

“Sekitar satu jam-an, Mama meninggal,” kata Adawiah.

Hari-hari berikutnya, Adawiah sekeluarga mengungsi di Kampung Ratte, dua kilometer di dataran tinggi. Di sana, mereka tinggal di rumah keluarga. “Yang punya rumah kasih kami makan,” kenang Adawiah.

Beberapa pekan kemudian, keluarga Adawiah kembali ke bukit dekat rumah. Mereka membangun rumah sementara. Terbuat dari kayu dan papan, yang diambil dari puing-puing bekas tsunami. Kecil, beratap rumbia, juga hangat.

Adawiah bersama keluarga tinggal di rumah itu. Bayangan lembong tallu membuat mereka takut memulai hidup baru di kampung. Mereka perlu waktu setahun, untuk melawan ketakutan.

Mereka pun turun, lalu membangun rumah panggung dekat kaki bukit. Hidup berlanjut. Rumah itulah yang hingga hari ini mereka tempati.

Akhir Maret 2022, kami bertemu Adawiah. Di rumah Adawiah tinggal bersama ibu tirinya. Usia Adawiah sudah 60 tahun, sudah pensiun dari guru sekolah dasar.

Mengingat lembong tallu membuat Adawiah mengenang masa-masa bersama kedua orangtuanya. Dia menangis.

Abdul Hamid, ayahnya meninggal pada 2019. Hamid bagai buku sejarah tentang tsunami 1969. Dia punya buku catatan kecil, tempat menulis setiap detil dari petaka itu dan daftar nama yang mendatanginya bertanya tentang lembong tallu.

 

Bekas lokasi rumah Jama di Palipi. Foto: Ady Anugrah Pratama

 

Tsunami 1969 meninggalkan daratan baru di Lombongan, membentuk undakan pasir putih menjulur sejauh 50 meter ke laut. Warga menanami dengan kelapa dan tanaman lain.

Rumah makin panjang, penyu datang bertelur, dan air tanah yang semula asin berubah tawar. Tak jauh, sebuah sumur air tawar muncul. Orang-orang menamainya: sumur gempa.

Begitupun Saul. Dia menggarap lahan kosong di punggung bukit tak jauh dari pondoknya. Menanami dengan ubi, jagung, hingga kacang. Warga lain melakukan hal serupa.

Berkebun adalah cara warga bertahan hidup.

Kini, usia Saul menginjak 72 tahun. Saul, satu dari sekian penyintas tsunami yang tersisa. Di Palipi, Saul didapuk sebagai Imam kampung. Dia masih mengurus kebun yang dia garap sejak mengungsi pascatsunami.

Tsunami setidaknya telah mengubah sungai tempat kesukaan Saul bersama adiknya. Badan Sungai Mangngara Bombang berpindah jauh dari tempat semula, meskipun bermuara di mulut yang sama. Ketika kemarau, sungai itu mengering. Udang dan ikan tak lagi melimpah.

Adawiah, Saul, dan Nurmi adalah penyintas tersisa, yang memiliki ingatan kuat. Cerita lembong tallu abadi selama mereka hidup.

Gempa dengan kekuatan 6,2 SR menyebabkan ambruknya sejumlah bangunan di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, dengan korban jiwa mencapai 84 orang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

*******

Exit mobile version